Pelana Kuda dan Karomah Sunan Muria

Sabtu, 30 Januari 2016 - 05:00 WIB
Pelana Kuda dan Karomah Sunan Muria
Pelana Kuda dan Karomah Sunan Muria
A A A
Sunan Muria adalah salah satu anggota Wali Songo, dia dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngandung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), tempat dia dimakamkan.

Banyak cerita mengenai karomah dari Sunan Muria diantaranya adalah benda bekas peninggalannya diantaranya pelana kuda yang kerap digunakan masyarakat sekitar Gunung Muria untuk meminta hujan jika terjadi kekeringan di wilayah tersebut.

Ritual minta hujan tersebut dikenal dengan nama guyang cekathak atau memandikan pelana kuda milik Sunan Muria. Ritual ini biasanya digelar pada hari Jumat Wage di musim kemarau.

Ritual diawali dengan membawa pelana kuda peninggalan Sunan Muria dari Komplek Masjid Muria ke mata air Sedang Rejoso di Bukit Muria.

Di mata air ini, pelana kuda kemudian dicuci lalu air sendang lalu dipercik-percikan ke warga. Usai mencuci pelana kuda, dilanjutkan dengan membacakan doa dan menunaikan salat minta hujan (Istisqa).

Lalu ditutup dengan makan bersama dengan lauk-pauk berupa sayuran dipadu dengan parutan kelapa, opor ayam dan gulai kambing.

Disediakan juga makanan penutup berupa minuman khas warga Kudus berupa dawet yang melambangkan bahwa butiran dawet adalah lambang turunnya hujan.

Selain itu air gentong peninggalan Sunan Muria juga diyakini dengan keberkahannya dapat menyembuhkan dan mencegah penyakit, membersihkan dari kotoran jiwa dan memberikan manfaat kecerdasan bagi sebagian peziarah dan warga sekitar Gunung Muria.

Cerita rakyat mengenai kehebatan Sunan Muria juga dikisahkan secara turun temurun soal Bulusan yang mengisahkan tentang Mbah Dudo, seorang alim ulama penyebar agama Islam di Kudus. Dia mempunyai murid bernama Umara dan Umari. Dalam perjalanannya menyebarkan agama Islam, Mbah Dudo berniat mendirikan pesantren di kaki Pegunungan Muria.

Pada Bulan Ramadan, tepatnya pada waktu malam Nuzulul Quran, Sunan Muria datang untuk bersilaturrahmi ke Mbah Dudo, sahabatnya.

Dalam perjalanannya, Sunan Muria melihat Umara dan Umari sedang mencabuti bibit padi di sawah pada malam hari.

Sunan Muria berhenti sejenak dan berkata kepada mereka berdua, “Lho, malam Nuzulul Quran kok tidak baca Alquran, malah di sawah berendam di air seperti bulus saja!”.

Akibat perkataan itu, Umara dan Umari seketika menjadi bulus (kura-kura air tawar). Tak lama kemudian, Mbah Dudo datang meminta maaf atas kesalahan kedua santrinya kepada Sunan Muria.

Namun nasi sudah menjadi bubur, Umara dan Umari sudah menjadi bulus dan tidak mungkin dapat kembali lagi berubah menjadi manusia.

Akhirnya, Sunan Muria menancapkan tongkatnya ke tanah dan keluar mata air sehingga diberilah nama tempat itu dengan nama Dukuh Sumber. Kemudian tongkatnya berubah menjadi pohon yang diberi nama pohon tombo ati (obat hati).

Sambil meninggalkan tempat itu, Sunan Muria berkata, “Besok anak cucu kalian akan menghormatimu setiap seminggu setelah hari raya bulan Syawal. Tepatnya pada saat Bodo Kupat, alias Kupatan.

Sunan Muria juga memiliki ilmu kanuragan bukti kesaktiannya terdapat dalam cerita mengenai perkawinannya dengan Dewi Roroyono.

Wanita ini adalah puteri Sunan Ngerang, seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.

Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap 20 tahun. Tamu yang diundang diantaranya Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa dan Adiknya Gentiri.

Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik jelita.

Bagi Adipati Pathak Warak, Dewi Roroyono adalah bak bidadari. Sehingga Pathak Warak tidak tahan lagi lalu menggoda Roroyono dan bertindak tidak sopan dengan memegang tubuh gadis tersebut.

Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, si gadis lalu naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang adipati.

Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu undangan menertawakan kekonyolan itu, diapun semakin malu. Sementara Roroyono masuk ke dalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan Pathak Warak.

Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ketempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria.

Pathak Warak kemudian mengendap-ngendap ke kamar Roroyono. Gadis itu lalu disirepnya sehingga tidak sadarkan diri, kemudian dibawa lari ke Kediri.

Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa puterinya diculik Pathak Warak, maka dia berikrar siapa saja yang berhasil membawa puterinya kembali ke Ngerang akan dijodohkan dengan puterinya itu dan bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono.

Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak.

Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang. Lalu Sunan Muria berusaha mengejar Pathak Warak, tetapi ditengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruannya.

Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono. Jika berhasil keduanya berjanji memulangkan Dewi Roroyono karena Sunan Murialah yang berhak mengawininya.

Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata minta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di Pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha itu berhasil. Dewi Roroyono akhirnya dikembalikan ke Ngerang dan dinikahkan dengan Sunan Muria.

Namun seiring waktu Kapa dan Gentiri juga terlanjur terpesona kecantikan Dewi Roroyono. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai isteri bersama secara bergiliran.

Gentiri berangkat lebih dahulu ke Gunung Muria. Namun ketika dia hendak melaksanakan niatnya dipergoki murid Sunan Muria, terjadilah pertempuran dahsyat. Akhirnya Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.

Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam hari. Kapa lalu berhasil menculik dan membawa wanita impiannya itu ke Pulau Sprapat.

Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro. Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang Datuk di Pulau Sprapat.

Ketika sampai di sana betapa terkejutnya Sunan Muria melihat isterinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya.

Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa Langsung melancarkan serangan. Ternyata serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan.

Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup bahagia.

Selain itu ada cerita mengenai buah parijoto yang tumbuh di lereng Muria. Bagi kalangan masyarakat Kudus dan pengunjung yang datang ke makam Sunan Muria, buah ini banyak dicari karena mitos yang terkandung. Buah ini dipercaya bisa bikin ganteng anak, jika dimakan oleh wanita yang hamil muda.

Mitosnya itu bermula saat istri Sunan Muria ngidam buah parijoto. Oleh Sunan Muria, keinginan istrinya itu dituruti. Pada saat lahir, anak Sunan Muria ternyata cantik dan ganteng.

Sejak itulah kemudian masyarakat meyakini jika saat hamil mengkonsumsi parijoto, maka anaknya akan ganteng atau cantik.

Tumbuhnya buah parijoto itu bermula dari pecahnya Kapal Dampo Awang yang bermuatan rempah-rempah, termasuk parijoto. Oleh Sunan Muria, parijoto itu kemudian ditanam di kediamannya wilayah Muria. Karena itulah kemudian parijoto banyak tumbuh di Muria.

Sumber:

- kisah walisongo.blogspot
- brilio.net
- wikipedia diolah dari berbagai sumber

(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3719 seconds (0.1#10.140)