Sejarah Masjid Menara di Semarang Utara
A
A
A
DI Jalan Layur, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara, berdiri sebuah masjid megah yang disebut Masjid Menara. Berikut cerita tentang salah satu masjid tertua itu.
Sama seperti permukiman pesisir pantai lainnya, panas dan sesekali rob menjadi semacam 'tamu rutin' di kawasan Jalan Layur, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara, Semarang, Jawa Tengah.
Tak hanya itu, kondisi tanah yang labil menambah dinamika permukiman menjadi semakin unik. Maka, tak heran jika hampir sebagian besar bangunan di sana tampak seperti 'termakan tanah', ambles sedikit demi sedikit hampir tiap tahunnya.
Di kawasan yang menjadi jejak perdagangan Semarang masa kolonial itu berdiri megah sebuah masjid berarsitektur unik. Dinding masjid tersebut sangat unik. Berbagai sudutnya dihiasi ornamen bermotif geometrik, berwarna-warni. Bagian kanan dan kiri masjid terdapat bangunan-bangunan tua dengan ukuran besar dan memiliki tembok tinggi.
Masyarakat sekitar akrab menyebutnya Masjid Menara. Ada juga yang menyebutkan Masjid Layur. 100 meter sebelumnya, di lokasi yang sama, berdiri Kelenteng Kampung Melayu.
Masjid Menara terlihat lebih tinggi dari bangunan sekitarnya. Sebelah timur masjid mengalir air Kali Semarang. Kali yang pada masanya sempat menjadi jalur transportasi perdagangan penting di Semarang.
Tak salah jika masjid itu disebut Masjid Menara. Sebab, masjid itu memang memiliki sebuah menara yang tinggi menjulang berwarna putih. Di atasnya terpasang corong pengeras suara, penyeru saat azan dikumandangkan.
"Kawasan ini memang sering dikenal dengan Kampung Melayu. Kalau untuk bangunan masjid ini saya dengar dari cerita demi cerita dibangun sekitar tahun 1800-an, namanya sendiri Masjid Menara, mungkin karena memang ada menara di kompleks masjid ini," tutur muazin setempat, Ali Mahsun.
Ia mengakui, bangunan masjid sekarang sudah berubah bentuk dari aslinya. Pada awalnya, masjid ini mempunyai dua lantai. Lantai pertama difungsikan sebagai gudang dan lantai berikutnya untuk tempat menjalankan ibadah salat jamaah laki-laki. Sedangkan untuk jamaah perempuan, mempunyai tempat tersendiri yang masih satu kompleks dengan bangunan masjid.
"Kawasan di sini sering rob, banyak bangunan ambles, termasuk masjid ini, lantai satunya kini sudah ambles, hanya menyisakan lantai duanya saja sekarang, hingga sekitar 1,5 tahun lalu, kompleks masjid ditinggikan untuk menghindari rob dan amblesnya bangunan," paparnya.
Penulis buku Kota Semarang Selintas Pandang: 100 Foto Kota Semarang Lama dan Baru (1993), Kota Semarang Dalam Kenangan (2002), Semarang City: A Glance In To The Past (2007), Jongkie Tio, berujar bahwa sekitar abad 18, kawasan tersebut adalah wilayah pelabuhan.
Kali Semarang saat itu digunakan sebagai jalur transportasi penting komoditas dagang.
"Saat itu Belanda memindahkan pusat perdagangan laut dari Jepara ke Semarang karena dipandang lebih potensial. Oleh sebab itulah kawasan ini ramai disinggahi orang-orang luar, dari Melayu, Tionghoa, hingga Arab dalam hal ini pedagang-pedagang Yaman," tuturnya.
Kawasan itu juga familiar disebut Kampung Ndarat. Sebab, pelabuhan tersebut sering digunakan untuk mendaratkan kapal-kapal orang melayu. Tak heran jika kawasan ini pun akhirnya dikenal dengan sebutan Kampung Melayu.
Tentang adanya Kelenteng Kampung Melayu yang terletak tak jauh dari kompleks masjid, Jongkie Tio berpendapat bahwa itu adalah salah satu kebiasaan etnis Tionghoa ketika mencapai daratan selepas pelayaran.
"Etnis Tionghoa punya kebiasaan, tiap singgah di daratan tujuan setelah pelayaran panjang, mereka akan membangun kuil atau kelenteng tak jauh dari pelabuhan tempat mereka masuk ke kawasan baru. Kuil itu mereka gunakan sebagai sarana sembahyang, simbolisasi dari rasa syukur karena telah mencapai daratan dengan selamat," bebernya.
Sejarawan Universitas Diponegoro Titiek Suliyati mengatakan, hingga abad ke-18, Kampung Melayu merupakan kampung multietnis. Walaupun demikian, masing-masing warganya dapat menjalankan kepentingan sosial, keagamaan, dan budayanya secara harmonis.
"Buktinya di Kampung Melayu terdapat dua bangunan kuno yakni Masjid Menara Layur dan Kelenteng Kampung Melayu. Jaraknya juga tak terlalu jauh, ini simbolisasi pada masa itu masing-masing etnis bisa hidup berdampingan saling menghormati," pungkasnya.
