Penolakan Jenazah Terduga Teroris Bentuk Diskriminasi
A
A
A
SURABAYA - Upaya sebagian warga menolak jenazah terduga teroris adalah bentuk diskriminasi. Sebab, meski sudah dicap sebagai teroris, tapi sebagai manusia masih punya untuk mendapatkan tanah sebagai tempat peristirahatan terakhir.
Presedium Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur Aan Ansori mengatakan, penolakan tersebut adalah respons logis dari masyarakat terhadap pelaku teror.
"Ini adalah respons logis. Karena warga juga merasa risih desanya akan dikenang sebagai desa teroris jika umpamanya jenazah pelaku nekat dikubur di tempat itu," kata Aan, Selasa (19/1/2016).
Namun, kata Aan, terhadap jenazah teroris itu hendaknya semua pihak bersikap adil dan tidak diskriminatif. Termasuk kepada seseorang yang dibenci sekalipun.
Meski menjadi teroris, mereka tetap memiliki hak sejengkal tanah sebagai tempat peristirahatan terakhir. Menolak karena kebencian bukan sikap seorang muslim yang baik.
Toh, pelaku teror sudah mendapatkan ganjaran atas perbuatan yang dilakukannya. "Mereka tetaplah manusia yang harus tetap kita hormati jenazahnya," jelasnya.
Kata Aan, bangsa Indonesia harus menunjukkan rasa keadilan dan cinta kasih terhadap sesama. Dengan demikian, bangsa ini akan mampu tegak dan terhormat dalam menghadapi gelombang teror.
"Mari kita jadikan kuburan para teroris sebagai monumen pengingat agar kita selalu waspada dan tidak melakukan praktik teror sebagaimana mereka. Mari kita maafkan mereka," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, hingga kini pro-kontra masih terjadi di kalangan warga Desa Kedungwungu, Kecamatan Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat, terkait rencana pemulangan jenazah Ahmad Muhazan yang disebut sebagai teroris di kawasan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis pekan lalu. (Baca juga: Kericuhan Warnai Rapat Pemulangan Jenazah Ahmad Muhazan).
Presedium Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur Aan Ansori mengatakan, penolakan tersebut adalah respons logis dari masyarakat terhadap pelaku teror.
"Ini adalah respons logis. Karena warga juga merasa risih desanya akan dikenang sebagai desa teroris jika umpamanya jenazah pelaku nekat dikubur di tempat itu," kata Aan, Selasa (19/1/2016).
Namun, kata Aan, terhadap jenazah teroris itu hendaknya semua pihak bersikap adil dan tidak diskriminatif. Termasuk kepada seseorang yang dibenci sekalipun.
Meski menjadi teroris, mereka tetap memiliki hak sejengkal tanah sebagai tempat peristirahatan terakhir. Menolak karena kebencian bukan sikap seorang muslim yang baik.
Toh, pelaku teror sudah mendapatkan ganjaran atas perbuatan yang dilakukannya. "Mereka tetaplah manusia yang harus tetap kita hormati jenazahnya," jelasnya.
Kata Aan, bangsa Indonesia harus menunjukkan rasa keadilan dan cinta kasih terhadap sesama. Dengan demikian, bangsa ini akan mampu tegak dan terhormat dalam menghadapi gelombang teror.
"Mari kita jadikan kuburan para teroris sebagai monumen pengingat agar kita selalu waspada dan tidak melakukan praktik teror sebagaimana mereka. Mari kita maafkan mereka," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, hingga kini pro-kontra masih terjadi di kalangan warga Desa Kedungwungu, Kecamatan Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat, terkait rencana pemulangan jenazah Ahmad Muhazan yang disebut sebagai teroris di kawasan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis pekan lalu. (Baca juga: Kericuhan Warnai Rapat Pemulangan Jenazah Ahmad Muhazan).
(zik)