Tinggalkan Perusahaan Asing, Pilih Kuliah dan Mengajar
A
A
A
BATAM - Menjadi guru adalah cita-citanya sejak kecil. Karena itu, Mohammad Gita Indrawan rela meninggalkan kariernya di perusahaan asing demi menjadi dosen.
"Selamat pagi...," sapanya saat ekor matanya menangkap tiga orang sekuriti yang sedang berkumpul di dekat pintu masuk. Ia baru saja turun dari mobil yang diparkirnya tak jauh dari pintu masuk kampus Universitas Putera Batam (UPB) Tembesi, Batuaji.
Sembari berjalan ke ruangannya, ia tak henti menyapa hangat orang-orang yang berpapasan dengannya. Mulai dari dosen, staf kantor, hingga petugas kebersihan. Saat melihat dosen sedang lewat, ia tak segan mengangkat tangan sambil menyapa.
"Hei, Bro...," serunya akrab.
Laki-laki itu tak lain adalah Mohammad Gita Indrawan, Wakil Rektor di UPB sekaligus dosen di kampus itu. Perawakannya sedang, ia mengenakan kacamata dengan rambut tipis khas pemikir.
Laki-laki kelahiran Pontianak 41 tahun yang lalu itu memiliki segudang aktivitas. Selain membidangi Komunikasi Informasi dan Kemitraan di UPB, ia juga sibuk mengurusi berbagai organisasi profesi sampai perkumpulan tingkat RT. Minatnya besar terhadap permasalahan ekonomi, kebijakan, keagamaan, dan kepemudaan.
Sejak SD hingga SMA dihabiskannya di Pontianak, provinsi yang masih kental budaya melayunya. Lalu dilanjutkan di Fakultas Teknik Industri di Universitas Pasundan Bandung dan berhasil meraih gelar sarjana pada tahun 1999. Di akhir masa kuliahnya di teknik itulah, ia jatuh cinta pada bidang manajemen ekonomi.
"Skripsi saya malah lebih condong ke manajemen industri daripada ke teknik industri," kenangnya.
Selesai S1, ia kemudian kembali ke keluarganya yang waktu itu telah hijrah ke Jakarta. Ia rajin bekerja, mengumpulkan uang untuk bisa melanjutkan kuliah lagi ke jenjang berikutnya. Pada 2001, ia melanjutkan S2 ke Universitas Trisakti Jakarta sambil tetap bekerja.
"Kerjaan saya dulu marketing, keliling Jakarta mulai dari naik bis sampai bisa beli motor, nawarin barang ke berbagai proyek pembangunan. Saat itu sempat pindah-pindah perusahaan mulai dari jual gipsum, karpet hingga cat," katanya.
Saat sedang mengambil Magister Manajemen dalam bidang Sumber Daya Manusia itulah, ia kemudian bertemu dengan Sandra Lidyana Palar SE MM yang saat ini menjadi istrinya. Kuliahnya selesai pada 2003. Kemudian ia mendapat tawaran S3 di Filipina tahun 2006 setahun sejak pernikahannya berlangsung.
"Saat itu keluarga besar istri sempat menentang niat saya untuk sekolah di Filipina, apalagi karier saya sudah sampai ke posisi sales manager di perusahaan asing. Kalau saya pergi, otomatis saya harus resign," ujarnya.
Namun pilihannya untuk terus belajar tetap kokoh. Baginya, mencari uang adalah untuk terus sekolah. Maka ia melanjutkan ke San Beda College-Graduate School of Business di Manila dan berhasil mendapatkan gelar doktor dalam bidang Economics and Business pada tahun 2009, di saat usianya masih 35 tahun.
Sepulang dari Filipina, kehidupan tidak serta merta menjadi ramah baginya. Ia yang sudah menggondol gelar doktor memutuskan untuk terjun ke dunia akademisi menjadi guru, mengajar seperti cita-cita masa kecilnya.
Gita mulai memasukkan aplikasi lamaran ke almamaternya, Trisakti. Namun, karena banyak yang berminat menjadi dosen, di sana ia harus antre. Salah satu sahabatnya yang menjadi dosen di Trisakti lalu mengusulkan untuk mencoba peruntungan melamar di Universitas International Batam (UIB) yang baru saja buka dan memerlukan banyak dosen.
