Misteri Raden Rangga Putra Panembahan Senopati yang Sakti Mandraguna
A
A
A
Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Rangga adalah anak ke-2, putera ke-1 Panembahan Senopati. Pemuda ini sangat sakti, kuat, tidak pernah takut kepada siapapun. Namun watak Raden Rangga cepat sekali marah, jika sudah marah gampang sekali memukul siapa pun.
Suatu ketika seorang pendekar pilih tanding dari Banten datang untuk menantang adu kesaktian Panembahan Senopati, sang ayah yang juga pendiri dinasti Mataram ini.
Raden Rangga tahu kedatangan pendekar Banten ini dan meminta pada Panembahan Senopati agar dirinya saja yang menghadapi.
Permintaan dari sang anak pun dituruti sekaligus untuk mengetahui sampai seberapa hebat ilmu kesaktian Raden Rangga.
Adu kekuatan pun terjadi antara Raden Rangga dengan Pendekar Banten. Mulai menggunakan tenaga biasa hingga tenaga dalam tingkat tinggi. Akhirnya, dengan pukulan tenaga dalam, sang pendekar Banten tewas berkalang tanah.
Pernah suatu ketika datang serombongan pengamen mereka memiliki keahlian macam-macam, seperti sulap, sihir, memukul orang dengan rotan, main pedang, orang tidur dijatuhi batu sebesar gajah, dan lain-lain.
Ketika orang-orang yang menyaksikan dengan kagumnya, tiba-tiba Raden Rangga menyeruak maju.
Dia berpakaian seperti layaknya orang kebanyakan di Mataram. Raden Rangga maju ke depan, menuju pemimpin rombongan pengamen.
"Kang, saya ikut main. Saya akan merentangkan tangan. Lima orang di sebelah kanan dan lima orang di sebelah kiri menarik tangan saya. Kalau kalian berhasil menarikku, saya beri upah uang,! " tantang Raden Rangga dengan gagah.
Pemimpin rombongan pengamen penasaran akan kesombongan anak muda itu. Kemudian menyuruh sepuluh orang pengikutnya untuk menarik kedua tangan Raden Rangga, masing-masing lima orang.
Ternyata Raden Rangga benar-benar memiliki tenaga yang ampuh. Meskipun ditarik lima orang dari kanan kiri, tubuhnya tak bergeming.
Dua orang yang ikut menarik, tiba-tiba merasa dipermainkan. Keduanya ingin memukul Raden Rangga, lalu oleh Raden Rangga kedua orang itu dibanting ke tanah. Pemimpin rombongan gusar.
Para penonton kaget setengah mati. Raden Rangga ikut terbahak-bahak dengan sombongnya. Orang-orang lalu tahu bahwa itu Raden Rangga, putra Panembahan Senapati. Mengetahui siapa anak muda yang perkasa itu, semua orang diam. Satu persatu menyingkir.
Kelakuan putranya itu sampai ke telinga sang raja pertama Mataram. Ayahnya, Panembahan Senopati, kurang berkenan atas kelakuan Raden Rangga tersebut.
Lalu Raden Sutawijaya ini pun menasihati putra pertamanya itu agar jangan sering pamer kesaktian. Karena di atas langit masih ada langit. Panembahan Senopati lalu menguji Raden Rangga untuk mematahkan jari telunjuknya.
Raden Rangga pun menerima tantangan ayahnya itu. Akhirnya dengan sekuat tenaga dia coba mematahkan telunjuk ayahnya.
Namun walau sudah berusaha sekuat tenaga, namun tidak bisa juga. Bahkan sekali dihentak oleh sang ayah, Raden Rangga terlempar cukup jauh.
Raden Rangga sangat malu dilihat orang banyak. Dia lalu segera pergi, malu dilihat orang banyak sebagai pecundang.
Lalu Panembahan Senopati memerintahkan seorang prajurit pilih tanding untuk menyusul Raden Rangga. Setelah ketemu dan diminta kembali, Raden Rangga marah dan prajurit pilihan itu pun ditendang dan tewas seketika. Kemudian Raden Rangga pergi ke Pati mengunjungi pamannya, Adipati Wasis Wijayakusuma.
