Pengusaha Kuliner Palopo Desak Revisi Perda Pajak Restoran
A
A
A
PALOPO - Sejumlah pengusaha kuliner, yakni penjual bakso, mie ayam, nasi kuning, sari laut yang ada di Kota Palopo, Sulsel, mendesak Pemerintah Kota bersama DPRD merevisi Peraturan Daerah (Perda) nomor 2 tahun 2011 tentang pajak Kafe dan reatoran.
Menurut perwakilan pengusaha kuliner saat menggelar aksi di DPRD Kota Palopo mereka tidak akan ikut perintah perda tersebut yang mengharuskan mereka membayar pajak 10 persen dari omzet mereka setiap bulannya.
"Pemberlakukan pajak konsumen dan pajak restoran sebesar 10 persen kepada kami sangatlah memberatkan dan kami merasa seperti sapi perahan oleh pemerintah. Kami minta perda ini segera direvisi," ujar Tomo salah seorang pelaku usaha kuliner di Kota Palopo.
Pedagang di Kota Palopo menganggap pemerintah dan DPRD melalui perda di atas telah melakukan kriminalisasi kepada mereka yang akhirnya akan membunuh usaha mereka.
"Mereka tarik pajak 10 persen dari omzet, jadi pemerintah pelan-pelan mengambil modal kami, ada baiknya jika pengenaan pajak tersebut dari laba atau keuntungan bersih, mungkin saja sedikit meringankan," katanya.
Selain itu, para pedagang kuliner di Kota Palopo juga menyayangkan sikap arogan Dinas Pedapatan Pengelolaan Keungan dan Aset Daerah (DPPKAD) dan kantor perizinan yang enggan menerbitkan izin usaha mereka yang menolak pelaksanaan pajak restoran 10 persen.
"Kami selalu taat pajak, ini buktinya, apa alasan pemerintah untuk menolak menerbitkan izin usaha kami bahkan mengancam akan menutup usaha kami," katanya.
Kepala DPPKAD Kota Palopo, Hamzah Jalante, menampik jika mereka menolak menertbitkan izin usaha khususnya mereka yang menggelar aksi, usaha warung makan Cak Tono dan warung makan Serba Nikmat.
"Kami ingin mereka menandatangani pernyataan bersedia bayar pajak 10 persen sesuai aturan perda di Kota Palopo, tapi mereka justru menolak," jelas Hamzah Jalante.
Kepala DPPKAD justeru mempertanyakan alasan mereka menolak membayar pajak sementara 90 persen pengusaha kuliner di Kota Palopo patuh pada aturan diatas.
"Hanya beberapa diantara mereka yang menolak bayar pajak, selebihnya pengusaha Kota Palopo taat pajak, jadi jangan bawa-bawa nama pengusaha kuliner karena mereka hanya segelintir tidak secara umum," katanya.
Dijelaskan Hamza Jalante lebih jauh bahwa pajak restoran 10 persen sebenarnya tidak membebani dan tidak dibebankan kepada pengusaha. "Pajak 10 persen ini adalah pajak konsumen, dalam bil mereka jelas tertulis pajak 10 persen oleh konsume," jelasnya.
Jadi lanjut Kadis DPPKAD setiap dan seluruh konsumen di Kota Palopo baik yang makan atau sekedar minum kopi kena pajak 10 persen, bukan diambil dari harga pokok jualan pengusaha.
"Justru kami heran jika ada pengusaha menolak pajak 10 persen yang notabenenya sudah dibayar oleh konsumen, mereka kemanakan pajak terebut," pungkasnya.
Menurut perwakilan pengusaha kuliner saat menggelar aksi di DPRD Kota Palopo mereka tidak akan ikut perintah perda tersebut yang mengharuskan mereka membayar pajak 10 persen dari omzet mereka setiap bulannya.
"Pemberlakukan pajak konsumen dan pajak restoran sebesar 10 persen kepada kami sangatlah memberatkan dan kami merasa seperti sapi perahan oleh pemerintah. Kami minta perda ini segera direvisi," ujar Tomo salah seorang pelaku usaha kuliner di Kota Palopo.
Pedagang di Kota Palopo menganggap pemerintah dan DPRD melalui perda di atas telah melakukan kriminalisasi kepada mereka yang akhirnya akan membunuh usaha mereka.
"Mereka tarik pajak 10 persen dari omzet, jadi pemerintah pelan-pelan mengambil modal kami, ada baiknya jika pengenaan pajak tersebut dari laba atau keuntungan bersih, mungkin saja sedikit meringankan," katanya.
Selain itu, para pedagang kuliner di Kota Palopo juga menyayangkan sikap arogan Dinas Pedapatan Pengelolaan Keungan dan Aset Daerah (DPPKAD) dan kantor perizinan yang enggan menerbitkan izin usaha mereka yang menolak pelaksanaan pajak restoran 10 persen.
"Kami selalu taat pajak, ini buktinya, apa alasan pemerintah untuk menolak menerbitkan izin usaha kami bahkan mengancam akan menutup usaha kami," katanya.
Kepala DPPKAD Kota Palopo, Hamzah Jalante, menampik jika mereka menolak menertbitkan izin usaha khususnya mereka yang menggelar aksi, usaha warung makan Cak Tono dan warung makan Serba Nikmat.
"Kami ingin mereka menandatangani pernyataan bersedia bayar pajak 10 persen sesuai aturan perda di Kota Palopo, tapi mereka justru menolak," jelas Hamzah Jalante.
Kepala DPPKAD justeru mempertanyakan alasan mereka menolak membayar pajak sementara 90 persen pengusaha kuliner di Kota Palopo patuh pada aturan diatas.
"Hanya beberapa diantara mereka yang menolak bayar pajak, selebihnya pengusaha Kota Palopo taat pajak, jadi jangan bawa-bawa nama pengusaha kuliner karena mereka hanya segelintir tidak secara umum," katanya.
Dijelaskan Hamza Jalante lebih jauh bahwa pajak restoran 10 persen sebenarnya tidak membebani dan tidak dibebankan kepada pengusaha. "Pajak 10 persen ini adalah pajak konsumen, dalam bil mereka jelas tertulis pajak 10 persen oleh konsume," jelasnya.
Jadi lanjut Kadis DPPKAD setiap dan seluruh konsumen di Kota Palopo baik yang makan atau sekedar minum kopi kena pajak 10 persen, bukan diambil dari harga pokok jualan pengusaha.
"Justru kami heran jika ada pengusaha menolak pajak 10 persen yang notabenenya sudah dibayar oleh konsumen, mereka kemanakan pajak terebut," pungkasnya.
(nag)