Perjuangan Demang Lehman, Panglima Perang Banjar
A
A
A
DEMANG Lehman begitu ditakuti Belanda. Dia memegang Keris Singkir dan sebuah tombak bernama Kalibelah. Berikut kisahnya.
Perang Banjar (1859-1905) memunculkan sejumlah panglima perang, salah satunya Demang Lehman. Demang Lehman lahir di Barabai tahun 1832. Nama kecilnya, Idies. Gelar Kiai Demang merupakan gelar untuk pejabat yang memegang sebuah lalawangan (distrik) di Kesultanan Banjar.
Awalnya, Demang Lehman adalah seorang panakawan (ajudan) dari Pangeran Hidayatullah II sejak tahun 1857. Pangeran Hidayatullah II adalah seorang pemimpin Perang Banjar yang pada tahun 1999 dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Karena kesetiaan, kecakapan, dan besarnya jasa sebagai panakawan Pangeran Hidayatullah II, Demang Lehman diangkat menjadi Kiai sebagai lalawangan/kepala Distrik Riam Kanan (tanah lungguh Pg. Hidayatullah II).
Saat awal Perang Banjar, sekitar akhir April 1859, Demang Lehman memimpin kekuatan dan penggempuran di sekitar Martapura dan Tanah Laut, bersama-sama Kiai Langlang dan Penghulu Haji Buyasin.
Selanjutnya, Demang Lehman diperintahkan mempertahankan Kota Martapura, karena pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke Kota Karang Intan oleh Pangeran Hidayat.
Pada tanggal 30 Agustus 1859, Demang Lehman berangkat menuju Keraton Bumi Selamat dengan 3.000 pasukan. Serangan tiba-tiba itu mengejutkan Belanda. Bahkan, Letnan Kolonel Boon Ostade nyaris tewas. Namun, serbuan ini gagal karena berhadapan dengan pasukan Belanda yang sedang berkumpul melakukan inspeksi senjata.
Sementara itu, kapal perang Bone dikirim Belanda ke Tanah Laut untuk merebut kembali Benteng Tabanio yang telah dikuasai Demang Lehman dalam sebuah pertempuran.
Ketika pasukan Letnan Laut Cronental menyerbu Benteng Tabanio, sembilan orang serdadu Belanda tewas. Sisanya mengundurkan diri dengan menderita kekalahan.
Serangan kedua dilakukan oleh Belanda. Namun, benteng itu dipertahankan dengan gagah berani oleh Demang Lehman, Kiai Langlang, dan Penghulu Haji Buyasin.
Karena serangan serdadu Belanda didukung oleh angkatan laut yang menembakkan meriam dari kapal perang, sedangkan pasukan darat menyerbu Benteng Tabanio, Demang Lehman berserta pasukannya lolos dengan tidak meninggalkan korban.
Belanda menilai bahwa kemenangan terhadap Benteng Tabanio ini tidak ada artinya. Jumlah sarana yang dikerahkan, 15 buah meriam dan sejumlah senjata yang mengkilap, ternyata tidak berhasil melumpuhkan kekuatan Demang Lehman.
Selanjutnya, Demang Lehman memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan Gunung Lawak di Tanah Laut. Benteng itu terletak di atas bukit. Di setiap sudut benteng dipersenjatai dengan meriam.
Pada 27 September 1859, terjadi pertempuran memperebutkan benteng ini. Dalam pertempuran yang sengit, pasukan Demang Lehman mempertahankan Benteng Gunung Lawak dengan gagah berani. Lebih dari 100 pasukannya gugur dalam pertempuran ini.
Kekalahan ini tidak melemahkan semangat pasukan Demang Lehman. Mereka yakin bahwa berperang melawan Belanda adalah perang sabil. Mati dalam perang adalah mati syahid.
