Ada Anggota DPR Cawe-cawe di Penambangan Pasir Lumajang
A
A
A
JAKARTA - Tim Investigasi Komisi III DPR menemukan sejumlah fakta mencenggangkan di balik kasus pembunuhan aktivis Salim alias Kancil dan penganiayaan berat aktivis Tosan di Desa Selok Awar-awar, Pasirian, Lumajang, Jawa Timur. Satu di antaranya, hasil penambangan pasir ilegal di desa tersebut dinikmati oknum anggota DPR periode 2014-2019.
Investigasi atau kunjungan kerja (kunker) khusus berlangsung selama dua hari pada pekan lalu dan dipimpin Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Benny Kabur Harman.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Golkar John Kenedy Azis menyatakan, penambangan pasir liar di Desa Selok Awar-awar sudah berlangsung lama bahkan hasilnya dinikmati oknum anggota DPR periode saat ini. Temuan yang dihasilkan dari penyampaikan sejumlah masyatakat ini sudah disampaikan rombongan Komisi III dalam rapat dengar pendapat dengan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Anton Setiadji, utusan Mabes Polri, dan Bupati Lumajang As'at Malik.
"Akibat pasir ini, penambangan liarnya ada anggota DPR yang berhasil di sini. Yang kemungkinan diduga dari penambangan liar ini. Ini juga kami sampaikan dalam RDP itu," kata John sebelum rapat paripurna DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/10/2015).
Dia melanjutkan, dalam penganiayaan terhadap Tosan dan pembunuhan Salim Kancil terjadi pembiaran oleh kepolisian atas pelaporan selama 10 hingga 15 hari. Pembiaran ini merupakan pembiaran terhadap penyelidikan dan pembelaan anak bangsa.
John mempertanyakan atas dasar pertimbangan apa laporan pengancaman yang disampaikan Tosan dan Salim tidak digubris dan ditindaklanjuti oleh kepolisian. Seharusnya saat ancaman dilaporkan, polisi memberikan pendampingan, pembelaan, dan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Ini tidak ada. Sehingga memang terjadilah pembunuhan itu. Pembunuhannya memang sangat sadis, sangat luar-luar biasa, secara kemanusiaan tidak manusiawi lagi," tuturnya.
Pembiaran kedua oleh kepolisian yakni, berkaitan dengan jarak penyiksaan dan pembunuhan dengan kantor polisi hanya 12 km. Kalau dari kantor polisi ke tempat penyiksaan dengan mengendarai sepeda motor atau naik mobil paling hanya 8-10 menit karena jelas tidak macet.
Sedangkan penyiksaan dan pembunuhan berlangsung lebih kurang 1,5 jam. Artinya tidak mungkin ini polisi tidak tahu peristiwanya. Pembiaran yang ketiga yakni, korban disiksa di Pendopo atau Balai Desa dan berdekatan dengan rumah kepala desa.
"Jadi saya mengatakan secara ekstrim, negara enggak ada di situ. Tidak ada negara di situ," tandasnya.
Untuk itu, polisi tidak boleh berhenti di Kepala Desa Hariono. Komisi III menemukan ada oknum-oknum tertentu yang diduga terlibat. John menuturkan, polisi tidak bisa menyalahkan Kapolres Lumajang AKBP Fadly Mundzir karena baru menjabat satu hari sebelum peristiwa pembunuhan Salim, 26 September. Yang harus ditindak adalah Kapolres lama AKBP Aries Syahbudin.
"Gampang kok untuk menyelidiki siapa di belakang kepala desa. Itu kan ada alat penambangan besar, beko-beko pengeruk itu tentu ada pemiliknya. Kami minta juga pemilik-pemilik beko itu ditindaklanjuti," ujarnya.
Yang hilir mudik untuk penambangan pasir ilegal itu antara kurang lebih 50 sampai 100 truk besar. Artinya, pasti ada perusahaan yang ikut andil. Guna mengungkap keterlibatan perusahaan, polisi bisa memeriksa pengepul-pengepul di sekitar desa.
Karena kemungkinan besar pemilik-pemilik truk atau beko inilah yang membiayai Hariono untuk melakukan aksinya dengan menyewa preman-preman. Apalagi biayanya tidak sedikit.
