Freeport dan Nasionalisme Orang Papua
A
A
A
FREEPORT dan PAPUA merupakan satu keping mata uang yang masing-masing sisinya saling bertolak belakang. Sisi yang satu menginginkan emas, tembaga dan perak, dan yang lainnya menginginkan kemerdekaan.
Cerita Pagi akan mengupas konflik yang terjadi di Papua Barat dan hubungannya dengan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan yang berada di dataran tinggi Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Sebelum mengungkap akar terjadinya konflik di Papua Barat, Cerita Pagi akan mengulas sedikit sejarah PT Freeport bercokol di tanah Papua. Freeport McMoran Copper and Gold merupakan konglomerat tambang transnasional yang bermarkas di New Orleans, Amerika Serikat.
Perusahaan ini memulai aktivitasnya di Papua Barat dengan menandatangani kontrak kepada Pemerintah Indonesia untuk menambang tembaga di lahan seluas 10.000 hektare dari tanah-tanah yang diduduki suku asli Amungme pada 1967.
Hingga kini, hak penambangan Freeport telah diperluas lebih dari tiga kali hingga mencapai 25.000 hektare lebih. Namun perusahaan itu tidak memiliki kebijakan atau komitmen apapun yang didistribusikan kepada masyarakat lokal.
Bahkan, dengan menggunakan model pembangunan dunia ketiga, Freeport mendirikan kota satelit yang glamor lengkap dengan berbagai fasilitas dan hotel Sheraton bintang lima. Hal itu terlihat kontras dengan suku Amungme yang miskin.
Dengan berbagai fasilitas yang mewah dan dimanjakan itu, para staf Freeport menikmati hidup yang serba mewah. Sementara masyarakat suku Amungme yang masih memegang teguh kepercayaan dan tradisi nenek moyang itu tetap tertinggal.
Pada 1977, masyarakat suku Amungme menggelar protes menuntut kompensasi atas hilangnya tanah-tanah mereka. Namun protes masyarakat suku Amungme ini diabaikan begitu saja oleh Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia.
Konon suku Amungme yang dipercaya menjadi keturunan pertama dari anak sulung bangsa manusia itu banyak hidup di daerah pegunungan dan berwatak keras. Lingkungan yang keras kerap membuat mereka bertindak berani dengan melakukan gerakan protes.
Namun Pemerintah Indonesia dan Freeport menganggap gerakan protes itu sebagai aksi teroris yang harus dibasmi. Seakan tidak mau mendengar protes itu, Freeport malah membuka daerah pertambangan di Gasberg, dua kilometer dari Timika.
Areal pertambangan di atas lahan seluas 2,6 juta hektare inilah yang berhasil mendongkrak produksi Freeport hingga 900 juta pound tembaga, serta 1,1 juta ons emas per tahun, dan membuatnya menjadi operator tambang terbesar di dunia.
Dari keuntungan yang sangat besar itu, masyarakat Amungme tidak mendapatkan apa-apa. Begitupun dengan Pemerintah Indonesia yang hanya mau menerima sebagian kecil saja keuntungan dari pajak-pajak dan jasa pengelolaan keamanan militernya.
Pada 2002, PT Freeport McMoran Copper and Gold Inc mengakui bahwa anak perusahaannya di Indonesia, yakni PT Freeport Indonesia telah mengucurkan dana sebesar USD10,7 juta untuk membayar TNI dan polisi selama 2001-2002.
Jauh hari sebelumnya, kerja sama antara TNI/Polri dengan Freeport sebenarnya sudah terjadi. Hal ini tampak pada banyaknya kekerasan yang dilakukan TNI/Polri di sekitar areal pertambangan terhadap masyarakat sekitar.
Puncak kekerasan TNI/Polri yang pertama di Freeport terjadi pada 1995. Sebanyak 37 warga desa yang melakukan protes terhadap Freeport dibunuh secara kejam karena melakukan protes terhadap operasi tambang perusahaan itu.
Aksi kekerasan terhadap penduduk di sekitar pertambangan bukan hanya dilakukan oleh aparat TNI/Polri. Tetapi juga oleh pihak keamanan dalam Freeport. Melalui kerja sama pengamanan itu, Freeport telah memanfaatkan TNI/Polri.