Sama seperti permukiman pesisir pantai lainnya, panas dan sesekali rob menjadi semacam 'tamu rutin' di kawasan Jalan Layur, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara, Semarang, Jawa Tengah.
Tak hanya itu, kondisi tanah yang labil menambah dinamika permukiman menjadi semakin unik. Maka, tak heran jika hampir sebagian besar bangunan di sana tampak seperti 'termakan tanah', ambles sedikit demi sedikit hampir tiap tahunnya.
Di kawasan yang menjadi jejak perdagangan Semarang masa kolonial itu berdiri megah sebuah masjid berarsitektur unik. Dinding masjid tersebut sangat unik. Berbagai sudutnya dihiasi ornamen bermotif geometrik, berwarna-warni. Bagian kanan dan kiri masjid terdapat bangunan-bangunan tua dengan ukuran besar dan memiliki tembok tinggi.
Masyarakat sekitar akrab menyebutnya Masjid Menara. Ada juga yang menyebutkan Masjid Layur. 100 meter sebelumnya, di lokasi yang sama, berdiri Kelenteng Kampung Melayu.
Masjid Menara terlihat lebih tinggi dari bangunan sekitarnya. Sebelah timur masjid mengalir air Kali Semarang. Kali yang pada masanya sempat menjadi jalur transportasi perdagangan penting di Semarang.
Tak salah jika masjid itu disebut Masjid Menara. Sebab, masjid itu memang memiliki sebuah menara yang tinggi menjulang berwarna putih. Di atasnya terpasang corong pengeras suara, penyeru saat azan dikumandangkan.
"Kawasan ini memang sering dikenal dengan Kampung Melayu. Kalau untuk bangunan masjid ini saya dengar dari cerita demi cerita dibangun sekitar tahun 1800-an, namanya sendiri Masjid Menara, mungkin karena memang ada menara di kompleks masjid ini," tutur muazin setempat, Ali Mahsun.
Ia mengakui, bangunan masjid sekarang sudah berubah bentuk dari aslinya. Pada awalnya, masjid ini mempunyai dua lantai. Lantai pertama difungsikan sebagai gudang dan lantai berikutnya untuk tempat menjalankan ibadah salat jamaah laki-laki. Sedangkan untuk jamaah perempuan, mempunyai tempat tersendiri yang masih satu kompleks dengan bangunan masjid.
"Kawasan di sini sering rob, banyak bangunan ambles, termasuk masjid ini, lantai satunya kini sudah ambles, hanya menyisakan lantai duanya saja sekarang, hingga sekitar 1,5 tahun lalu, kompleks masjid ditinggikan untuk menghindari rob dan amblesnya bangunan," paparnya.
Penulis buku Kota Semarang Selintas Pandang: 100 Foto Kota Semarang Lama dan Baru (1993), Kota Semarang Dalam Kenangan (2002), Semarang City: A Glance In To The Past (2007), Jongkie Tio, berujar bahwa sekitar abad 18, kawasan tersebut adalah wilayah pelabuhan.
Kali Semarang saat itu digunakan sebagai jalur transportasi penting komoditas dagang.
"Saat itu Belanda memindahkan pusat perdagangan laut dari Jepara ke Semarang karena dipandang lebih potensial. Oleh sebab itulah kawasan ini ramai disinggahi orang-orang luar, dari Melayu, Tionghoa, hingga Arab dalam hal ini pedagang-pedagang Yaman," tuturnya.
Kawasan itu juga familiar disebut Kampung Ndarat. Sebab, pelabuhan tersebut sering digunakan untuk mendaratkan kapal-kapal orang melayu. Tak heran jika kawasan ini pun akhirnya dikenal dengan sebutan Kampung Melayu.
Tentang adanya Kelenteng Kampung Melayu yang terletak tak jauh dari kompleks masjid, Jongkie Tio berpendapat bahwa itu adalah salah satu kebiasaan etnis Tionghoa ketika mencapai daratan selepas pelayaran.
"Etnis Tionghoa punya kebiasaan, tiap singgah di daratan tujuan setelah pelayaran panjang, mereka akan membangun kuil atau kelenteng tak jauh dari pelabuhan tempat mereka masuk ke kawasan baru. Kuil itu mereka gunakan sebagai sarana sembahyang, simbolisasi dari rasa syukur karena telah mencapai daratan dengan selamat," bebernya.
Sejarawan Universitas Diponegoro Titiek Suliyati mengatakan, hingga abad ke-18, Kampung Melayu merupakan kampung multietnis. Walaupun demikian, masing-masing warganya dapat menjalankan kepentingan sosial, keagamaan, dan budayanya secara harmonis.
"Buktinya di Kampung Melayu terdapat dua bangunan kuno yakni Masjid Menara Layur dan Kelenteng Kampung Melayu. Jaraknya juga tak terlalu jauh, ini simbolisasi pada masa itu masing-masing etnis bisa hidup berdampingan saling menghormati," pungkasnya.
(zik)