Benang Merah CIA, Kitab Suci dan G30S/PKI

Rabu, 30 September 2015 - 16:13 WIB
Benang Merah CIA, Kitab...
Benang Merah CIA, Kitab Suci dan G30S/PKI
A A A
BLITAR - Pertanyaan soal Intelejen Amerika (CIA) dalam tragedi 30 September 1965 membuat Putmainah (87) menegakkan kepala, wanita renta ini seperti tersentak. Sorot mata warga Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar itu sontak menajam, garis wajahnya mengeras.

"Apa? Amerika?!, " ujar mantan Ketua Gerwani (underbow PKI) Kabupaten Blitar meninggi mengulangi pertanyaan.

Putmainah duduk bersandar di sebuah kursi roda. Sejak ditemukan tak sadarkan diri pertengahan Juni 2012 lalu, kursi roda menggantikan peran kakinya.

Kursi logam dengan sepasang roda di sisi depan dan dua lagi di belakang itu yang mengantarkanya mondar mandir kesana kemari. Bergerak dari kamar tidur, kamar mandi, ruang makan hingga luar rumah.

Di teras samping belakang rumah, Putmainah biasa "parkir" berjam jam, menghabiskan waktu dari pagi hingga senja. Di tempat teduh itu dia sering tenggelam dalam kesendirian.

Tidak jauh dari tempatnya bersandar, sebuah gazebo bergaya klasik berdiri kokoh. Kondisinya tertata rapi dan terlihat kerap dibersihkan. Usianya baru sekitar 4 tahunan.

Di sebelahnya tampak kolam semen kecil berisi ikan-ikan koi bersisik merah. Dinana Amin Handayani, putri sulungnya tidak pernah absen menjenguk.

Setidaknya Dina yang berdomisili di Kota Blitar melakukannya sepekan sekali. Diluar itu seorang wanita setengah baya diupah untuk menjadi "rewang" (pembantu).

Putmainah praktis meninggalkan semua rutinitas rumah. Dia tidak lagi bersih bersih, menanam, menyiram, merawat bunga, maupun mendaras pustaka. Serangan stroke membuat raga Putmainah tidak lagi berfungsi sempurna.

Tangan kirinya tak bisa digerakkan. Dari jari hingga pangkal lengan layu tak bertenaga. Begitu juga dengan kondisi kaki kirinya, lumpuh mati rasa.

"CIA dan Amerika jelas terlibat dalam peristiwa 30 September 1965, " jawabnya sembari susah payah memperbaiki posisi duduknya.

Central Intelligence Agency (CIA) adalah agen rahasia Amerika Serikat. Di penghujung pemerintahan Presiden Harry S Truman, agen khusus ini mencapai puncak kekuatannya.

CIA menjadi operator utama operasi senyap di sejumlah negara penentang Amerika. Operasi rahasia yang dijalankan paska Perang Dunia II.

Pada kurun waktu 1964-1968 sebut saja Indonesia, Malaysia, Filipina, Yunani, Turki dan Cyprus telah "digarap"nya.

Para agen (CIA) bekerja dengan menggandeng jaringan militer, kesenian, kebudayaan, hingga kelompok sosial keagamaan anti komunisme. Proyek besarnya menghancurkan gerakan Marxisme-Leninisme dunia.

Dalam buku "Dokumen CIA melacak penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965", dikatakan Amerika memasok nama orang-orang komunis kepada Angkatan Darat Indonesia.

Disebutkan juga adanya kucuran dana Rp50 juta dari Duta Besar Amerika Marshall Green kepada gerakan Kap Gestapu di Indonesia. Tidak heran dalam pidatonya Presiden Soekarno melontarkan sindiran bahwa "Abad ke-20 adalah Abad Intervensi".

"Amerika menggunakan tangan militer Indonesia untuk menumpas PKI, " timpalnya. Sebelum para aktivis, simpatisan PKI dan organisasi sayapnya dibunuh, ditangkap, disiksa, dipenjara tanpa diadili.

Lalu muncul bantuan kitab suci Al quran. Kitab suci yang disinyalir kuat berasal dari agen rahasia Paman Sam itu dibagikan merata secara cuma-cuma ke pondok pesantren, para kiai serta pemuka agama di desa-desa.

Menurut Putmainah simpul operasi "mengambil hati" kelompok kontra PKI itu adalah tentara (militer). "Saya tahu, karena ayah saya seorang haji dan mendapatkan al quran bantuan Amerika itu, " timpalnya.

Mansyur, ayah Putmainah memang menyandang gelar Haji. Yakni seorang aristokrat (bangsawan) desa kaya yang disegani. Haji Mansyur, tutur Putmainah dikenal sebagai tokoh Sarekat Islam (SI) Merah yang kemudian berganti nama Sarekat Rakyat.

Dia putra sulung Kiai Abdurrahman yang juga keturunan langsung penyebar Islam Sunan Tembayat Jawa Tengah. Kiai Abdurrahman merupakan bekas laskar prajurit Pangeran Diponegoro (Mataram).

Haji Mansyur pernah ditahan pada peristiwa pemberontakan PKI tahun 1926 dan terlibat aktif dalam pemberontakan PKI Madiun 1948.