Pihak TNI/Polri sebenarnya sadar telah dimanfaatkan Freeport. Namun kebutuhan finansial mereka dan tidak bisa dipenuhi seluruhnya oleh pemerintah membuat mereka rela menjadi centeng-centeng tukang jagal perusahaan-perusahaan asing.
Peneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Heru Cahyono mengatakan, hal itu membuat masyarakat asli Papua hidup dalam kolonialisasi baru yang sangat menyengsarakan kehidupan mereka.
"Di satu sisi mereka menghadapi persoalan pelanggaran HAM. Di sisi lain, mereka berhadapan dengan kenyataan bahwa hadirnya perusahaan tambang besar telah mengakibat keprihatinan mendalam terhadap dampak lingkungan yang merusak," katanya.
Dia melanjutkan, semua persoalan tanah, perusakan lingkungan, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap masyarakat Papua Barat harus menjadi tanggung jawab penuh Pemerintah Indonesia, Freeport, dan Amerika Serikat.
Sejak Freeport berdiri dan terjadi okupasi tanah-tanah, relokasi penduduk, dan polusi telah mengakibatkan perubahan yang sangat besar terhadap masyarakat Amungme dan membahayakan berbagai spesies yang hidup di kawasan itu.
Limbah-limbah tembaga yang telah mencemari ikan-ikan yang ada di sungai sekitar Freeport juga sangat membahayakan bagi sumber air minum masyarakat setempat. Hal ini tidak pernah diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia dan Freeport.
Hingga kini, keberadaan Freeport banyak menyumbang penderitaan masyarakat Amungme dan menambah konflik yang terjadi di Papua. Namun begitu, kasus Freeport bukan satu-satunya yang membuat masyarakat Papua ingin merdeka dari Indonesia.
Konflik antara masyarakat Papua dengan Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berlangsung jauh hari sebelumnya, yakni saat Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Saat itu, Soekarno tegas mengatakan yang menjadi wilayah Republik Indonesia adalah seluruh daerah jajahan Belanda. Papua merupakan salah satu wilayah jajahan Belanda yang dengan sendirinya menjadi bagian dari Indonesia.
Namun, Pemerintah Belanda berusaha menghalangi Indonesia untuk memasukkan wilayah Nieuw Guinea ke dalam daerah kekuasaan Indonesia dengan menyatakan bahwa Nieuw Guinea perlu mendapatkan kedudukannya sendiri.
Melalui politik pecah belah itu, Letnan Gubernur Jenderal van Mook yang bertindak atas nama pemerintah Belanda berhasil untuk sementara waktu mencegah Nieuw Guinea kembali ke pangkuan Republik Indonesia, melalui tiga konferensi.
Pada konferensi pertama di Malino, Belanda berencana membentuk negara federal di daerah-daerah yang dikuasai Indonesia. Sedang dalam Konferensi Pangkalpinang, Belanda ingin Nieuw Guinea diberikan status politik sendiri.
Begitupun dengan konferensi ketiga yang terjadi di Denpasar. Pemerintah Kolonial Belanda tidak ingin Indonesia membentuk Indonesia Timur yang meliputi wilayah kekuasaannya Nederlands Nieuw Guinea. Dari sinilah akar konflik di Papua.
Konflik Papua antara Belanda dengan Indonesia ini berlangsung cukup lama, sejak 1945-1962. Puncaknya terjadi saat Soekarno mengeluarkan maklumatnya yang terkenal dengan Tri Komando Rakyat, di Yogyakarta pada 19 Desember 1961.
Tri Komando Rakyat atau Trikora berisi tiga hal, pertama gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda kolonial, kedua kibarkan sang saka merah putih di Irian Barat, ketiga mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan.
Konflik ini tidak hanya melibatkan Indonesia dan Belanda, tetapi juga negara-negara besar lainnya. Baru pada 1962, akhirnya konflik Papua bisa diselesaikan melalui rencana Bunker atau dikenal dengan Persetujuan New York.
Dengan disetujuinya perjanjian itu, maka secara langsung Papua kembali ke dalam pangkuan Indonesia. Dalam pidatonya di Kota Baru 4 Mei 1963, Soekarno kembali menegaskan kedudukan Irian Barat dalam wilayah kekuasaan Indonesia.
