Habis Bakar Terbitlah Sawit, Apa Benar?
A
A
A
PALANGKARAYA - Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Dr Hasril Siregar mengungkapkan, secara teknis budidaya kelapa sawit, lahan yang baru saja terbakar tidak baik untuk ditanami.
Sehingga dia menyangsikan ada pihak yang sudah melakukan penanaman benih sawit di lahan yang baru saja terbakar, seperti yang ramai diberitakan di kawasan konservasi orangutan (arboretum) Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah.
Menurutnya, penanaman bibit kelapa sawit pada lahan yang tidak terbakar saja harus memenuhi syarat cukup air.
“Minimal telah turun hujan 50 mm/10 hari atau pada bulan basah dengan curah hujan 100-200 mm/bulan,” ujar Hasril Siregar ketika dihubungi, Sabtu (7/11/2015).
Syarat itupun, menurut Hasril, belum cukup. Sebab penanaman bibit sawit di lahan yang cukup hujan juga harus mengikuti teknis pemancangan, pelubangan terbuka sekitar 1 minggu dan diberi pupuk dasar jenis phosfat.
Kecurigaan Hasril Siregar pun terbukti sebagai penjelasan atas pemberitaan mengenai penanaman sawit di lahan yang baru terbakar beberapa waktu yang lalu.
Ternyata lahan yang ditanami sawit oleh masyarakat di Jalan Tjilik Riwut KM 26 tersebut telah dibakar pada April lalu, atau sudah sekitar lima bulan yang lalu. Sementara lahan yang baru terbakar tersebut berada di Jalan Tjilik Riwut KM 27.
“Kami sudah membakar lahan di KM 26 ini lima bulan yang lalu. Sedangkan lahan yang dibakar baru-baru ini adalah yang di KM 27. Jadi dalam hal ini lahan yang dibakar dengan lahan yang ditanami adalah lahan yang berbeda,” ujar Rudi, Kepala Rumah Tangga Kelurahan Tumbang Tahai, Kecamatan Bukit Batu, Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng) ketika ditemui di rumahnya.
Rudi menambahkan, tidak mungkin petani menanam bibit sawit di lahan yang baru saja dibakar. Apabila itu dilakukan, kata pria asli suku Dayak ini, maka bibit sawit akan mati. Artinya lahan yang ditanam bibit kelapa sawit bukanlah lahan yang dibakar dua minggu yang lalu.
Rudi yang sudah turun temurun tinggal di pinggiran Sungai Tahai ini mengakui kalau lahan di KM 26 dan 27 tersebut sengaja dibakar oleh masyarakat.
Menurut Rudi, rencana luas areal yang akan ditanami untuk kelapa sawit mencapai 38 hektare (ha). Dari angka tersebut, 24 ha milik kelompok masyarakat Kelurahan Tumbang Tahai.
Pria asli suku Dayak ini menegaskan, bahwa lahan yang dibakarnya bukanlah milik perusahaan.
Lahan yang dibakar tersebut adalah bagian dari kearifan lokal masyarakat Dayak yang sudah dilakukan turun temurun.
Bahkan hal tersebut juga tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah.
Dalam Pergub tersebut diterangkan bahwa kewenangan izin pembakaran tersebut berdasarkan luas areal yang akan dibakarnya.
Di pergub tersebut dijabarkan bahwa untuk luas lahan sampai dengan 1 hektare (ha) harus izin terlebih dahulu ke Ketua RT. Kemudian untuk luas lahan di atas 1-2 ha, izin ke Lurah atau Kepala Desa, dan untuk di atas 2-5 ha wajib izin ke Camat.
Dalam pergub tersebut juga dijelaskan bahwa pemberian izin pembakaran secara kumulatif pada wilayah dan hari yang sama.
Adapun untuk tingkat kecamatan maksimal 100 ha. Sedangkan untuk tingkat kelurahan atau desa maksimal 25 ha. Izin tersebut diberikan untuk masyarakat, bukan perusahaan.
Artinya dalam hal ini masyarakat diperkenankan untuk membuka lahan dengan cara membakar, tapi sesuai dengan izin yang akan dilakukannya. “Kami melakukan ini sudah sesuai perosedur dan sudah memperhitungkannya,” tutur Rudi.
Helmuth Gasan, tokoh masyarakat Kecamatan Bukit Batu, Palangkaraya menambahkan, bahwa informasi lahan yang terbakar di KM 26 atau dua minggu lalu itu tidak benar. Menurutnya, yang terbakar dua minggu yang lalu tersebut adalah lahan yang di KM 27.
Dia menegaskan lahan di KM 26 saat ini sudah banyak tumbuh kelakai, tumbuhan paku khas Kalimantan Tengah. “Jadi tidak mungkin dua minggu terbakar, tanaman tersebut (kelakai) tumbuh,” ujar Helmuth.
Menurutnya, pembakaran lahan tersebut dilakukan karena orang Dayak ingin menanam kelapa sawit, tapi tidak mempunyai modal yang cukup untuk melakukan pembukaan lahan tanpa melakukan pembakaran. Akibatnya dilakukan pembakaran secara bertahap.
Sebelumnya, kata Helmuth, masyarakat membudidayakan tanaman padi gogo dan karet. “Belakangan tanaman-tanaman tersebut tidak menguntungkan lagi karena harganya jatuh. Maka itu, petani berinisiatif menanam sawit,” jelas Helmuth.
