Masih Ada Raskin di Tanah Lumbung Beras
A
A
A
BANYUASIN - Pagi ini, senyum Warsiah seakan hilang dari raut wajah yang telah menua. Petani perempuan asal Desa Telang Rejo, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin masih bersedih. Langkah kakinya ke sawah tak lagi semangat.
Sawah seluas 2 hektare yang telah digarapnya tumbuh tidak sesuai harapan. Panen musim ini bisa dikatakan gagal total.
Padi yang sudah ditanam selama tiga bulan lebih 20 hari secara berantai mati diserang penyakit patah leher (blash).
Tidak hanya dia yang mengalaminya, hampir sebagian besar padi sawah tetangganya pun mengalami hal yang serupa.
Selama 18 tahun terakhir, petani yang sudah menginjak usia 60 tahun itu menggarap sawah warisan suaminya.
Dari pukul 07.00 WIB hingga sinar matahari beranjak tegak lurus, janda lima anak itupun menghabiskan waktu di sawah.
Meski begitu, penghasilan dari sistem tanam satu kali setahun itupun tidak mencukupi kehidupan keluarganya. Karena itulah, Warsiah terus terdata sebagai penerima beras untuk keluarga miskin (raskin).
Di Desa yang dikenal sebagai lumbung beras tidak hanya bagi Kabupaten Banyuasin, namun juga Provinsi Sumsel, hampir setengah dari seluruh Kepala Keluarga (KK) tercatat sebagai penerima raskin termasuk Warsiah.
Dikatakan Warsiah, mengelola sawah sampai sekarang masih terasa sulit. Dari tahun ke tahun, petani keturunan warga eks transmigrasi ini, terpaksa berhutang saat memulai bertanam bahkan utangnya pun terus menambah.
Bukan hanya utang setahun dua tahun tanam melainkan utang bertahun-tahun yang telah lama menumpuk.
“Susahnya lagi, panen sekarang belum bisa bayar utang. Untuk dijual saja, gabah hanya laku Rp2750/kg gabah kering panen dari sawah. Banyak bulir kosong, ada juga patah putih sebelum berisi,” keluhnya.
Akibatnya, kata dia, pendapatan dari sawahnya itu dipastikan tidak cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Itu kenapa, beras raskin yang diterimannya setiap setelah panen, ternyata menolongnya.
Jatah beras raskin yang diterimanya, hanya 15 kg/bulan. Namun, saat beras hasil sawah tidak banyak disimpan di dapur maka beras raskin itupun dimanfaatkan.
Sering juga, beras raskin terpaksa dijual untuk membeli pelengkap makan sehari-hari seperti sayur mayur atau lauk pauk.
“Seperti panen sekarang misalnya, hanya dapet 5 ton. Tidak beras seluruh dijual, tapi ada juga disimpan di dapur rumah untuk makan setahun, sedangkan beras raskin juga makin disimpan. Kedua beras inilah nantinya dijual agar bisa beli kecap, cabe, bawang, ikan, garam dan kebutuhan dapur lainnya. Karena, yang kami punya hanya beras,” terang dia.
Di rumah papan dengan lantai sebagian tanah ini, Warsiah mengatakan, kerap juga mendapatkan bantuan pupuk dan insektisida dari kelompok taninya. Namun, hal itu belum cukup menyelesaikan permasalahannya sebagai petani.
Sistem kerap berutang sebelum tanam, hingga menjual gabah dengan harga murah saat panen raya, belum lagi serangan hama dan penyakit, masih menjadi momok baginya.
“Yang kami andalkan cuma lahan dan otot. Benih, pupuk, racun, membajak, memanen, semuanya diawali dengan berutang. Sistem utangnya beda-beda, jika membajak dengan traktor bisa dibayar dengan beras panen dengan perbandingan seperdelapan,”terangnya.
Kondisi seperti ini dibenarkan Sekretaris Desa (Sekdes) Telang Rejo, Rokhim. Berdasarkan catatan pemerintah desa, kata dia, dari 590 KK warga desa mencapai 276 KK terdata sebagai penerima raskin.
Penyebabnya, sebagian besar warga masih masuk dalam katagori masyarakat miskin (rumah tangga sasaran).
“Mereka (warga) benar memiliki sawah, tapi hasil sawahnya amat rendah. Rumah mereka dari papan kayu, ada yang masih berlantai tanah setengah, atau masih tanah seluruh. Ya itu, mereka masih belum terlepas dari sistem berutang sebelum menanam,” ucapnya.
Karena sebagian besar penerima merupakan penghasil beras, proses pembagian raskin dilakukan
setelah panen raya.
Biasanya, beras raskin dibagikan pada bulan Juni hingga akhir tahun. Akibatnya, dalam satu bulan mendapatkan jatah beras raskin sebanyak dua bulan.
“Sistem ini nampaknya sudah terbakukan. Jadi, di bulan Jun mendapatkan beras raskin 30 Kg, Juli juga 30 Kg, hingga sampai Desember mendapatkan 30 Kg. Beras raskin baru masuk setelah panen,” kata Rokhim.