Pada September 1859 pula, Demang Lehman bersama pimpinan lainnya seperti Pangeran Muhammad Aminullah dan Tumenggung Jalil berangkat menuju Kandangan untuk merundingkan bentuk perlawanan terhadap Belanda. Pertemuan menghasilkan kesepakatan menolak tawaran Belanda untuk berunding.
Para pejuang tersebut bersumpah mengusir penjajah Belanda dari Bumi Banjar. Mereka akan berjuang tanpa kompromi, Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing, berjuang sampai titik darah penghabisan.
Di sisi lain, untuk melumpuhkan perjuangan rakyat, Belanda mendirikan sejumlah benteng. Di daerah Tapin, ada Benteng Munggu Tayor yang telah direbut dari pasukan Demang Lehman.
Di daerah Kandangan, didirikan pula Benteng Amawang. Demang Lehman dan pasukannya merencanakan untuk menyerang benteng Belanda di Amawang ini.
Demang Lehman berhasil menyelundupkan dua orang kepercayaannya ke dalam benteng sebagai pekerja Belanda. Dengan informasi dari kedua pekerja ini, Demang Lehman bertekad menyerbu benteng tersebut. Namun, pihak Belanda memperoleh informasi bahwa rakyat telah berkumpul di Sungai Paring hendak menyerbu Benteng Amawang.
Pasukan Belanda di bawah pimpinan Munters membawa 60 orang serdadu dan sebuah meriam menuju Sungai Paring. Saat pasukan tersebut keluar dan diperkirakan sudah mencapai Sungai Paring, Demang Lehman menyerbu Benteng Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Dia membawa 300 pasukan.
Ketika pasukan Demang Lehman menyerbu, kedua orang kepercayaan yang menjadi buruh dalam benteng tersebut mengamuk dan menjadikan serdadu Belanda menjadi kacau dibuatnya. Kedua orang yang mengamuk tersebut tewas dalam benteng. Pasukan Munters ternyata kembali ke benteng sebelum sampai di Sungai Paring.
Datangnya bantuan kekuatan ini menyebabkan Demang Lehman dan pasukannya mundur. Demang Lehman mundur di sekitar Sungai Kupang dan Tabihi bersama Pangeran Muhammad Aminullah dan Tuan Said. Pasukan Belanda menyusul ke Tabihi dan terjadilah pertempuran. Dalam pertempuran itu, komandan pasukan Belanda Van Dam van Isselt tewas dan beberapa orang serdadu menjadi korban keganasan perang.
Demang Lehman meneruskan ke daerah Barabai, membantu pertahanan Pangeran Hidayatullah. Gustave Marie Verspijck, jenderal Belanda yang memimpin berbagai ekspedisi militer di Hindia-Belanda, berusaha keras untuk menghancurkan kekuatan Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman.
Ratusan serdadu dikerahkan oleh Gustave Marie Verspijck. Pengepungan terhadap kedudukan Pangeran Hidayatullah ini disertai pula kapal-kapal perang Suriname, Bone, Bennet, dan beberapa kapal kecil. Kapal-kapal perang ini pada tanggal 18 April 1850 memasuki Sungai Ilir Pamangkih.
Karena banyak rintangan, serdadu Belanda terpaksa menggunakan perahu-perahu. Iringan perahu ini mendapat serangan dari kelompok Haji Sarodin yang menggunakan lila dan senapan lantakan. Dalam pertempuran ini Haji Sarodin tewas, tetapi dia berhasil menewaskan beberapa serdadu Belanda.
Pertempuran terjadi pula di Walangku Kasarangan dan Pantai Hambawang. Demang Lehman dan Pangeran Hidayatullah. Karena jumlah personel Belanda lebih besar dan perlengkapan perang lebih unggul, diambil suatu siasat mundur. Pangeran Hidayatullah mundur ke Aluwan, sedangkan Demang Lehman bertahan di Kampung Pajukungan. Akhirnya Belanda berhasil menduduki Barabai.