"Untuk preman-preman yang menyiksa Tosan dan membunuh Salim Kancil konon katanya itu sekitar Rp12,5 juta sampai Rp15 juta biayanya per hari. Itu kan besar. Harus diselidiki, disidik itu siapa pemilik truk, kemana pasir ini dijual," tandas John.
Investigasi atau kunjungan kerja (kunker) khusus berlangsung selama dua hari pada pekan lalu dan dipimpin Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Benny Kabur Harman.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Golkar John Kenedy Azis menyatakan, penambangan pasir liar di Desa Selok Awar-awar sudah berlangsung lama bahkan hasilnya dinikmati oknum anggota DPR periode saat ini. Temuan yang dihasilkan dari penyampaikan sejumlah masyatakat ini sudah disampaikan rombongan Komisi III dalam rapat dengar pendapat dengan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Anton Setiadji, utusan Mabes Polri, dan Bupati Lumajang As'at Malik.
"Akibat pasir ini, penambangan liarnya ada anggota DPR yang berhasil di sini. Yang kemungkinan diduga dari penambangan liar ini. Ini juga kami sampaikan dalam RDP itu," kata John sebelum rapat paripurna DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/10/2015).
Dia melanjutkan, dalam penganiayaan terhadap Tosan dan pembunuhan Salim Kancil terjadi pembiaran oleh kepolisian atas pelaporan selama 10 hingga 15 hari. Pembiaran ini merupakan pembiaran terhadap penyelidikan dan pembelaan anak bangsa.
John mempertanyakan atas dasar pertimbangan apa laporan pengancaman yang disampaikan Tosan dan Salim tidak digubris dan ditindaklanjuti oleh kepolisian. Seharusnya saat ancaman dilaporkan, polisi memberikan pendampingan, pembelaan, dan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Ini tidak ada. Sehingga memang terjadilah pembunuhan itu. Pembunuhannya memang sangat sadis, sangat luar-luar biasa, secara kemanusiaan tidak manusiawi lagi," tuturnya.
Pembiaran kedua oleh kepolisian yakni, berkaitan dengan jarak penyiksaan dan pembunuhan dengan kantor polisi hanya 12 km. Kalau dari kantor polisi ke tempat penyiksaan dengan mengendarai sepeda motor atau naik mobil paling hanya 8-10 menit karena jelas tidak macet.
Sedangkan penyiksaan dan pembunuhan berlangsung lebih kurang 1,5 jam. Artinya tidak mungkin ini polisi tidak tahu peristiwanya. Pembiaran yang ketiga yakni, korban disiksa di Pendopo atau Balai Desa dan berdekatan dengan rumah kepala desa.
"Jadi saya mengatakan secara ekstrim, negara enggak ada di situ. Tidak ada negara di situ," tandasnya.
Untuk itu, polisi tidak boleh berhenti di Kepala Desa Hariono. Komisi III menemukan ada oknum-oknum tertentu yang diduga terlibat. John menuturkan, polisi tidak bisa menyalahkan Kapolres Lumajang AKBP Fadly Mundzir karena baru menjabat satu hari sebelum peristiwa pembunuhan Salim, 26 September. Yang harus ditindak adalah Kapolres lama AKBP Aries Syahbudin.
"Gampang kok untuk menyelidiki siapa di belakang kepala desa. Itu kan ada alat penambangan besar, beko-beko pengeruk itu tentu ada pemiliknya. Kami minta juga pemilik-pemilik beko itu ditindaklanjuti," ujarnya.
Yang hilir mudik untuk penambangan pasir ilegal itu antara kurang lebih 50 sampai 100 truk besar. Artinya, pasti ada perusahaan yang ikut andil. Guna mengungkap keterlibatan perusahaan, polisi bisa memeriksa pengepul-pengepul di sekitar desa.
Karena kemungkinan besar pemilik-pemilik truk atau beko inilah yang membiayai Hariono untuk melakukan aksinya dengan menyewa preman-preman. Apalagi biayanya tidak sedikit.
"Untuk preman-preman yang menyiksa Tosan dan membunuh Salim Kancil konon katanya itu sekitar Rp12,5 juta sampai Rp15 juta biayanya per hari. Itu kan besar. Harus diselidiki, disidik itu siapa pemilik truk, kemana pasir ini dijual," tandas John.
(kri)