OM Pancaran Senja, Pelestari Musik Melayu dari Nongsa
A
A
A
BATAM - Anak muda di Kampung Tua Melayu gemar bermain musik. Mereka suka bermain gitar di tepi pantai. Beberapa ada yang membuat band. Namun tak ada di antara mereka yang menggemari musik dan lagu melayu era 60-an hingga 90-an seperti dimainkan Orkes Melayu (OM) Pancaran Senja.
Jemarinya piawai memainkan senar biola. Bunyinya meliuk-liuk meningkahi angin laut sore hari di Kampung Tua Melayu, siang itu. Ia sedang memainkan lagu Tanjung Katung yang dipopulerkan Iyeth Bustami. Ibu-ibu sekitar kadang langsung berjoget begitu mendengar langgam itu.
Namanya Rahman, tapi orang Kampung Tua Melayu, Batubesar Nongsa biasa memanggilnya Pak Anjang. Usianya sudah 69 tahun, namun ia tetap bersemangat memainkan biolanya jika orkes Pancaran Senja dipanggil sebagai pengisi acara.
Rumah Pak Anjang letaknya persis menghadap ke laut. Hamparan pasir putih di Pantai Wisata Kampung Melayu terlihat jelas dari beranda rumahnya. Kebetulan pantai itu merupakan kawasan milik keluarga Pak Anjang.
Tak jarang pada hari libur, banyak orang datang menikmati suasana pantai itu. Bayar masuknya cukup murah, hanya Rp5.000. Pengunjung bisa mandi dan bermain di pantai sepuasnya. Kalau hanya ingin duduk-duduk di bibir pantai, ada saung yang dibangun berderet menghadap laut.
Tak hanya Pak Anjang, Nur Adli, seorang pemain di Orkes Melayu (OM) Pancaran Senja juga menunjukkan kepiawaiannya memainkan gitar akustik. Keduanya berkolaborasi memainkan lagu Tanjung Katung. Anjang juga sempat memainkan akordeon.
"Dari semua alat musik yang digunakan grup musik kami, biola adalah yang paling sulit dikuasai," kata laki-laki asal Ngenang tersebut.
Pak Anjang sudah bisa memainkan sejumlah alat musik sejak kecil. Ia tidak pernah belajar musik secara formal. Bakat seninya mengalir dari ayahnya yang juga pemain biola. Awalnya, Pak Anjang mahir memainkan gitar. Namun karena grup musiknya kekurangan pemain biola, ia akhirnya terpaksa mempelajari biola.
"Saya belajar biola saat umur 20-an, dulu biolanya bikin sendiri dari kotak tak tentu arah bentuknya," katanya sambil tertawa.
Sejak masih di Ngenang, ia mahir memainkan beragam alat musik seperti gitar, akordeon, biola, dan gambus. Ia sempat memiliki grup musik bernama "Bunga Rampai".
Grup musik itu bubar saat tahun 2000-an ia pindah ke Batubesar. Saat pindah ke Batubesar ia tetap membawa biolanya. Beberapa orang yang hobi bermusik mulai tertarik dengan gesekan biolanya. Pelan-pelan penyuka musik banyak berkumpul di sana dan kemudian membentuk grup musik.
"Dulu sedih kalau lihat alat-alat kami, sekarang alat yang buruk-buruk itu sudah hancur," ucapnya dengan logat melayu kental.
Melihat grup musik ini manggung di banyak acara, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau lalu memberikan bantuan peralatan musik. Pak Anjang tidak ingat lagi tahun berapa bantuan itu diberikan. Namun yang masih diingatnya, jasa besar Pemko Batam pada grup musik ini tahun 2010 lalu.
"Ada program Batam 2010 waktu itu, Pemko membantu membelikan alat-alat yang sampai saat ini masih kami pakai," ungkap ayah dengan tiga putri, sembilan cucu, dan satu cicit ini.
Alat musik yang dipakai grup musik ini berupa biola, gitar melodi, gong, gambus, akordeon, gendang tabuh, gendang darbuka, drum, tamborin, dan tambur. Masing-masing alat musik itu dipegang Zulkarnain, Pak Anjang, Anwar, Mardianto, Ramli, Abu, dan Awang. Di antara mereka tidak hanya memegang satu alat musik, tapi ada juga yang merangkap.