Yang dinamakan Tanah Air Indonesia adalah wilayah yang sejak dulu dijajah oleh pihak Belanda, yang dulu dinamakan Hindia Belanda, yang dulu dinamakan Nederland Indie (Karesidenan Ternate-red). Itulah wilayah Republik Indonesia.
Dengarkan benar kataku (rakyat Papua-red), itulah wilayah Republik Indonesia. Itu berarti bahwa sejak 17 Agustus 1945, Irian Barat telah masuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Apa yang belum terjadi?
Karena penjajahan Belanda setelah proklamasi masih berjalan terus, maka Irian Barat belum kembali termasuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Saudara-saudara perhatikan benar-benar.
Bukan memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia, tetapi memasukkan kembali Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Kesalahan ini masih kadang-kadang dibuat (Sengaja dibuat-buat).
Namun, sejak kembali ke dalam pangkuan Indonesia nasib rakyat Papua tidak banyak berubah. Bahkan berkembang lebih buruk dari yang sebelum-sebelumnya. Pembangunan sama sekali tidak berjalan di Papua dan masyarakatnya sangat miskin.
Papua Barat terkenal dengan peradaban zaman batunya, keindahan lereng-lereng gunung yang curam dan hutan-hutannya yang perawan, serta puncak gunung Jaya Wijaya tertinggi ketiga di dunia setelah Himalaya dan Andes.
Tidak hanya itu, alam Papua juga sangat kaya. Di bumi ini terkandung kekayaan alam yang melimpah, meliputi deposit emas dan tembaga, di samping kandungan gas dan minyak bumi yang sangat melimpah, serta lainnya.
Di daerah ini juga terdapat 1.000 kelompok bahasa yang berbeda, di mana 250 di antaranya tinggal di perbatasan Papua Nugini. Penduduk asli Papua Barat beragama Kristen dan berasal dari ras Melanesia. Demikian sungguh kaya Papua itu.
Namun semua kekayaan alam Papua itu tidak pernah dinikmati oleh masyarakat Papua sendiri. Angka kematian bayi sangat tinggi, mencapai 117 kematian dari setiap 1.000 anak yang berusia di bawah satu tahun.
Di daerah yang kaya ini, hanya ada satu rumah sakit dengan fasilitas 70 tempat tidur untuk 400.000 orang, dan hanya ada satu dokter untuk daerah 53.000 km persegi dengan penderita penyakit kusta dan HIV/AIDS paling tinggi.
Angka-angka kematian bayi dan kekurangan gizi pada masyarakat Papua lebih mengkhawatirkan lagi. Sebanyak 25% bayi Papua meninggal karena radang paru. Angka ini paling tinggi di dunia. Sedang 20% dari total penduduknya mengalami gizi buruk.
Kenyataan pahit inilah yang harus diterima masyarakat Papua selama turun temurun. Di bawah ketidakadilan dan penindasan, serta konflik berkepanjangan inilah masyarakat Papua bangkit melawan Pemerintah Indonesia.
Maka lahirlah sebuah organisasi kecil dan regional yang bertujuan mendorong kebebasan bagi masyaraat Papua. Aktivitas organisasi ini yang utama mendesak militer Indonesia keluar dari Papua dan mendirikan negara Papua merdeka.
Organisasi itu kemudian dikenal dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan belakangan disebut sebagai Tentara Pembebasan Nasional (TPN) yang terdiri dari unit-unit militer yang senjatanya masih tradisional dan sangat terbatas.
Perlawanan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia telah berlangsung sejak 1962 dan masih berlangsung hingga kini. Total masyarakat Papua yang tewas dibunuh selama 40 tahun oleh TNI/Polri telah mencapai 100.000-800.000 orang lebih.
Sumber Tulisan:
Heru Cahyono, Dimensi Ekonomi dan Politik Konflik Papua, Masyarakat Indonesia, LIPI Press, 2004.
JR Mansoben, Arti Sebuah Nama: Penggunaan Nama Papua untuk Menggantikan Irian Jaya, Masyarakat Indonesia, LIPI Press, 2004.
Hasan Kurniawan, Praktik Kolonialisme di Balik Nama Papua, dikutip dalam Laman Sindonews.com.