Belanda berusaha keras untuk memutuskan hubungan Pangeran Hidayat yang berada di Aluwan dengan pasukan Demang Lehman yang berada di sekitar Amawang. Usaha Belanda untuk melemahkan kekuatan rakyat tidak berhasil karena rakyat menggunakan taktik gerilya dalam serangannya.
Belanda berusaha memikat Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman dengan segala cara agar menghentikan perlawanannya. Belanda kemudian menempuh jalan untuk menangkap kedua pejuang itu, hidup atau mati. Rakyat diminta membantu Belanda menangkap kedua tokoh itu. Imbalan disiapkan. Harga kepala Pangeran Hidayatullah adalah sebesar f10.000 dan Demang Lehman sebesar f2.000.
Pemerintah Belanda juga mengutus Haji Isa, seorang yang dekat dengan dan tahu Pangeran ini berada. Tugas Haji Isa adalah menyampaikan keinginan Pemerintah Belanda terhadap sang Pangeran ini.
Haji Isa tidak berhasil menemukan Pangeran Hidayatullah, tetapi dia bertemu dengan Demang Lehman. Ketika Haji Isa menyampaikan misinya, Demang Lehman langsung menolak segala macam perundingan dan akan terus berjuang sampai akhirnya memperoleh kemenangan.
Laporan Haji Isa ini menimbulkan semangat Belanda untuk mengatur siasat baru. Mayor Koch Asisten Residen di Martapura mengatur dan mengadakan hubungan dengan Demang Lehman atas perintah Residen Verspijck.
Pertemuan dengan Demang Lehman menghasilkan kesepakatan bahwa Demang Lehman bersedia menemui Pangeran Hidayatullah asalkan Belanda berjanji mendudukkan Pangeran Hidayatullah sebagai Raja di Martapura.
Setelah terjadi hubungan surat menyurat antara Demang Lehman dengan Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang, Demang Lehman bersedia turun ke Martapura. Pada tanggal 2 Oktober 1861, Demang Lehman turun ke Martapura bersama tokoh-tokoh pejuang disertai 250 orang pasukannya.
Anggota pasukannya ini akan menyusup ke seluruh pelosok Martapura dan bakal mengamuk kalau Belanda menipu dan menangkap Demang Lehman. Tanggal 6 Oktober 1861, Demang Lehman memasuki Kota Martapura disertai 15 orang pemimpin lainnya. Haji Isa menyambut rombongan ini dan langsung ke rumah Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang.
Dalam pertemuan empat mata, Residen berusaha memikat Demang Lehman dengan janji memberikan jaminan hidup setiap bulan kepadanya asal Demang Lehman berjanji menetap di Martapura, Banjarmasin, atau Pelaihari dan mengajak seluruh rakyat kembali ke kampung mereka masing-masing dan bekerja sama seperti semula.
Janji Residen itu tidak menarik perhatiannya. Demang Lehman tegas mengatakan bahwa mereka akan berjuang terus sampai Pangeran Hidayat dapat duduk kembali di Martapura memangku Kerajaan Banjar. Semboyan mereka huruf "Mim" (huruf Arab mim) yang berarti Martapura atau mati karenanya.
Hasil pertemuan dengan Residen memaksa Demang Lehman mencari tempat persembunyian Pangeran Hidayatullah dan akan merundingkannya dengan lebih teliti dan segala akibatnya nanti.
9 Oktober 1861, Demang Lehman berangkat ke Karang Intan dan kepergiannya ini memakan waktu hampir sebulan. Kepergian Demang Lehman ini mengkhawatirkan Belanda.
Tanggal 30 Desember 1861, Residen GM Verspyck tiba di Martapura dan perundingan dengan Demang Lehman dilangsungkan. Residen berjanji Pangeran Hidayat boleh tinggal dengan keluarganya di Martapura selama perundingan berlangsung. Jika perundingan gagal Pangeran Hidayat boleh kembali ke pusat pertahanannya dalam tempo sepuluh hari dengan aman.