"Saya belum pernah ke Batam, waktu itu saya pikir coba-coba saja kalau nanti tidak betah ya balik lagi ke Jakarta. Tapi ternyata dari 2010 saya dan keluarga betah sampai sekarang di sini," katanya sambil tertawa.
Jenjang kariernya dimulai dari dosen, kemudian Kaprodi hingga jadi dekan di UIB. Tahun 2013, kemudian ia pindah ke UPB dan menjadi wakil rektor sampai sekarang. Sampai 2014 ia masih tetap menjadi dosen di UIB sebelum akhirnya ia fokus menumpahkan pemikiran dan waktunya untuk kemajuan UPB yang menurutnya masih sangat memerlukan curahan kontribusinya.
Baginya, masa kecil mempunyai peranan besar bagi pribadinya yang sekarang. Ia mengenang kembali saat-saat masih mengenyam pendidikan di Pontianak. Sejak SD hingga SMA ia tinggal di kampung yang dekat dengan sungai Kapuas. Rumahnya sangat mepet dengan sekolah SD tempat ia dulu bersekolah.
"Tidak hanya di samping, di depan dan di belakang rumah saya juga sekolahan. Tiap hari saya mendengar anak-anak belajar mengeja huruf demi huruf," kata ayah dua putra ini.
Setiap hari, suara anak-anak belajar di kelas masuk ke dalam rumahnya, menyelinap ke dalam kamarnya. Saat istirahat, ia malah sering pulang ke rumahnya lewat jalan tikus dan kembali ke sekolah saat kelas akan dimulai. Suara berisik itu ternyata lama-lama memengaruhi psikologisnya. Ia jadi merasa jika suara sekolahan yang ramai itu menjadi rumahnya.
"Lama-lama saya dan kedua adik saya menjadi nyaman dengan kondisi itu, kami tak pernah mengeluh. Malah rindu untuk selalu berada di sekolah. Saya juga senang dengan guru-guru dan saya jadi senang belajar," katanya.
Orangtuanya tak pernah menyebutkan alasan mengapa mereka tinggal di samping sekolah. Padahal, bisa saja mereka tinggal di tempat lain. Setelah bertahun-tahun Gita menyadari bahwa ayahnya yang seorang dosen itu mencoba untuk menumbuhkan pola pikir kepada anak-anaknya, bahwa sekolah itu bukanlah beban. Belajar adalah hal yang menyenangkan.
Mengikuti jejak orangtuanya, sekarang ia tinggal di Perum Batam Nirwana Residence Tiban yang juga berdekatan dengan sekolah Ulil Albab tempat putranya menuntut ilmu.
"Sekolah anak saya juga dekat dengan rumah, meski tidak mepet pagarnya seperti rumah saya di Pontianak dulu, tapi tetap saja rumah saya kelihatan dari sekolah," ujar laki-laki yang setiap Sabtu-Minggu menjadi dosen di Singapura ini.
Meskipun anaknya mendapatkan kesempatan untuk mengecap pendidikan yang mahal dan bertaraf internasional, ia lebih memilih memasukkan anaknya ke sekolah sederhana. Yang penting, anaknya bahagia dan tidak stres dengan tuntutan kurikulum yang kompleks.
"Saya selalu kasih kepercayaan kepada anak-anak. Tidak pernah menekan mereka harus les ini itu. Bagi saya yang penting adalah fondasinya. Saya mau mereka merasa bersekolah itu nyaman sehingga mereka dengan sendirinya akan memacu dirinya untuk berprestasi," ucapnya.
Ia hanya menanamkan kepada anak-anaknya untuk selalu bersyukur dan bertanggung jawab. Suatu hari, anaknya menginginkan sepeda. Gita menanamkan disiplin kepada mereka agar mendapatkan sesuatu setelah berusaha.
"Saya bilang ke mereka sepeda itu tidak gratis, mereka harus membelinya. Tidak dengan uang tapi dengan nilai-nilai mereka yang tidak boleh ada yang di bawah 8," ungkapnya.
Di dinding rumahnya, Gita memberi ruang untuk anak-anaknya saling bersaing menggantungkan sertifikat, ataupun piagam hasil lomba. Sejak kecil anak-anaknya menjadi terbiasa dengan suasana berkompetisi sehingga mereka tanpa sadar saling berpacu untuk terus berprestasi dan menjadi yang terbaik.
