Tak Mampu Menebus Raskin, Sendung Kerap Makan Nasi Basi

Sabtu, 20 Februari 2016 - 04:02 WIB
Tak Mampu Menebus Raskin, Sendung Kerap Makan Nasi Basi
Tak Mampu Menebus Raskin, Sendung Kerap Makan Nasi Basi
A A A
MAJALENGKA - HIDUP sebatang kara jauh dari hiruk pikuk orang-orang di sekitar tak pernah terpikirkan oleh Sendung (55), warga Desa Nunuk, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

Dua tahun sudah, pria yang pernah menikah dengan perempuan asal Tasikmalaya dan dikarunia seorang anak itu tinggal di gubuk ukuran 2 meter X 4 meter di Blok Gunung Taneuh, desa setempat. Tak ada listrik ataupun kamar mandi. Bahkan, gubuk pun dibuat hanya dengan dinding setengah badan.

Sebagian dinding dibuat dengan bambu, sementara sebagian lagi ditutup menggunakan sarung bekas yang tidak layak. Sedangkan atap gubuk ditutup menggunakan belahan bambu yang disusun, agar bila hujan turun, air tidak masuk ke dalam gubuk.

Menengok ke dalam gubuk, tak banyak barang yang bisa dilihat. Hanya ada karung berisi pakaian yang digunakan Sendung sehari-hari, serta tungku yang ada di depan tempat tidurnya. Di depan tempat tidur, ada kuali berukuran kecil yang berisikan nasi bekas.

Sementara, jika hendak mandi, Sendung terlebih dulu harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 1 km ke tempat pemandian umum atau ke masjid desa.

Gubuk tersebut berada di Blok Gunung Taneuh, sekitar 700 meteran dari permukiman penduduk. Butuh waktu cukup lama untuk mencapai gubuk tersebut, sebab harus mendaki ke bukit kemudian masuk ke perkebunan.

Sendung yang bekerja serabutan ini mengaku tak bisa berbuat banyak dengan kondisinya. Setelah bercerai dengan istrinya, dia memilih tinggal di kebun milik adiknya yang sudah meninggal.

"Saya membuat gubuk di kebun milik adik saya yang sudah meninggal. Yang penting bisa untuk ditinggali, meski semuanya serba tidak layak," kata dia, Jumat (19/2/2016).

Sehari-harinya, Sendung bekerja serabutan. Jika ada yang memintanya bekerja untuk mencangkul kebun, maka hari itu menjadi hari keberuntungannya. Sebab, tidak setiap hari atau setiap minggu ada warga yang menggunakan jasanya.

"Upahnya lumayan, mulai dari Rp 20 ribu sampai Rp25 ribu. Tapi tidak setiap hari atau tiap minggu ada, kadang sampai sebulan lebih baru ada lagi yang nyuruh nyangkul," tuturnya dengan mata kosong.

Atau, dia mencari kemiri yang jatuh dari pohon milik orang lain, setelah terkumpul baru dia jual. Meski hidup serba kekurangan, Sendung mengaku tidak pernah mendapat bantuan apa pun dari pemerintah.

"Rasta (beras merata) saja saya tidak pernah dapat, mungkin karena saya tidak pernah bisa menebus beras yang 1 kg harganya Rp3.000 itu," kata dia.

Jika sudah tidak ada panggilan mencangkul dan uang di tangannya tak lagi cukup untuk sekadar membeli beras 1 kg, Sendung mengaku kerap berpuasa dan hanya berbuka dengan meminum air.

"Kalau ada nasi bekas, biarpun sudah bau tetap saya makan. Tapi kalau beras tidak ada, nasi bekas tidak ada, untuk menghilangkan rasa lapar saya hanya minum," kisahnya.

Rupanya, Sendung tak hanya tak mendapatkan rasta. BPJS pun Sendung tak punya. "Saya tidak bisa berbuat banyak," tambahnya.

Salah seorang keluarga Sendung, Eni Sukaeni menuturkan, jika sanak saudaranya mampu membangunkan gubuk yang layak untuk Sendung, sudah dari dahulu dilakukan.

"Kami pun berharap pemerintah desa membangunkan gubuk yang layak untuk dia (Sendung) dan keluarga miskin lainnya yang ada di Desa Nunuk," harapnya.

Sukaeni juga berharap pemerintah desa memberikan bantuan rasta kepada Sendung. "Agar Sendung bisa makan nasi yang benar-benar layak untuk dimakan," ujarnya.

Tokoh masyarakat Desa Nunuk, Memed, menuturkan, pihaknya akan berupaya bergotong royong membangun gubuk yang lebih baik agar di saat hujan atau ada angin besar Sendung tidak kehujanan.

Dia mengatakan sudah membeli asbes untuk atap bangunannya. "Rencananya akan kami bangun secara bergotong royong," ujarnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5630 seconds (0.1#10.140)