Sayangnya, grup musik ini belum memiliki generasi penerus. Pasalnya, anak-anak muda yang ada di kampung itu lebih menyukai musik dan lagu kekinian.
Sementara, Pancaran Senja masih konsisten mempertahankan musik dan lagu-lagu melayu tahun 60-an, 70-an, dan 90-an. Tak heran jika lagu seperti Zapin, Serampang Laut, Tanjung Katung, Dona Sayang, dan lagu pop Yeh Yeh masih diakrabi mereka.
"Lagu-lagu yang kami mainkan, kadang juga asalnya dari Malaysia dan Singapura, kan sebagai orang melayu kedua negara itu masih satu rumpun dengan orang-orang di sini," kata Adli.
Para anggota Pancaran Senja sehari-hari tidak hanya hidup dari bermusik. Mencari nafkah hanya dengan bermusik bisa jadi dapur tidak mengepul. Penghasilan yang didapatkan dari grup musik ini tidak pasti, tergantung seberapa sering diundang tampil. Jika tidak ada undangan, biasanya Pancaran Senja main di pantai saat wisatawan sedang ramai.
"Pekerjaan sehari-hari kami beragam, kebanyakan nelayan, tapi ada juga yang seperti saya pekerja bangunan," lanjut laki-laki asal Mandah, Provinsi Riau ini.
Menurutnya, jika sampai saat ini para anggota grup musik masih konsisten memainkan musik dan lagu melayu, itu hanyalah karena hobi dan tekad untuk melestarikan budaya melayu. Nama grup "Pancaran Senja" sendiri digunakan karena anggota yang bermain di orkes ini tidaklah muda lagi, semuanya berumur 30 tahunan ke atas.
Meski masih level Kepri, Pancaran Senja sudah manggung di banyak iven. Mereka beberapa kali manggung di mal, hotel, dan RRI. Bulan Ramadan lalu, 27 hari mereka disewa khusus untuk mengisi acara menjelang dan setelah buka puasa di satu hotel di Batam. Satu hari, tarif sewa grup musik ini Rp2,5 juta.
Jemarinya piawai memainkan senar biola. Bunyinya meliuk-liuk meningkahi angin laut sore hari di Kampung Tua Melayu, siang itu. Ia sedang memainkan lagu Tanjung Katung yang dipopulerkan Iyeth Bustami. Ibu-ibu sekitar kadang langsung berjoget begitu mendengar langgam itu.
Namanya Rahman, tapi orang Kampung Tua Melayu, Batubesar Nongsa biasa memanggilnya Pak Anjang. Usianya sudah 69 tahun, namun ia tetap bersemangat memainkan biolanya jika orkes Pancaran Senja dipanggil sebagai pengisi acara.
Rumah Pak Anjang letaknya persis menghadap ke laut. Hamparan pasir putih di Pantai Wisata Kampung Melayu terlihat jelas dari beranda rumahnya. Kebetulan pantai itu merupakan kawasan milik keluarga Pak Anjang.
Tak jarang pada hari libur, banyak orang datang menikmati suasana pantai itu. Bayar masuknya cukup murah, hanya Rp5.000. Pengunjung bisa mandi dan bermain di pantai sepuasnya. Kalau hanya ingin duduk-duduk di bibir pantai, ada saung yang dibangun berderet menghadap laut.
Tak hanya Pak Anjang, Nur Adli, seorang pemain di Orkes Melayu (OM) Pancaran Senja juga menunjukkan kepiawaiannya memainkan gitar akustik. Keduanya berkolaborasi memainkan lagu Tanjung Katung. Anjang juga sempat memainkan akordeon.
"Dari semua alat musik yang digunakan grup musik kami, biola adalah yang paling sulit dikuasai," kata laki-laki asal Ngenang tersebut.