Suku Amungme Mimika Papua, dikutip dalam laman http://kebudayaanindonesia.net
PT Freeport Indonesia, dikutip dalam laman http://ptfi.co.id.
Cerita Pagi akan mengupas konflik yang terjadi di Papua Barat dan hubungannya dengan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan yang berada di dataran tinggi Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Sebelum mengungkap akar terjadinya konflik di Papua Barat, Cerita Pagi akan mengulas sedikit sejarah PT Freeport bercokol di tanah Papua. Freeport McMoran Copper and Gold merupakan konglomerat tambang transnasional yang bermarkas di New Orleans, Amerika Serikat.
Perusahaan ini memulai aktivitasnya di Papua Barat dengan menandatangani kontrak kepada Pemerintah Indonesia untuk menambang tembaga di lahan seluas 10.000 hektare dari tanah-tanah yang diduduki suku asli Amungme pada 1967.
Hingga kini, hak penambangan Freeport telah diperluas lebih dari tiga kali hingga mencapai 25.000 hektare lebih. Namun perusahaan itu tidak memiliki kebijakan atau komitmen apapun yang didistribusikan kepada masyarakat lokal.
Bahkan, dengan menggunakan model pembangunan dunia ketiga, Freeport mendirikan kota satelit yang glamor lengkap dengan berbagai fasilitas dan hotel Sheraton bintang lima. Hal itu terlihat kontras dengan suku Amungme yang miskin.
Dengan berbagai fasilitas yang mewah dan dimanjakan itu, para staf Freeport menikmati hidup yang serba mewah. Sementara masyarakat suku Amungme yang masih memegang teguh kepercayaan dan tradisi nenek moyang itu tetap tertinggal.
Pada 1977, masyarakat suku Amungme menggelar protes menuntut kompensasi atas hilangnya tanah-tanah mereka. Namun protes masyarakat suku Amungme ini diabaikan begitu saja oleh Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia.
Konon suku Amungme yang dipercaya menjadi keturunan pertama dari anak sulung bangsa manusia itu banyak hidup di daerah pegunungan dan berwatak keras. Lingkungan yang keras kerap membuat mereka bertindak berani dengan melakukan gerakan protes.
Namun Pemerintah Indonesia dan Freeport menganggap gerakan protes itu sebagai aksi teroris yang harus dibasmi. Seakan tidak mau mendengar protes itu, Freeport malah membuka daerah pertambangan di Gasberg, dua kilometer dari Timika.
Areal pertambangan di atas lahan seluas 2,6 juta hektare inilah yang berhasil mendongkrak produksi Freeport hingga 900 juta pound tembaga, serta 1,1 juta ons emas per tahun, dan membuatnya menjadi operator tambang terbesar di dunia.
Dari keuntungan yang sangat besar itu, masyarakat Amungme tidak mendapatkan apa-apa. Begitupun dengan Pemerintah Indonesia yang hanya mau menerima sebagian kecil saja keuntungan dari pajak-pajak dan jasa pengelolaan keamanan militernya.
Pada 2002, PT Freeport McMoran Copper and Gold Inc mengakui bahwa anak perusahaannya di Indonesia, yakni PT Freeport Indonesia telah mengucurkan dana sebesar USD10,7 juta untuk membayar TNI dan polisi selama 2001-2002.
Jauh hari sebelumnya, kerja sama antara TNI/Polri dengan Freeport sebenarnya sudah terjadi. Hal ini tampak pada banyaknya kekerasan yang dilakukan TNI/Polri di sekitar areal pertambangan terhadap masyarakat sekitar.
Puncak kekerasan TNI/Polri yang pertama di Freeport terjadi pada 1995. Sebanyak 37 warga desa yang melakukan protes terhadap Freeport dibunuh secara kejam karena melakukan protes terhadap operasi tambang perusahaan itu.
Aksi kekerasan terhadap penduduk di sekitar pertambangan bukan hanya dilakukan oleh aparat TNI/Polri. Tetapi juga oleh pihak keamanan dalam Freeport. Melalui kerja sama pengamanan itu, Freeport telah memanfaatkan TNI/Polri.
Pihak TNI/Polri sebenarnya sadar telah dimanfaatkan Freeport. Namun kebutuhan finansial mereka dan tidak bisa dipenuhi seluruhnya oleh pemerintah membuat mereka rela menjadi centeng-centeng tukang jagal perusahaan-perusahaan asing.
Peneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Heru Cahyono mengatakan, hal itu membuat masyarakat asli Papua hidup dalam kolonialisasi baru yang sangat menyengsarakan kehidupan mereka.
"Di satu sisi mereka menghadapi persoalan pelanggaran HAM. Di sisi lain, mereka berhadapan dengan kenyataan bahwa hadirnya perusahaan tambang besar telah mengakibat keprihatinan mendalam terhadap dampak lingkungan yang merusak," katanya.
Dia melanjutkan, semua persoalan tanah, perusakan lingkungan, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap masyarakat Papua Barat harus menjadi tanggung jawab penuh Pemerintah Indonesia, Freeport, dan Amerika Serikat.
Sejak Freeport berdiri dan terjadi okupasi tanah-tanah, relokasi penduduk, dan polusi telah mengakibatkan perubahan yang sangat besar terhadap masyarakat Amungme dan membahayakan berbagai spesies yang hidup di kawasan itu.
Limbah-limbah tembaga yang telah mencemari ikan-ikan yang ada di sungai sekitar Freeport juga sangat membahayakan bagi sumber air minum masyarakat setempat. Hal ini tidak pernah diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia dan Freeport.
Hingga kini, keberadaan Freeport banyak menyumbang penderitaan masyarakat Amungme dan menambah konflik yang terjadi di Papua. Namun begitu, kasus Freeport bukan satu-satunya yang membuat masyarakat Papua ingin merdeka dari Indonesia.
Konflik antara masyarakat Papua dengan Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berlangsung jauh hari sebelumnya, yakni saat Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Saat itu, Soekarno tegas mengatakan yang menjadi wilayah Republik Indonesia adalah seluruh daerah jajahan Belanda. Papua merupakan salah satu wilayah jajahan Belanda yang dengan sendirinya menjadi bagian dari Indonesia.
Namun, Pemerintah Belanda berusaha menghalangi Indonesia untuk memasukkan wilayah Nieuw Guinea ke dalam daerah kekuasaan Indonesia dengan menyatakan bahwa Nieuw Guinea perlu mendapatkan kedudukannya sendiri.
Melalui politik pecah belah itu, Letnan Gubernur Jenderal van Mook yang bertindak atas nama pemerintah Belanda berhasil untuk sementara waktu mencegah Nieuw Guinea kembali ke pangkuan Republik Indonesia, melalui tiga konferensi.
Pada konferensi pertama di Malino, Belanda berencana membentuk negara federal di daerah-daerah yang dikuasai Indonesia. Sedang dalam Konferensi Pangkalpinang, Belanda ingin Nieuw Guinea diberikan status politik sendiri.
Begitupun dengan konferensi ketiga yang terjadi di Denpasar. Pemerintah Kolonial Belanda tidak ingin Indonesia membentuk Indonesia Timur yang meliputi wilayah kekuasaannya Nederlands Nieuw Guinea. Dari sinilah akar konflik di Papua.
Konflik Papua antara Belanda dengan Indonesia ini berlangsung cukup lama, sejak 1945-1962. Puncaknya terjadi saat Soekarno mengeluarkan maklumatnya yang terkenal dengan Tri Komando Rakyat, di Yogyakarta pada 19 Desember 1961.
Tri Komando Rakyat atau Trikora berisi tiga hal, pertama gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda kolonial, kedua kibarkan sang saka merah putih di Irian Barat, ketiga mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan.
Konflik ini tidak hanya melibatkan Indonesia dan Belanda, tetapi juga negara-negara besar lainnya. Baru pada 1962, akhirnya konflik Papua bisa diselesaikan melalui rencana Bunker atau dikenal dengan Persetujuan New York.
Dengan disetujuinya perjanjian itu, maka secara langsung Papua kembali ke dalam pangkuan Indonesia. Dalam pidatonya di Kota Baru 4 Mei 1963, Soekarno kembali menegaskan kedudukan Irian Barat dalam wilayah kekuasaan Indonesia.
Yang dinamakan Tanah Air Indonesia adalah wilayah yang sejak dulu dijajah oleh pihak Belanda, yang dulu dinamakan Hindia Belanda, yang dulu dinamakan Nederland Indie (Karesidenan Ternate-red). Itulah wilayah Republik Indonesia.