Tanggal 3 Januari 1862, Demang Lehman kembali berangkat mencari Pangeran Hidayat menuju Muara Pahu di daerah antara Riam Kanan dan Riam Kiwa. Pada tanggal 14 Januari 1862, Demang Lehman bertemu dengan Pangeran Hidayat di Muara Pahu.
Demang Lehman menyampaikan surat Residen dan surat Regent Martapura Pangeran Jaya Pamenang. Dalam perjanjian itu, Ratu Siti, ibu Pangeran Hidayat dijemput dari tempatnya di Paau Sungai Pinang, begitu pula keluarga Pangeran Hidayatullah yang masih menetap di Tamunih.
Pada 22 Januari 1862, rombongan Pangeran Hidayatullah berangkat dari Muara Pahu dengan rakit dan perahu, melewati Mangapan dan tiga hari kemudian sampai di Awang Bangkal. Mereka tiba di Martapura 28 Januari 1862.
Rombongan ini disambut rakyat dengan suka hati. Rombongan langsung menuju tempat Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang yang masih hubungan paman dari Pangeran Hidayat.
Perundingan dilangsungkan pada tanggal 30 Januari 1862, dimulai pada pukul 10.30. Pihak Pangeran Hidayatullah terdiri dari 23 orang, termasuk Demang Lehman. Dalam perundingan itu Belanda mengatur siasat yang licik berpura berbaik hati dengan tujuan untuk menangkap dan mengasingkan Pangeran Hidayat keluar dari Bumi Selamat (Martapura).
Dalam situasi yang terjepit dan kondisi tidak memungkinkan, Pangeran Hidayat terpaksa menandatangani Surat Pemberitahuan yang ditujukan kepada rakyat Banjar, yang sudah disiapkan Belanda sebelumnya. Surat Pemberitahuan itu ditandatangani Pangeran Hidayat dengan cap Pangeran tertanggal 31 Januari 1862.
Belanda terus berupaya menyingkirkan Pangeran Hidayat. Mereka melakukan segala tipu daya. Penipuan itu dimulai dengan menangkap Ratu Siti, Ibu Sultan Hidayatullah, 2 Maret 1862.
Pihak Belanda lalu menulis surat atas nama Ratu Siti kepada Sultan, agar mengunjungi dia sebelum dihukum gantung oleh Pihak Belanda. Surat tersebut tertera cap Ratu Siti. Padahal, semua itu hanya rekayasa dan tipuan. Sultan Hidayatullah pun ditangkap, lalu diasingkan ke Cianjur.
Demang Lehman yang merasa kecewa dengan tipu muslihat Belanda berusaha mengatur kekuatan kembali di daerah Gunung Pangkal, negeri Batulicin, Tanah Bumbu. Dia bersama Tumenggung Aria Pati bersembunyi di Gua Gunung Pangkal dan hanya memakan daun-daunan.
Oleh seorang bernama Pembarani, dia diajak menginap. Karena tergiur imbalan gulden dari Belanda, Pembarani bekerja sama dengan Syarif Hamid dan anak buahnya yang sudah menyusuri Gunung Lintang dan Gunung Panjang untuk mencari Demang Lehman atas perintah Belanda. Demang Lehman tidak mengetahui bahwa Belanda sedang mengatur perangkap terhadapnya oleh orang yang menginginkan hadiah dan tanda jasa.
Sehabis menunaikan Salat Subuh dan dalam keadaan tidak bersenjata, dia ditangkap. Kemudian Demang Lehman diangkut ke Martapura.
Pemerintah Belanda menetapkan hukuman gantung terhadapnya. Dia menjalani hukuman gantung sampai mati di Martapura, sebagai pelaksanaan keputusan Pengadilan Militer Belanda tanggal 27 Februari 1864.
Selesai digantung dan mati, kepalanya dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van Volkenkunde Leiden. Kepala Demang Lehman kabarnya disimpan di Museum Leiden di Negeri Belanda, sehingga mayatnya dimakamkan tanpa kepala.
