Dusun Tanjung, Binaan Gafatar yang Gagal Disesatkan

Selasa, 12 Januari 2016 - 16:17 WIB
Dusun Tanjung, Binaan Gafatar yang Gagal Disesatkan
Dusun Tanjung, Binaan Gafatar yang Gagal Disesatkan
A A A
YOGYAKARTA - Dusun Tanjung, Desa Bangunharjo, Kecamatan Sewon merupakan daerah binaan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Melalui berbagai kegiatan sosial, Gafatar mentransfer ide-idenya tentang agama kepada warga dusun ini.

Sutarmi, salah seorang ibu rumah tangga yang juga istri Ketua RT 01 Sambudi mengaku dirinya kaget saat mengetahui Gafatar berada di balik hilangnya belasan orang di DIY.

"Saya kaget karena Gafatar yang dia kenal dua tahun silam hanyalah berkegiatan sosial. Saya tidak menyangka jika akhirnya berkembang menjadi gerakan makar," katanya, kepada wartawan, Selasa (12/1/2016).

Sutarmi menceritakan awal mula Gafatar masuk ke kampungnya. Saat magrib beberapa tahun lalu, suaminya bertemu dengan tiga orang pemuda yang mengaku dari Gafatar.

Mereka kemudian sama-sama salat berjamaah di masjid yang berjarak beberapa puluh meter dari rumahnya. Suaminya hanya ngobrol sebentar dan lantas membawa ketiga orang Gafatar tersebut ke rumahnya.

Mereka bercengkerama dan tiga orang tersebut mulai memperkenalkan diri dan mengungkapkan maksud kedatangan mereka. "Katanya mereka ingin melaksanakan kegiatan sosial," ungkapnya.

Tak berselang lama, janji ketiga orang tersebut mulai terealisasi. Puluhan anggota Gafatar datang dan menyatu kegiatan kerja bhakti warga yang rutin warga selenggarakan setiap pekan.

Anggota Gafatar yang laki-laki mengikuti kegiatan bersih-bersih kampung, bersih-bersih selokan, bersih-bersih makam dan bersih-bersih masjid. Terkadang mereka juga diundang untuk menghadiri suatu pertemuan.

Sementara untuk kaum ibu-ibu dibuatkan kegiatan oleh Gafatar. Anggota Gafatar mendatangi kegiatan Ibu-ibu PKK dan mengajari berbagai keterampilan memasak.

Saat itu, Ibu-ibu RT 01 diajari cara memasak brownis (Roti) berbahan dasar dari Ketela Pohon. Kegiatan Ibu-ibu PKK tersebut lebih banyak dilaksanakan di rumahnya karena suaminya merupakan Ketua RT di dusun tersebut.

"Mereka juga pernah melakukan aksi sosial seperti pemeriksaan kesehatan, donor darah dan lain-lain," terangnya.

Karena dinilai baik, akhirnya warga menerima keberadaan Gafatar. Bahkan suaminya sendiri sempat turut serta dan fanatik terhadap gerakan ini. Apalagi penampilan anggota Gafatar juga tidak mencurigakan dan tidak ada penampilan khusus.

"Penampilan mereka seperti layaknya anak muda jaman sekarang. Berbaju biasa, bahkan juga sering berkaos oblong seperti biasanya. Tindak-tanduknya juga sopan. Jadi kami tidak curiga," ungkapnya.

Karena warga di tempat tersebut menerima kegiatan Gafatar, suaminya pernah diundang oleh Gafatar untuk menghadiri pertemuan skala lebih besar. Dalam pertemuan itu, suaminya diberi piala penghargaan dari DPD Gafatar.

Tidak hanya itu, suaminya juga sering mendapatkan majalah berisi kegiatan-kegiatan Gafatar dan banyak diisi foto-foto dari kegiatan Gafatar bersama aparat kepolisian dan bahkan tentara.

Lama kelamaan bahkan ada salah satu keluarga dari RT 3 yang datang ke rumahnya bersama anak dan istri. Mereka mengajak anak dari Sutarmi untuk bergabung dengan Gafatar namun anak perempuan Sutarmi menolak ajakan tersebut.

"Belakangan diketahui Sulis bersama anak istrinya yang pernah mengajak anak perempuan Sutarmi ternyata sudah setahun terakhir menghilang. Dia (Sulis) dikenal sebagai dedengkot Gafatar," bebernya.

Lambat laun, perhatian masyarakat lama-kelamaan berkurang terhadap Gafatar. Warga mulai melakukan penolakan namun dia tidak mengetahui alasan pastinya. Dia menduga, karena ide yang dibawa Gafatar banyak menyimpang.

Dia mengaku pernah mendengar sendiri dari salah satu anggota Gafatar bahwa salat itu hanya tiga waktu di malam hari dan tidak usah salat Jumat. "Saya sendiri heran dengan ungkapan tersebut. Itu aliran apa?" terangnya.

Sementara itu, Ngaliman warga dusun lain menambahkan, kegiatan Gafatar di kampung sudah lama terjadi. Secara rutin, kaum lelaki di dusun tersebut sering dikumpulkan pada malam hari. Mereka sering diajak kegiatan bakti sosial saat malam hari.

Dalam kegiatan itu, warga sering disuguhi pemutaran film tentang jihad dan sebagainya. Karena sepak terjang Gafatar cukup baik di dusun tersebut, ada beberapa warga yang bergabung dengan Gafatar.

Bahkan, kegiatan-kegiatan tersebut sering diselenggarakan di Balai Dusun yang berada di rumah kepala dukuh mereka. Namun lambat laun warga mulai curiga dengan misi yang dibawa oleh Gafatar.

Melalui musyawarah Ketua RT, akhirnya warga sepakat untuk menolak Gafatar. "Sejak itu Gafatar sudah ada di sini. Sudah setahun lebih," ungkapnya.

Terpisah, Taat Setya Budi (23) alumni Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) jurusan Pendidikan Sejarah mengaku, dirinya pernah terlibat kegiatan Gafatar pada 2012 silam. Dia tertarik Gafatar dan ikut menyumbangkan dana untuk kegiatannya.

"Saya mengaku tertarik karena kegiatan yang ditawarkan adalah kegiatan sosial. Saya tidak lama kok. Wong kami terus bikin gerakan sendiri," jelasnya.

Dia menjelaskan, pertama bersinggungan dengan Gafatar melalui media sosial Facebook. Alamat Facebook Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Dalam Facebooknya, Gafatar mengumpulkan penggalangan dana.

"Saya tertarik menyumbangkan sejumlah uang untuk kegiatan tersebut karena sifatnya sangat sosial. Itu mahasiswa banyak yang ikut," paparnya.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9554 seconds (0.1#10.140)