Lagi-lagi dia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Dari Haji Mansyur, Putmainah mengaku mengenal ajaran komunisme. Mengetahui bagaimana membela rakyat tertindas dan berusaha adil sejak dalam pikiran.

Haji Mansyur juga yang menitipkan Putmainah kepada Umi Sarjono seorang tokoh gerwani yang menjadi mentornya pertama kali.

Atas saran Umi kepada Haji Mansyur, Putmainah ditempatkan di rumah Ny Wardoyo, kakak kandung Bung Karno yang berdomisili di Istana Gebang Kota Blitar.

Ajaran dan gerakan perjuangan klas yang kelak mengantarkan Putmainah menjadi tokoh Gerwani sekaligus anggota DPRGR Kabupaten Blitar dari Fraksi PKI.

"Ayah saya (Haji Mansyur) seorang singa podium. Saya lahir ketika ayah berada dipenjara, " paparnya.

Selain Al qur'an, lanjut Putmainah, Amerika (CIA) juga terlibat dalam pemberian bantuan dana pembangunan rumah ibadah seperti surau dan musala.

Musala dibangun, diperbaiki bersamaan dengan bantuan kitab suci. Kooptasi Amerika kepada kelompok agama menurut Putmainah berlanjut pada operasi politik adu domba.

Kelompok agama, yakni NU dan Ansor dihasut dan dihadapkan dengan PKI dan organisasi sayapnya, seperti BTI, SOBSI, Lekra, Gerwani dan Pemuda Rakyat.

Organisasi buruh Sobsi (PKI) dihadapkan dengan Sarbumusi (NU). BTI dibenturkan dengan Pertanu, Lekra dengan Lesbumi, Gerwani dengan Fatayat dan Muslimat, IPPI dengan IPNU dan IPPNU, CGMI dengan PMII serta Pemuda Rakyat dengan GP Ansor.

Setelah Partai Masyumi dibubarkan dan PNI pecah, yang sanggup menandingi gerakan PKI sebagai pemenang pemilu keempat hanya NU. Praktis hanya tinggal NU sebagai partai terbesar ketiga pemenang pemilu (1955).

Padahal, kata Putmainah hubungan PKI dengan NU, khususnya di Blitar tidak pernah terjadi polemik. Dia bercerita bahwa selama menjabat anggota DPRGR Kabupaten Blitar bersahabat cukup dekat dengan wakil NU.

Putmainah menyebut nama Kayubi sebagai salah satu orang NU yang menjadi kawannya selama bekerja di legislatif.

Sayangnya, dia mengaku tidak ingat apakah Kayubi yang dimaksud adalah Zaenudin Kayubi penggagas sekaligus pendiri Barisan Ansor Serba Guna (Banser) NU.

Dalam sejarah tercatat Banser didirikan pertama kali di Blitar pada tanggal 14 April 1964. "Saya sering turun ke bawah berboncengan dengan dik Kayubi. Ia selalu memanggil saya mbak yu (kakak), " terangnya.

Situasi berubah total saat pecah peristiwa 30 September 1965. Orang-orang PKI dan simpatisannya ditangkap, disiksa dan dibunuhi.

Tidak hanya menangkap dan membunuh. Orang orang yang menurut Putmainah digerakkan militer itu juga merampas, menjarah dan menguasai harta benda.

Banyak orang PKI yang memilih menyingkir meninggalkan rumah karena sadar akan nasibnya. Saat itu, tutur Putmainah situasi benar benar chaos mencekam.

Nyawa tidak ada harganya. Informasi yang berkembang saat itu setiap kepala orang PKI dihargai Rp5 ribu.

"Bahkan tidak sedikit yang laki laki (PKI) dibunuh, kemudian istrinya diambil. Orang orang ini sebenarnya juga korban politik. Mereka digerakkan militer, " timpalnya.

Putmainah juga memilih menyelamatkan diri dengan membawa serta anak anaknya yang masih kecil. Sejumlah orang merusak tempat tinggalnya.

Dia tertangkap dalam keadaan hamil tua di sebuah gua persembunyian wilayah Blitar Selatan. Setelah itu selama bertahun tahun tanpa diadili menghuni penjara wanita Plantungan, Semarang.

Bagaimana nasib suaminya?. Soebandi Ketua DPRD Kota Blitar Fraksi PKI yang juga Ketua Front Nasional Blitar tidak diketahui rimbanya.

Soebandi adalah seorang tentara Batalyon 29 Blitar. Menurut Putmainah, beberapa hari sebelum 30 September 1965 suaminya berangkat ke Jakarta untuk memenuhi undangan persiapan Kongres Partai (PKI).

Dia tidak pernah tahu pasti apakah suaminya turut tebunuh atau saat ini masih hidup. "Yang masih saya ingat suami saya seorang pendiam. Dia tidak begitu piawai di podium, tapi seorang konseptor politik yang baik, " jelasnya.

Di usia senjanya, Putmainah yang hidup di era kekuasaan tujuh Presiden Indonesia itu masih berharap terciptanya tatanan masyarakat yang adil makmur.

Menurut dia, keadilan kesejahteraan belum ada. Belum ada juga penghargaan bagi sesama.

"Masih banyak yang ingin makmur sendiri. Penghargaan sesama manusia juga belum ada. Saya masih hidup untuk melihat semua itu datang, " pungkasnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1572 seconds (0.1#10.140)