Sumber: wikipedia.org
Perang Banjar (1859-1905) memunculkan sejumlah panglima perang, salah satunya Demang Lehman. Demang Lehman lahir di Barabai tahun 1832. Nama kecilnya, Idies. Gelar Kiai Demang merupakan gelar untuk pejabat yang memegang sebuah lalawangan (distrik) di Kesultanan Banjar.
Awalnya, Demang Lehman adalah seorang panakawan (ajudan) dari Pangeran Hidayatullah II sejak tahun 1857. Pangeran Hidayatullah II adalah seorang pemimpin Perang Banjar yang pada tahun 1999 dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Karena kesetiaan, kecakapan, dan besarnya jasa sebagai panakawan Pangeran Hidayatullah II, Demang Lehman diangkat menjadi Kiai sebagai lalawangan/kepala Distrik Riam Kanan (tanah lungguh Pg. Hidayatullah II).
Saat awal Perang Banjar, sekitar akhir April 1859, Demang Lehman memimpin kekuatan dan penggempuran di sekitar Martapura dan Tanah Laut, bersama-sama Kiai Langlang dan Penghulu Haji Buyasin.
Selanjutnya, Demang Lehman diperintahkan mempertahankan Kota Martapura, karena pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke Kota Karang Intan oleh Pangeran Hidayat.
Pada tanggal 30 Agustus 1859, Demang Lehman berangkat menuju Keraton Bumi Selamat dengan 3.000 pasukan. Serangan tiba-tiba itu mengejutkan Belanda. Bahkan, Letnan Kolonel Boon Ostade nyaris tewas. Namun, serbuan ini gagal karena berhadapan dengan pasukan Belanda yang sedang berkumpul melakukan inspeksi senjata.
Sementara itu, kapal perang Bone dikirim Belanda ke Tanah Laut untuk merebut kembali Benteng Tabanio yang telah dikuasai Demang Lehman dalam sebuah pertempuran.
Ketika pasukan Letnan Laut Cronental menyerbu Benteng Tabanio, sembilan orang serdadu Belanda tewas. Sisanya mengundurkan diri dengan menderita kekalahan.
Serangan kedua dilakukan oleh Belanda. Namun, benteng itu dipertahankan dengan gagah berani oleh Demang Lehman, Kiai Langlang, dan Penghulu Haji Buyasin.
Karena serangan serdadu Belanda didukung oleh angkatan laut yang menembakkan meriam dari kapal perang, sedangkan pasukan darat menyerbu Benteng Tabanio, Demang Lehman berserta pasukannya lolos dengan tidak meninggalkan korban.
Belanda menilai bahwa kemenangan terhadap Benteng Tabanio ini tidak ada artinya. Jumlah sarana yang dikerahkan, 15 buah meriam dan sejumlah senjata yang mengkilap, ternyata tidak berhasil melumpuhkan kekuatan Demang Lehman.
Selanjutnya, Demang Lehman memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan Gunung Lawak di Tanah Laut. Benteng itu terletak di atas bukit. Di setiap sudut benteng dipersenjatai dengan meriam.
Pada 27 September 1859, terjadi pertempuran memperebutkan benteng ini. Dalam pertempuran yang sengit, pasukan Demang Lehman mempertahankan Benteng Gunung Lawak dengan gagah berani. Lebih dari 100 pasukannya gugur dalam pertempuran ini.
Kekalahan ini tidak melemahkan semangat pasukan Demang Lehman. Mereka yakin bahwa berperang melawan Belanda adalah perang sabil. Mati dalam perang adalah mati syahid.
Pada September 1859 pula, Demang Lehman bersama pimpinan lainnya seperti Pangeran Muhammad Aminullah dan Tumenggung Jalil berangkat menuju Kandangan untuk merundingkan bentuk perlawanan terhadap Belanda. Pertemuan menghasilkan kesepakatan menolak tawaran Belanda untuk berunding.