Pak Anjang sudah bisa memainkan sejumlah alat musik sejak kecil. Ia tidak pernah belajar musik secara formal. Bakat seninya mengalir dari ayahnya yang juga pemain biola. Awalnya, Pak Anjang mahir memainkan gitar. Namun karena grup musiknya kekurangan pemain biola, ia akhirnya terpaksa mempelajari biola.
"Saya belajar biola saat umur 20-an, dulu biolanya bikin sendiri dari kotak tak tentu arah bentuknya," katanya sambil tertawa.
Sejak masih di Ngenang, ia mahir memainkan beragam alat musik seperti gitar, akordeon, biola, dan gambus. Ia sempat memiliki grup musik bernama "Bunga Rampai".
Grup musik itu bubar saat tahun 2000-an ia pindah ke Batubesar. Saat pindah ke Batubesar ia tetap membawa biolanya. Beberapa orang yang hobi bermusik mulai tertarik dengan gesekan biolanya. Pelan-pelan penyuka musik banyak berkumpul di sana dan kemudian membentuk grup musik.
"Dulu sedih kalau lihat alat-alat kami, sekarang alat yang buruk-buruk itu sudah hancur," ucapnya dengan logat melayu kental.
Melihat grup musik ini manggung di banyak acara, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau lalu memberikan bantuan peralatan musik. Pak Anjang tidak ingat lagi tahun berapa bantuan itu diberikan. Namun yang masih diingatnya, jasa besar Pemko Batam pada grup musik ini tahun 2010 lalu.
"Ada program Batam 2010 waktu itu, Pemko membantu membelikan alat-alat yang sampai saat ini masih kami pakai," ungkap ayah dengan tiga putri, sembilan cucu, dan satu cicit ini.
Alat musik yang dipakai grup musik ini berupa biola, gitar melodi, gong, gambus, akordeon, gendang tabuh, gendang darbuka, drum, tamborin, dan tambur. Masing-masing alat musik itu dipegang Zulkarnain, Pak Anjang, Anwar, Mardianto, Ramli, Abu, dan Awang. Di antara mereka tidak hanya memegang satu alat musik, tapi ada juga yang merangkap.
Sayangnya, grup musik ini belum memiliki generasi penerus. Pasalnya, anak-anak muda yang ada di kampung itu lebih menyukai musik dan lagu kekinian.
Sementara, Pancaran Senja masih konsisten mempertahankan musik dan lagu-lagu melayu tahun 60-an, 70-an, dan 90-an. Tak heran jika lagu seperti Zapin, Serampang Laut, Tanjung Katung, Dona Sayang, dan lagu pop Yeh Yeh masih diakrabi mereka.
"Lagu-lagu yang kami mainkan, kadang juga asalnya dari Malaysia dan Singapura, kan sebagai orang melayu kedua negara itu masih satu rumpun dengan orang-orang di sini," kata Adli.
Para anggota Pancaran Senja sehari-hari tidak hanya hidup dari bermusik. Mencari nafkah hanya dengan bermusik bisa jadi dapur tidak mengepul. Penghasilan yang didapatkan dari grup musik ini tidak pasti, tergantung seberapa sering diundang tampil. Jika tidak ada undangan, biasanya Pancaran Senja main di pantai saat wisatawan sedang ramai.
"Pekerjaan sehari-hari kami beragam, kebanyakan nelayan, tapi ada juga yang seperti saya pekerja bangunan," lanjut laki-laki asal Mandah, Provinsi Riau ini.
Menurutnya, jika sampai saat ini para anggota grup musik masih konsisten memainkan musik dan lagu melayu, itu hanyalah karena hobi dan tekad untuk melestarikan budaya melayu. Nama grup "Pancaran Senja" sendiri digunakan karena anggota yang bermain di orkes ini tidaklah muda lagi, semuanya berumur 30 tahunan ke atas.
Meski masih level Kepri, Pancaran Senja sudah manggung di banyak iven. Mereka beberapa kali manggung di mal, hotel, dan RRI. Bulan Ramadan lalu, 27 hari mereka disewa khusus untuk mengisi acara menjelang dan setelah buka puasa di satu hotel di Batam. Satu hari, tarif sewa grup musik ini Rp2,5 juta.
(zik)