Sehingga dia menyangsikan ada pihak yang sudah melakukan penanaman benih sawit di lahan yang baru saja terbakar, seperti yang ramai diberitakan di kawasan konservasi orangutan (arboretum) Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah.
Menurutnya, penanaman bibit kelapa sawit pada lahan yang tidak terbakar saja harus memenuhi syarat cukup air.
“Minimal telah turun hujan 50 mm/10 hari atau pada bulan basah dengan curah hujan 100-200 mm/bulan,” ujar Hasril Siregar ketika dihubungi, Sabtu (7/11/2015).
Syarat itupun, menurut Hasril, belum cukup. Sebab penanaman bibit sawit di lahan yang cukup hujan juga harus mengikuti teknis pemancangan, pelubangan terbuka sekitar 1 minggu dan diberi pupuk dasar jenis phosfat.
Kecurigaan Hasril Siregar pun terbukti sebagai penjelasan atas pemberitaan mengenai penanaman sawit di lahan yang baru terbakar beberapa waktu yang lalu.
Ternyata lahan yang ditanami sawit oleh masyarakat di Jalan Tjilik Riwut KM 26 tersebut telah dibakar pada April lalu, atau sudah sekitar lima bulan yang lalu. Sementara lahan yang baru terbakar tersebut berada di Jalan Tjilik Riwut KM 27.
“Kami sudah membakar lahan di KM 26 ini lima bulan yang lalu. Sedangkan lahan yang dibakar baru-baru ini adalah yang di KM 27. Jadi dalam hal ini lahan yang dibakar dengan lahan yang ditanami adalah lahan yang berbeda,” ujar Rudi, Kepala Rumah Tangga Kelurahan Tumbang Tahai, Kecamatan Bukit Batu, Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng) ketika ditemui di rumahnya.
Rudi menambahkan, tidak mungkin petani menanam bibit sawit di lahan yang baru saja dibakar. Apabila itu dilakukan, kata pria asli suku Dayak ini, maka bibit sawit akan mati. Artinya lahan yang ditanam bibit kelapa sawit bukanlah lahan yang dibakar dua minggu yang lalu.
Rudi yang sudah turun temurun tinggal di pinggiran Sungai Tahai ini mengakui kalau lahan di KM 26 dan 27 tersebut sengaja dibakar oleh masyarakat.
Menurut Rudi, rencana luas areal yang akan ditanami untuk kelapa sawit mencapai 38 hektare (ha). Dari angka tersebut, 24 ha milik kelompok masyarakat Kelurahan Tumbang Tahai.
Pria asli suku Dayak ini menegaskan, bahwa lahan yang dibakarnya bukanlah milik perusahaan.
Lahan yang dibakar tersebut adalah bagian dari kearifan lokal masyarakat Dayak yang sudah dilakukan turun temurun.
Bahkan hal tersebut juga tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah.
Dalam Pergub tersebut diterangkan bahwa kewenangan izin pembakaran tersebut berdasarkan luas areal yang akan dibakarnya.
Di pergub tersebut dijabarkan bahwa untuk luas lahan sampai dengan 1 hektare (ha) harus izin terlebih dahulu ke Ketua RT. Kemudian untuk luas lahan di atas 1-2 ha, izin ke Lurah atau Kepala Desa, dan untuk di atas 2-5 ha wajib izin ke Camat.
Dalam pergub tersebut juga dijelaskan bahwa pemberian izin pembakaran secara kumulatif pada wilayah dan hari yang sama.
Adapun untuk tingkat kecamatan maksimal 100 ha. Sedangkan untuk tingkat kelurahan atau desa maksimal 25 ha. Izin tersebut diberikan untuk masyarakat, bukan perusahaan.
Artinya dalam hal ini masyarakat diperkenankan untuk membuka lahan dengan cara membakar, tapi sesuai dengan izin yang akan dilakukannya. “Kami melakukan ini sudah sesuai perosedur dan sudah memperhitungkannya,” tutur Rudi.
Helmuth Gasan, tokoh masyarakat Kecamatan Bukit Batu, Palangkaraya menambahkan, bahwa informasi lahan yang terbakar di KM 26 atau dua minggu lalu itu tidak benar. Menurutnya, yang terbakar dua minggu yang lalu tersebut adalah lahan yang di KM 27.
Dia menegaskan lahan di KM 26 saat ini sudah banyak tumbuh kelakai, tumbuhan paku khas Kalimantan Tengah. “Jadi tidak mungkin dua minggu terbakar, tanaman tersebut (kelakai) tumbuh,” ujar Helmuth.
Menurutnya, pembakaran lahan tersebut dilakukan karena orang Dayak ingin menanam kelapa sawit, tapi tidak mempunyai modal yang cukup untuk melakukan pembukaan lahan tanpa melakukan pembakaran. Akibatnya dilakukan pembakaran secara bertahap.
Sebelumnya, kata Helmuth, masyarakat membudidayakan tanaman padi gogo dan karet. “Belakangan tanaman-tanaman tersebut tidak menguntungkan lagi karena harganya jatuh. Maka itu, petani berinisiatif menanam sawit,” jelas Helmuth.
(sms)