Para pejuang tersebut bersumpah mengusir penjajah Belanda dari Bumi Banjar. Mereka akan berjuang tanpa kompromi, Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing, berjuang sampai titik darah penghabisan.
Di sisi lain, untuk melumpuhkan perjuangan rakyat, Belanda mendirikan sejumlah benteng. Di daerah Tapin, ada Benteng Munggu Tayor yang telah direbut dari pasukan Demang Lehman.
Di daerah Kandangan, didirikan pula Benteng Amawang. Demang Lehman dan pasukannya merencanakan untuk menyerang benteng Belanda di Amawang ini.
Demang Lehman berhasil menyelundupkan dua orang kepercayaannya ke dalam benteng sebagai pekerja Belanda. Dengan informasi dari kedua pekerja ini, Demang Lehman bertekad menyerbu benteng tersebut. Namun, pihak Belanda memperoleh informasi bahwa rakyat telah berkumpul di Sungai Paring hendak menyerbu Benteng Amawang.
Pasukan Belanda di bawah pimpinan Munters membawa 60 orang serdadu dan sebuah meriam menuju Sungai Paring. Saat pasukan tersebut keluar dan diperkirakan sudah mencapai Sungai Paring, Demang Lehman menyerbu Benteng Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Dia membawa 300 pasukan.
Ketika pasukan Demang Lehman menyerbu, kedua orang kepercayaan yang menjadi buruh dalam benteng tersebut mengamuk dan menjadikan serdadu Belanda menjadi kacau dibuatnya. Kedua orang yang mengamuk tersebut tewas dalam benteng. Pasukan Munters ternyata kembali ke benteng sebelum sampai di Sungai Paring.
Datangnya bantuan kekuatan ini menyebabkan Demang Lehman dan pasukannya mundur. Demang Lehman mundur di sekitar Sungai Kupang dan Tabihi bersama Pangeran Muhammad Aminullah dan Tuan Said. Pasukan Belanda menyusul ke Tabihi dan terjadilah pertempuran. Dalam pertempuran itu, komandan pasukan Belanda Van Dam van Isselt tewas dan beberapa orang serdadu menjadi korban keganasan perang.
Demang Lehman meneruskan ke daerah Barabai, membantu pertahanan Pangeran Hidayatullah. Gustave Marie Verspijck, jenderal Belanda yang memimpin berbagai ekspedisi militer di Hindia-Belanda, berusaha keras untuk menghancurkan kekuatan Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman.
Ratusan serdadu dikerahkan oleh Gustave Marie Verspijck. Pengepungan terhadap kedudukan Pangeran Hidayatullah ini disertai pula kapal-kapal perang Suriname, Bone, Bennet, dan beberapa kapal kecil. Kapal-kapal perang ini pada tanggal 18 April 1850 memasuki Sungai Ilir Pamangkih.
Karena banyak rintangan, serdadu Belanda terpaksa menggunakan perahu-perahu. Iringan perahu ini mendapat serangan dari kelompok Haji Sarodin yang menggunakan lila dan senapan lantakan. Dalam pertempuran ini Haji Sarodin tewas, tetapi dia berhasil menewaskan beberapa serdadu Belanda.
Pertempuran terjadi pula di Walangku Kasarangan dan Pantai Hambawang. Demang Lehman dan Pangeran Hidayatullah. Karena jumlah personel Belanda lebih besar dan perlengkapan perang lebih unggul, diambil suatu siasat mundur. Pangeran Hidayatullah mundur ke Aluwan, sedangkan Demang Lehman bertahan di Kampung Pajukungan. Akhirnya Belanda berhasil menduduki Barabai.
Belanda berusaha keras untuk memutuskan hubungan Pangeran Hidayat yang berada di Aluwan dengan pasukan Demang Lehman yang berada di sekitar Amawang. Usaha Belanda untuk melemahkan kekuatan rakyat tidak berhasil karena rakyat menggunakan taktik gerilya dalam serangannya.