Pembagian raskin di tanah lumbung, kata dia, masih menjadi bagian potret petani saat ini. Di desa seluas 2.231 hektare (Ha) yang hampir seluruh daerah sawah merupakan lahan produktif itu sebenarnya terdapat lumbung Bulog. Namun sayangnya, sinkronisasi kinerja antar lembaga belum tercapai.
Saat panen raya, beras petani malah banyak lari ke pedagang luar desa dengan mekanisme pasar dagang.
“Saat panen, Bulog tidak serap banyak beras dari petani akibatnya harga ditentukan pembeli besar (tauke). Penghasilan petani jadi tidak optimal sehingga belum bisa bayar utang. Akibatnya, utang menumpuk, sementara beban hidup masih harus dipenuhi. Alhasil, petani masuk katagori keluarga miskin.
Pemerintah malah kasih bantuan beras. Padahal, beras raskin diserap pemerintah juga dari petani di desa lumbung ini,” beber dia.
Namun Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian mengatakan saat ini, bantuan dari pemerintah kabupaten makin bertambah bagi petani.
Selain dibantu benih dengan sistem tanam dua kali setahun, petani juga dibantu peralatan pertanian yang dipakai secara kolektif (berkelompok) misalnya traktor, dan alat panen. Bantuan lain, pemerintah membagikan jenis pupuk dan insektisida yang berdasarkan usulan petani.
“Pemerintah terus berupaya dan bertahap meningkatkan ekonomi petani. Bulog juga hendaknya bisa serap di awal panen, dengan di atas harga pasar. Petani juga harus bersedia menggunakan varietas IP200 agar lahan jangan lama menganggur (senggang), petani tidak lagi sekali tanam setahun. Selain itu, pemberdayaan ekonomi masyarakat tani juga harus digerakkan seperti perikanan dan peternakan,” ujarnya.
Terpisah, Humas Perum Bulog Drive Sumsel, Fahmi merilis jika Kabupaten Banyuasin cukup besar menyerap raskin.
Banyuasin memiliki 42.377 rumah tangga sasaran penerima raskin dengan total raskin disalurkan mencapai 635.655 Kg perbulan atau jika diakumulasikan mencapai 7.627.860 Kg pertahun.
“Tahun ini, Bulog sudah menyiapkan anggaran Rp1 miliar bagi penyerapan gabah kering petani Sumsel dengan target mencapai 150.500 ton. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun lalu yang hanya 120.000 ton gabah kering. Harapannya, beras petani terserap, apalagi bagi pusat produksi beras, seperti di Banyuasin dan OKU Timur,” tandas dia.
Sawah seluas 2 hektare yang telah digarapnya tumbuh tidak sesuai harapan. Panen musim ini bisa dikatakan gagal total.
Padi yang sudah ditanam selama tiga bulan lebih 20 hari secara berantai mati diserang penyakit patah leher (blash).
Tidak hanya dia yang mengalaminya, hampir sebagian besar padi sawah tetangganya pun mengalami hal yang serupa.
Selama 18 tahun terakhir, petani yang sudah menginjak usia 60 tahun itu menggarap sawah warisan suaminya.
Dari pukul 07.00 WIB hingga sinar matahari beranjak tegak lurus, janda lima anak itupun menghabiskan waktu di sawah.
Meski begitu, penghasilan dari sistem tanam satu kali setahun itupun tidak mencukupi kehidupan keluarganya. Karena itulah, Warsiah terus terdata sebagai penerima beras untuk keluarga miskin (raskin).
Di Desa yang dikenal sebagai lumbung beras tidak hanya bagi Kabupaten Banyuasin, namun juga Provinsi Sumsel, hampir setengah dari seluruh Kepala Keluarga (KK) tercatat sebagai penerima raskin termasuk Warsiah.
Dikatakan Warsiah, mengelola sawah sampai sekarang masih terasa sulit. Dari tahun ke tahun, petani keturunan warga eks transmigrasi ini, terpaksa berhutang saat memulai bertanam bahkan utangnya pun terus menambah.
Bukan hanya utang setahun dua tahun tanam melainkan utang bertahun-tahun yang telah lama menumpuk.
“Susahnya lagi, panen sekarang belum bisa bayar utang. Untuk dijual saja, gabah hanya laku Rp2750/kg gabah kering panen dari sawah. Banyak bulir kosong, ada juga patah putih sebelum berisi,” keluhnya.
Akibatnya, kata dia, pendapatan dari sawahnya itu dipastikan tidak cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Itu kenapa, beras raskin yang diterimannya setiap setelah panen, ternyata menolongnya.
Jatah beras raskin yang diterimanya, hanya 15 kg/bulan. Namun, saat beras hasil sawah tidak banyak disimpan di dapur maka beras raskin itupun dimanfaatkan.
Sering juga, beras raskin terpaksa dijual untuk membeli pelengkap makan sehari-hari seperti sayur mayur atau lauk pauk.