Ketika sampai di tempat itu, Adipati sedang duduk di Balai Kademangan, ketika melihat Raden Rangga, dia pun melambaikan tangan memanggilnya.
Raden Rangga langsung berjalan ke arah pamannya. Batu besar yang ada di depannya ditabrak begitu saja. Batu pun hancur berkeping-keping bikin geger orang-orang yang melihat kejadian itu.
Beberapa lama Raden Rangga berada di tempat pamannya, terlihat berkelakuan baik. Namun tidak lama kemudian kelakuan buruknya kumat lagi, dia mulai pamer kesaktian.
Suatu hari dia bawa pedang ke alun-alun dan menusukkan pedang itu ke tubuhnya, pedang itu hancur berkeping-keping.
Kemudian dia cekal baju seorang prajurit dan bertanya kepadanya, "Cepat tunjukkan kepadaku, siapa yang paling sakti di Pati ini. Jika tidak mau sebutkan, kubunuh kau...” Dengan ketakutan prajurit itu menunjuk seorang pertapa di hutan di Kadipaten Pati.
Bukan Raden Rangga kalau tidak coba melabrak pertapa sakti itu. Diseranglah sang pertapa itu, namun sang pertapa hanya terdiam dan tidak menangkis. Akhirnya pertapa itu tewas terkena pukulan Raden Rangga yang terkenal dahsyat.
"Terima kasih raden, engkau telah menghantarkan aku menghadap ke Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun engkau perlu diberi pelajaran, yaitu kelak engkau akan menemui kematian dibelit ular besar, ” ujar pertapa itu sebelum meregang nyawa.
Raden Rangga pun lalu kembali ke Mataram. Sesampai di Mataram, Panembahan Senopati memerintahkan dia untuk segera berguru ke Ki Juru Martani
Sambil ngeloyor pergi Raden Rangga bertanya dalam hati, “Aku ini sudah sakti mandraguna, kenapa masih disuruh berguru kepada Eyang Juru Martani ? Apa yang masih harus aku pelajari ? ” tanya Rangga dalam hatinya.
Sambil menunggu Ki Juru Martani yang sedang salat Dzuhur, Raden Rangga iseng menusuk-nusukkan jari ke batu ubin di tempat dia menunggu.
Ubin batu pualam itu pun berlubang-lubang seperti layaknya terbuat tanah liat saja. Ki Juru Martani kaget melihat ulah Raden Rangga itu.
Dia pun berkata, "Hai Rangga, ubin yang kamu tusuk-tusuk itu apa tidak keras,". Dan seketika ubin batu itu menjadi keras, sehingga tusukan jari-jari Raden Rangga tidak bisa membuat lubang lagi. Raden Rangga pun berkata dalam hati, “Benar apa yang dikata ayahku. Kesaktian eyang ini melebihi diriku,”. Dia pun mau menimba ilmu di situ dan semakin sakti.
Ketika pulang ke Mataram, di tengah perjalanan, di Desa Patalan, dia ketemu seekor ular sangat ganas yang suka menelan orang.
Terjadilah pertarungan antara Raden Rangga dengan ular itu. Ular itu langsung membelit tubuh Raden Rangga, lalu mematuk dan menggigitnya.
Setelah bertarung mati-matian, akhirnya ular besar bisa dikalahkan dan mati. Walau terluka gigitan ular, Raden Rangga bisa pulang ke Mataram.
Sampainya di Mataram dia pun jatuh sakit, sepertinya akibat bisa dan gigitan ular itu. Akhirnya Raden Rangga meninggal, persis seperti sumpah pertapa sakti yang dibunuhnya ketika di Pati.
Ada versi lain yang menyatakan Raden Rangga adalah putera Panembahan Senopati dengan Retno Dumilah puteri Adipati Madiun.
Ada lagi yang menyatakan Raden Rangga adalah putera Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Konon atas aduan Panembahan soal kenakalan putera mereka, maka Kanjeng Ratu Kidul berubah rupa jadi ular besar dan menjemput puteranya untuk dibawa ke Kerajaan Laut Selatan. Wallahu alam bissawab
Sumber :
-sejarahdanperistiwa.blogspot.
-wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
Suatu ketika seorang pendekar pilih tanding dari Banten datang untuk menantang adu kesaktian Panembahan Senopati, sang ayah yang juga pendiri dinasti Mataram ini.
Raden Rangga tahu kedatangan pendekar Banten ini dan meminta pada Panembahan Senopati agar dirinya saja yang menghadapi.
Permintaan dari sang anak pun dituruti sekaligus untuk mengetahui sampai seberapa hebat ilmu kesaktian Raden Rangga.
Adu kekuatan pun terjadi antara Raden Rangga dengan Pendekar Banten. Mulai menggunakan tenaga biasa hingga tenaga dalam tingkat tinggi. Akhirnya, dengan pukulan tenaga dalam, sang pendekar Banten tewas berkalang tanah.
Pernah suatu ketika datang serombongan pengamen mereka memiliki keahlian macam-macam, seperti sulap, sihir, memukul orang dengan rotan, main pedang, orang tidur dijatuhi batu sebesar gajah, dan lain-lain.
Ketika orang-orang yang menyaksikan dengan kagumnya, tiba-tiba Raden Rangga menyeruak maju.
Dia berpakaian seperti layaknya orang kebanyakan di Mataram. Raden Rangga maju ke depan, menuju pemimpin rombongan pengamen.
"Kang, saya ikut main. Saya akan merentangkan tangan. Lima orang di sebelah kanan dan lima orang di sebelah kiri menarik tangan saya. Kalau kalian berhasil menarikku, saya beri upah uang,! " tantang Raden Rangga dengan gagah.
Pemimpin rombongan pengamen penasaran akan kesombongan anak muda itu. Kemudian menyuruh sepuluh orang pengikutnya untuk menarik kedua tangan Raden Rangga, masing-masing lima orang.
Ternyata Raden Rangga benar-benar memiliki tenaga yang ampuh. Meskipun ditarik lima orang dari kanan kiri, tubuhnya tak bergeming.
Dua orang yang ikut menarik, tiba-tiba merasa dipermainkan. Keduanya ingin memukul Raden Rangga, lalu oleh Raden Rangga kedua orang itu dibanting ke tanah. Pemimpin rombongan gusar.
Para penonton kaget setengah mati. Raden Rangga ikut terbahak-bahak dengan sombongnya. Orang-orang lalu tahu bahwa itu Raden Rangga, putra Panembahan Senapati. Mengetahui siapa anak muda yang perkasa itu, semua orang diam. Satu persatu menyingkir.
Kelakuan putranya itu sampai ke telinga sang raja pertama Mataram. Ayahnya, Panembahan Senopati, kurang berkenan atas kelakuan Raden Rangga tersebut.
Lalu Raden Sutawijaya ini pun menasihati putra pertamanya itu agar jangan sering pamer kesaktian. Karena di atas langit masih ada langit. Panembahan Senopati lalu menguji Raden Rangga untuk mematahkan jari telunjuknya.
Raden Rangga pun menerima tantangan ayahnya itu. Akhirnya dengan sekuat tenaga dia coba mematahkan telunjuk ayahnya.
Namun walau sudah berusaha sekuat tenaga, namun tidak bisa juga. Bahkan sekali dihentak oleh sang ayah, Raden Rangga terlempar cukup jauh.
Raden Rangga sangat malu dilihat orang banyak. Dia lalu segera pergi, malu dilihat orang banyak sebagai pecundang.
Lalu Panembahan Senopati memerintahkan seorang prajurit pilih tanding untuk menyusul Raden Rangga. Setelah ketemu dan diminta kembali, Raden Rangga marah dan prajurit pilihan itu pun ditendang dan tewas seketika. Kemudian Raden Rangga pergi ke Pati mengunjungi pamannya, Adipati Wasis Wijayakusuma.
Ketika sampai di tempat itu, Adipati sedang duduk di Balai Kademangan, ketika melihat Raden Rangga, dia pun melambaikan tangan memanggilnya.