Belanda berusaha memikat Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman dengan segala cara agar menghentikan perlawanannya. Belanda kemudian menempuh jalan untuk menangkap kedua pejuang itu, hidup atau mati. Rakyat diminta membantu Belanda menangkap kedua tokoh itu. Imbalan disiapkan. Harga kepala Pangeran Hidayatullah adalah sebesar f10.000 dan Demang Lehman sebesar f2.000.
Pemerintah Belanda juga mengutus Haji Isa, seorang yang dekat dengan dan tahu Pangeran ini berada. Tugas Haji Isa adalah menyampaikan keinginan Pemerintah Belanda terhadap sang Pangeran ini.
Haji Isa tidak berhasil menemukan Pangeran Hidayatullah, tetapi dia bertemu dengan Demang Lehman. Ketika Haji Isa menyampaikan misinya, Demang Lehman langsung menolak segala macam perundingan dan akan terus berjuang sampai akhirnya memperoleh kemenangan.
Laporan Haji Isa ini menimbulkan semangat Belanda untuk mengatur siasat baru. Mayor Koch Asisten Residen di Martapura mengatur dan mengadakan hubungan dengan Demang Lehman atas perintah Residen Verspijck.
Pertemuan dengan Demang Lehman menghasilkan kesepakatan bahwa Demang Lehman bersedia menemui Pangeran Hidayatullah asalkan Belanda berjanji mendudukkan Pangeran Hidayatullah sebagai Raja di Martapura.
Setelah terjadi hubungan surat menyurat antara Demang Lehman dengan Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang, Demang Lehman bersedia turun ke Martapura. Pada tanggal 2 Oktober 1861, Demang Lehman turun ke Martapura bersama tokoh-tokoh pejuang disertai 250 orang pasukannya.
Anggota pasukannya ini akan menyusup ke seluruh pelosok Martapura dan bakal mengamuk kalau Belanda menipu dan menangkap Demang Lehman. Tanggal 6 Oktober 1861, Demang Lehman memasuki Kota Martapura disertai 15 orang pemimpin lainnya. Haji Isa menyambut rombongan ini dan langsung ke rumah Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang.
Dalam pertemuan empat mata, Residen berusaha memikat Demang Lehman dengan janji memberikan jaminan hidup setiap bulan kepadanya asal Demang Lehman berjanji menetap di Martapura, Banjarmasin, atau Pelaihari dan mengajak seluruh rakyat kembali ke kampung mereka masing-masing dan bekerja sama seperti semula.
Janji Residen itu tidak menarik perhatiannya. Demang Lehman tegas mengatakan bahwa mereka akan berjuang terus sampai Pangeran Hidayat dapat duduk kembali di Martapura memangku Kerajaan Banjar. Semboyan mereka huruf "Mim" (huruf Arab mim) yang berarti Martapura atau mati karenanya.
Hasil pertemuan dengan Residen memaksa Demang Lehman mencari tempat persembunyian Pangeran Hidayatullah dan akan merundingkannya dengan lebih teliti dan segala akibatnya nanti.
9 Oktober 1861, Demang Lehman berangkat ke Karang Intan dan kepergiannya ini memakan waktu hampir sebulan. Kepergian Demang Lehman ini mengkhawatirkan Belanda.
Tanggal 30 Desember 1861, Residen GM Verspyck tiba di Martapura dan perundingan dengan Demang Lehman dilangsungkan. Residen berjanji Pangeran Hidayat boleh tinggal dengan keluarganya di Martapura selama perundingan berlangsung. Jika perundingan gagal Pangeran Hidayat boleh kembali ke pusat pertahanannya dalam tempo sepuluh hari dengan aman.