“Seperti panen sekarang misalnya, hanya dapet 5 ton. Tidak beras seluruh dijual, tapi ada juga disimpan di dapur rumah untuk makan setahun, sedangkan beras raskin juga makin disimpan. Kedua beras inilah nantinya dijual agar bisa beli kecap, cabe, bawang, ikan, garam dan kebutuhan dapur lainnya. Karena, yang kami punya hanya beras,” terang dia.
Di rumah papan dengan lantai sebagian tanah ini, Warsiah mengatakan, kerap juga mendapatkan bantuan pupuk dan insektisida dari kelompok taninya. Namun, hal itu belum cukup menyelesaikan permasalahannya sebagai petani.
Sistem kerap berutang sebelum tanam, hingga menjual gabah dengan harga murah saat panen raya, belum lagi serangan hama dan penyakit, masih menjadi momok baginya.
“Yang kami andalkan cuma lahan dan otot. Benih, pupuk, racun, membajak, memanen, semuanya diawali dengan berutang. Sistem utangnya beda-beda, jika membajak dengan traktor bisa dibayar dengan beras panen dengan perbandingan seperdelapan,”terangnya.
Kondisi seperti ini dibenarkan Sekretaris Desa (Sekdes) Telang Rejo, Rokhim. Berdasarkan catatan pemerintah desa, kata dia, dari 590 KK warga desa mencapai 276 KK terdata sebagai penerima raskin.
Penyebabnya, sebagian besar warga masih masuk dalam katagori masyarakat miskin (rumah tangga sasaran).
“Mereka (warga) benar memiliki sawah, tapi hasil sawahnya amat rendah. Rumah mereka dari papan kayu, ada yang masih berlantai tanah setengah, atau masih tanah seluruh. Ya itu, mereka masih belum terlepas dari sistem berutang sebelum menanam,” ucapnya.
Karena sebagian besar penerima merupakan penghasil beras, proses pembagian raskin dilakukan
setelah panen raya.
Biasanya, beras raskin dibagikan pada bulan Juni hingga akhir tahun. Akibatnya, dalam satu bulan mendapatkan jatah beras raskin sebanyak dua bulan.
“Sistem ini nampaknya sudah terbakukan. Jadi, di bulan Jun mendapatkan beras raskin 30 Kg, Juli juga 30 Kg, hingga sampai Desember mendapatkan 30 Kg. Beras raskin baru masuk setelah panen,” kata Rokhim.
Pembagian raskin di tanah lumbung, kata dia, masih menjadi bagian potret petani saat ini. Di desa seluas 2.231 hektare (Ha) yang hampir seluruh daerah sawah merupakan lahan produktif itu sebenarnya terdapat lumbung Bulog. Namun sayangnya, sinkronisasi kinerja antar lembaga belum tercapai.
Saat panen raya, beras petani malah banyak lari ke pedagang luar desa dengan mekanisme pasar dagang.
“Saat panen, Bulog tidak serap banyak beras dari petani akibatnya harga ditentukan pembeli besar (tauke). Penghasilan petani jadi tidak optimal sehingga belum bisa bayar utang. Akibatnya, utang menumpuk, sementara beban hidup masih harus dipenuhi. Alhasil, petani masuk katagori keluarga miskin.
Pemerintah malah kasih bantuan beras. Padahal, beras raskin diserap pemerintah juga dari petani di desa lumbung ini,” beber dia.
Namun Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian mengatakan saat ini, bantuan dari pemerintah kabupaten makin bertambah bagi petani.
Selain dibantu benih dengan sistem tanam dua kali setahun, petani juga dibantu peralatan pertanian yang dipakai secara kolektif (berkelompok) misalnya traktor, dan alat panen. Bantuan lain, pemerintah membagikan jenis pupuk dan insektisida yang berdasarkan usulan petani.
“Pemerintah terus berupaya dan bertahap meningkatkan ekonomi petani. Bulog juga hendaknya bisa serap di awal panen, dengan di atas harga pasar. Petani juga harus bersedia menggunakan varietas IP200 agar lahan jangan lama menganggur (senggang), petani tidak lagi sekali tanam setahun. Selain itu, pemberdayaan ekonomi masyarakat tani juga harus digerakkan seperti perikanan dan peternakan,” ujarnya.
Terpisah, Humas Perum Bulog Drive Sumsel, Fahmi merilis jika Kabupaten Banyuasin cukup besar menyerap raskin.
Banyuasin memiliki 42.377 rumah tangga sasaran penerima raskin dengan total raskin disalurkan mencapai 635.655 Kg perbulan atau jika diakumulasikan mencapai 7.627.860 Kg pertahun.
“Tahun ini, Bulog sudah menyiapkan anggaran Rp1 miliar bagi penyerapan gabah kering petani Sumsel dengan target mencapai 150.500 ton. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun lalu yang hanya 120.000 ton gabah kering. Harapannya, beras petani terserap, apalagi bagi pusat produksi beras, seperti di Banyuasin dan OKU Timur,” tandas dia.
(sms)