Raden Rangga langsung berjalan ke arah pamannya. Batu besar yang ada di depannya ditabrak begitu saja. Batu pun hancur berkeping-keping bikin geger orang-orang yang melihat kejadian itu.
Beberapa lama Raden Rangga berada di tempat pamannya, terlihat berkelakuan baik. Namun tidak lama kemudian kelakuan buruknya kumat lagi, dia mulai pamer kesaktian.
Suatu hari dia bawa pedang ke alun-alun dan menusukkan pedang itu ke tubuhnya, pedang itu hancur berkeping-keping.
Kemudian dia cekal baju seorang prajurit dan bertanya kepadanya, "Cepat tunjukkan kepadaku, siapa yang paling sakti di Pati ini. Jika tidak mau sebutkan, kubunuh kau...” Dengan ketakutan prajurit itu menunjuk seorang pertapa di hutan di Kadipaten Pati.
Bukan Raden Rangga kalau tidak coba melabrak pertapa sakti itu. Diseranglah sang pertapa itu, namun sang pertapa hanya terdiam dan tidak menangkis. Akhirnya pertapa itu tewas terkena pukulan Raden Rangga yang terkenal dahsyat.
"Terima kasih raden, engkau telah menghantarkan aku menghadap ke Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun engkau perlu diberi pelajaran, yaitu kelak engkau akan menemui kematian dibelit ular besar, ” ujar pertapa itu sebelum meregang nyawa.
Raden Rangga pun lalu kembali ke Mataram. Sesampai di Mataram, Panembahan Senopati memerintahkan dia untuk segera berguru ke Ki Juru Martani
Sambil ngeloyor pergi Raden Rangga bertanya dalam hati, “Aku ini sudah sakti mandraguna, kenapa masih disuruh berguru kepada Eyang Juru Martani ? Apa yang masih harus aku pelajari ? ” tanya Rangga dalam hatinya.
Sambil menunggu Ki Juru Martani yang sedang salat Dzuhur, Raden Rangga iseng menusuk-nusukkan jari ke batu ubin di tempat dia menunggu.
Ubin batu pualam itu pun berlubang-lubang seperti layaknya terbuat tanah liat saja. Ki Juru Martani kaget melihat ulah Raden Rangga itu.
Dia pun berkata, "Hai Rangga, ubin yang kamu tusuk-tusuk itu apa tidak keras,". Dan seketika ubin batu itu menjadi keras, sehingga tusukan jari-jari Raden Rangga tidak bisa membuat lubang lagi. Raden Rangga pun berkata dalam hati, “Benar apa yang dikata ayahku. Kesaktian eyang ini melebihi diriku,”. Dia pun mau menimba ilmu di situ dan semakin sakti.
Ketika pulang ke Mataram, di tengah perjalanan, di Desa Patalan, dia ketemu seekor ular sangat ganas yang suka menelan orang.
Terjadilah pertarungan antara Raden Rangga dengan ular itu. Ular itu langsung membelit tubuh Raden Rangga, lalu mematuk dan menggigitnya.
Setelah bertarung mati-matian, akhirnya ular besar bisa dikalahkan dan mati. Walau terluka gigitan ular, Raden Rangga bisa pulang ke Mataram.
Sampainya di Mataram dia pun jatuh sakit, sepertinya akibat bisa dan gigitan ular itu. Akhirnya Raden Rangga meninggal, persis seperti sumpah pertapa sakti yang dibunuhnya ketika di Pati.
Ada versi lain yang menyatakan Raden Rangga adalah putera Panembahan Senopati dengan Retno Dumilah puteri Adipati Madiun.
Ada lagi yang menyatakan Raden Rangga adalah putera Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Konon atas aduan Panembahan soal kenakalan putera mereka, maka Kanjeng Ratu Kidul berubah rupa jadi ular besar dan menjemput puteranya untuk dibawa ke Kerajaan Laut Selatan. Wallahu alam bissawab
Sumber :
-sejarahdanperistiwa.blogspot.
-wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(sms)