Tanggal 3 Januari 1862, Demang Lehman kembali berangkat mencari Pangeran Hidayat menuju Muara Pahu di daerah antara Riam Kanan dan Riam Kiwa. Pada tanggal 14 Januari 1862, Demang Lehman bertemu dengan Pangeran Hidayat di Muara Pahu.
Demang Lehman menyampaikan surat Residen dan surat Regent Martapura Pangeran Jaya Pamenang. Dalam perjanjian itu, Ratu Siti, ibu Pangeran Hidayat dijemput dari tempatnya di Paau Sungai Pinang, begitu pula keluarga Pangeran Hidayatullah yang masih menetap di Tamunih.
Pada 22 Januari 1862, rombongan Pangeran Hidayatullah berangkat dari Muara Pahu dengan rakit dan perahu, melewati Mangapan dan tiga hari kemudian sampai di Awang Bangkal. Mereka tiba di Martapura 28 Januari 1862.
Rombongan ini disambut rakyat dengan suka hati. Rombongan langsung menuju tempat Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang yang masih hubungan paman dari Pangeran Hidayat.
Perundingan dilangsungkan pada tanggal 30 Januari 1862, dimulai pada pukul 10.30. Pihak Pangeran Hidayatullah terdiri dari 23 orang, termasuk Demang Lehman. Dalam perundingan itu Belanda mengatur siasat yang licik berpura berbaik hati dengan tujuan untuk menangkap dan mengasingkan Pangeran Hidayat keluar dari Bumi Selamat (Martapura).
Dalam situasi yang terjepit dan kondisi tidak memungkinkan, Pangeran Hidayat terpaksa menandatangani Surat Pemberitahuan yang ditujukan kepada rakyat Banjar, yang sudah disiapkan Belanda sebelumnya. Surat Pemberitahuan itu ditandatangani Pangeran Hidayat dengan cap Pangeran tertanggal 31 Januari 1862.
Belanda terus berupaya menyingkirkan Pangeran Hidayat. Mereka melakukan segala tipu daya. Penipuan itu dimulai dengan menangkap Ratu Siti, Ibu Sultan Hidayatullah, 2 Maret 1862.
Pihak Belanda lalu menulis surat atas nama Ratu Siti kepada Sultan, agar mengunjungi dia sebelum dihukum gantung oleh Pihak Belanda. Surat tersebut tertera cap Ratu Siti. Padahal, semua itu hanya rekayasa dan tipuan. Sultan Hidayatullah pun ditangkap, lalu diasingkan ke Cianjur.
Demang Lehman yang merasa kecewa dengan tipu muslihat Belanda berusaha mengatur kekuatan kembali di daerah Gunung Pangkal, negeri Batulicin, Tanah Bumbu. Dia bersama Tumenggung Aria Pati bersembunyi di Gua Gunung Pangkal dan hanya memakan daun-daunan.
Oleh seorang bernama Pembarani, dia diajak menginap. Karena tergiur imbalan gulden dari Belanda, Pembarani bekerja sama dengan Syarif Hamid dan anak buahnya yang sudah menyusuri Gunung Lintang dan Gunung Panjang untuk mencari Demang Lehman atas perintah Belanda. Demang Lehman tidak mengetahui bahwa Belanda sedang mengatur perangkap terhadapnya oleh orang yang menginginkan hadiah dan tanda jasa.
Sehabis menunaikan Salat Subuh dan dalam keadaan tidak bersenjata, dia ditangkap. Kemudian Demang Lehman diangkut ke Martapura.
Pemerintah Belanda menetapkan hukuman gantung terhadapnya. Dia menjalani hukuman gantung sampai mati di Martapura, sebagai pelaksanaan keputusan Pengadilan Militer Belanda tanggal 27 Februari 1864.
Selesai digantung dan mati, kepalanya dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van Volkenkunde Leiden. Kepala Demang Lehman kabarnya disimpan di Museum Leiden di Negeri Belanda, sehingga mayatnya dimakamkan tanpa kepala.
Sumber: wikipedia.org
(zik)