Dengarkan benar kataku (rakyat Papua-red), itulah wilayah Republik Indonesia. Itu berarti bahwa sejak 17 Agustus 1945, Irian Barat telah masuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Apa yang belum terjadi?
Karena penjajahan Belanda setelah proklamasi masih berjalan terus, maka Irian Barat belum kembali termasuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Saudara-saudara perhatikan benar-benar.
Bukan memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia, tetapi memasukkan kembali Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Kesalahan ini masih kadang-kadang dibuat (Sengaja dibuat-buat).
Namun, sejak kembali ke dalam pangkuan Indonesia nasib rakyat Papua tidak banyak berubah. Bahkan berkembang lebih buruk dari yang sebelum-sebelumnya. Pembangunan sama sekali tidak berjalan di Papua dan masyarakatnya sangat miskin.
Papua Barat terkenal dengan peradaban zaman batunya, keindahan lereng-lereng gunung yang curam dan hutan-hutannya yang perawan, serta puncak gunung Jaya Wijaya tertinggi ketiga di dunia setelah Himalaya dan Andes.
Tidak hanya itu, alam Papua juga sangat kaya. Di bumi ini terkandung kekayaan alam yang melimpah, meliputi deposit emas dan tembaga, di samping kandungan gas dan minyak bumi yang sangat melimpah, serta lainnya.
Di daerah ini juga terdapat 1.000 kelompok bahasa yang berbeda, di mana 250 di antaranya tinggal di perbatasan Papua Nugini. Penduduk asli Papua Barat beragama Kristen dan berasal dari ras Melanesia. Demikian sungguh kaya Papua itu.
Namun semua kekayaan alam Papua itu tidak pernah dinikmati oleh masyarakat Papua sendiri. Angka kematian bayi sangat tinggi, mencapai 117 kematian dari setiap 1.000 anak yang berusia di bawah satu tahun.
Di daerah yang kaya ini, hanya ada satu rumah sakit dengan fasilitas 70 tempat tidur untuk 400.000 orang, dan hanya ada satu dokter untuk daerah 53.000 km persegi dengan penderita penyakit kusta dan HIV/AIDS paling tinggi.
Angka-angka kematian bayi dan kekurangan gizi pada masyarakat Papua lebih mengkhawatirkan lagi. Sebanyak 25% bayi Papua meninggal karena radang paru. Angka ini paling tinggi di dunia. Sedang 20% dari total penduduknya mengalami gizi buruk.
Kenyataan pahit inilah yang harus diterima masyarakat Papua selama turun temurun. Di bawah ketidakadilan dan penindasan, serta konflik berkepanjangan inilah masyarakat Papua bangkit melawan Pemerintah Indonesia.
Maka lahirlah sebuah organisasi kecil dan regional yang bertujuan mendorong kebebasan bagi masyaraat Papua. Aktivitas organisasi ini yang utama mendesak militer Indonesia keluar dari Papua dan mendirikan negara Papua merdeka.
Organisasi itu kemudian dikenal dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan belakangan disebut sebagai Tentara Pembebasan Nasional (TPN) yang terdiri dari unit-unit militer yang senjatanya masih tradisional dan sangat terbatas.
Perlawanan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia telah berlangsung sejak 1962 dan masih berlangsung hingga kini. Total masyarakat Papua yang tewas dibunuh selama 40 tahun oleh TNI/Polri telah mencapai 100.000-800.000 orang lebih.
Sumber Tulisan:
Heru Cahyono, Dimensi Ekonomi dan Politik Konflik Papua, Masyarakat Indonesia, LIPI Press, 2004.
JR Mansoben, Arti Sebuah Nama: Penggunaan Nama Papua untuk Menggantikan Irian Jaya, Masyarakat Indonesia, LIPI Press, 2004.
Hasan Kurniawan, Praktik Kolonialisme di Balik Nama Papua, dikutip dalam Laman Sindonews.com.
Suku Amungme Mimika Papua, dikutip dalam laman http://kebudayaanindonesia.net
PT Freeport Indonesia, dikutip dalam laman http://ptfi.co.id.
(san)