Mappaddekko, Simbol Ungkapan Syukur Warga Bone

Minggu, 25 Oktober 2015 - 06:00 WIB
Mappaddekko, Simbol...
Mappaddekko, Simbol Ungkapan Syukur Warga Bone
A A A
WATANSOPPENG - Salah satu pesta rakyat yang hingga kini dilestarikan warga Bone, Sulawesi Selatan, adalah Mappaddekko atau bermain musik lesung. Sabtu (24/10/2015) malam, Mappaddekko digelar di Desa Wollangi, Kecamatan Barebbo.

Beberapa desa di Bone yang hingga kini masih menggelar tradisi Mappaddekko tersebar di sejumlah kecamatan, di antaranya Kecamatan Cina, Kecamatan Barebbo, Kecamatan Palakka, dan beberapa kecamatan di utara dan selatan Kota Watampone.

Mappaddekko adalah simbol syukur warga atas panen yang melimpah. Umumnya, Mappaddekko digelar sekali setahun di setiap desa, pada bulan Oktober hingga Desember, setelah panen raya di akhir musim kemarau menjelang masuknya musim penghujan.

Secara harfiah, Mappaddekko berarti membuat bunyi atau irama dengan menggunakan lesung atau palungeng yang ditumbuk 'alu' dari kayu sepanjang dua meter.

Biasanya dimainkan oleh 'penumbuk lesung' sejumlah lima hingga tujuh orang secara bersama-sama. Selain dari warga setempat, kelompok penumbuk lesung juga berasal dari desa tetangga, sehingga tradisi Mappaddekko terbilang meriah dan ramai di tiap gelarannya.

Sementara, media lesung atau palungeng yang digunakan adalah satu wadah yang terbuat dari pohon gelondongan sepanjang lima meter yang tengahnya dilubangi untuk menumbuk atau menghancurkan sesuatu, misalnya padi, beras, gula, dan lain-lain.

Tokoh masyarakat Desa Wollangi, Kecamatan Barebbo, Haji Lemang mengatakan, budaya Mappaddekko itu sendiri menyimpan filosofi yang sangat tinggi dan merupakan sarana leluhur untuk memperkuat persatuan dan kesatuan.

Dahulu, kata dia, jika ada orang menabuh lesung, semua warga tetangga langsung berbondong-bondong menuju sumber suara tersebut dan mereka saling bergantian untuk menabuh lesung dan yang lainnya mengerjakan hajatan warga desa.

"Mappaddekko adalah adat dari dahulu, kami meneruskan budaya leluhur. Dengan kegiatan ini warga desa berkumpul, 'tudang sipulung' dan bercengkerama," ujarnya.

Dahulu, jika masyarakat menumbuk padi mereka saling membantu dan sesekali mengatur irama ketukan alu ke lesung sehingga tercipta irama musik yang indah dan enak didengar.

"Dari sinilah budaya Mappaddekko tercipta, kalau dahulu gunanya untuk menumbuk padi di lesung, namun saat ini biasanya acara Mappaddekko dilakukan tanpa menumbuk padi, hanya untuk menciptakan irama musiknya saja," kata Haji Lemang.

Dari pantauan KORAN SINDO, secara berkelompok warga menumbuk lesung dengan alu sehingga tercipta irama tertentu. Sementara ratusan penduduk desa berkumpul di sekeliling arena untuk menyaksikannya sambil menikmati penganan yang dibawa warga sebelumnya dari rumah masing-masing.

Secara bergantian kelompok penumbuk lesung menampilkan aksinya, sesekali warga bersorak menyaksikan penumbuk lesung atraksi uniknya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5987 seconds (0.1#10.140)