"Tidak hanya kami, tapi tamu-tamu yang datang ke rumah juga bisa melihat bentuk apresiasi itu. Di sana ada sertifikat lomba yang macam-macam. Ada pidato bahasa inggris, ada karate, pramuka dan lain-lain," ucap pendiri ESA Consultant ini.
Selain bekerja, berkarier, dan berorganisasi, Vice President Indonesia Marketing Association (IMA) ini juga sering mengikuti berbagai seminar nasional maupun internasional. Tidak hanya sebagai peserta, tapi ia sering menjadi narasumber. Apalagi seminar mengenai ekonomi dan kepemudaan. Mengenai topik kepemudaan, Gita mengaku memang memiliki porsi tersendiri dalam kesehariannya.
"Dalam kehidupan saya, di kampus terutama saya dikelilingi anak-anak muda. Melihat realita anak muda yang memandang hidup dengan kegalauan membuat saya bertekad untuk mencurahkan perhatian dan pemikiran saya bagi mereka," katanya.
Menurutnya, tantangan global, godaan narkoba, dan pergaulan bebas di kalangan anak muda sangat merisaukan. Belum lagi bobot kenakalan remaja saat ini makin membahayakan.
Maka, ia kerap menjadi narasumber dalam dialog bersama anak-anak muda, serta memberikan pelatihan kepada anak-anak muda. Toh pendidikan tidak hanya bisa diberikan dalam bentuk formal tapi juga di sisi informal.
"Saya punya utang banyak pada republik ini. Saya lahir dibesarkan dan mengecap banyak pendidikan di Indonesia. Saya tidak punya uang banyak untuk bikin jembatan di daerah terpencil, bikin dam ataupun membantu petani memiliki sawah. Sebagai akademisi inilah yang bisa saya lakukan dengan membina generasi yang akan meneruskan kehidupan di masa depan," pungkasnya.
"Selamat pagi...," sapanya saat ekor matanya menangkap tiga orang sekuriti yang sedang berkumpul di dekat pintu masuk. Ia baru saja turun dari mobil yang diparkirnya tak jauh dari pintu masuk kampus Universitas Putera Batam (UPB) Tembesi, Batuaji.
Sembari berjalan ke ruangannya, ia tak henti menyapa hangat orang-orang yang berpapasan dengannya. Mulai dari dosen, staf kantor, hingga petugas kebersihan. Saat melihat dosen sedang lewat, ia tak segan mengangkat tangan sambil menyapa.
"Hei, Bro...," serunya akrab.
Laki-laki itu tak lain adalah Mohammad Gita Indrawan, Wakil Rektor di UPB sekaligus dosen di kampus itu. Perawakannya sedang, ia mengenakan kacamata dengan rambut tipis khas pemikir.
Laki-laki kelahiran Pontianak 41 tahun yang lalu itu memiliki segudang aktivitas. Selain membidangi Komunikasi Informasi dan Kemitraan di UPB, ia juga sibuk mengurusi berbagai organisasi profesi sampai perkumpulan tingkat RT. Minatnya besar terhadap permasalahan ekonomi, kebijakan, keagamaan, dan kepemudaan.
Sejak SD hingga SMA dihabiskannya di Pontianak, provinsi yang masih kental budaya melayunya. Lalu dilanjutkan di Fakultas Teknik Industri di Universitas Pasundan Bandung dan berhasil meraih gelar sarjana pada tahun 1999. Di akhir masa kuliahnya di teknik itulah, ia jatuh cinta pada bidang manajemen ekonomi.
"Skripsi saya malah lebih condong ke manajemen industri daripada ke teknik industri," kenangnya.
Selesai S1, ia kemudian kembali ke keluarganya yang waktu itu telah hijrah ke Jakarta. Ia rajin bekerja, mengumpulkan uang untuk bisa melanjutkan kuliah lagi ke jenjang berikutnya. Pada 2001, ia melanjutkan S2 ke Universitas Trisakti Jakarta sambil tetap bekerja.
"Kerjaan saya dulu marketing, keliling Jakarta mulai dari naik bis sampai bisa beli motor, nawarin barang ke berbagai proyek pembangunan. Saat itu sempat pindah-pindah perusahaan mulai dari jual gipsum, karpet hingga cat," katanya.
Saat sedang mengambil Magister Manajemen dalam bidang Sumber Daya Manusia itulah, ia kemudian bertemu dengan Sandra Lidyana Palar SE MM yang saat ini menjadi istrinya. Kuliahnya selesai pada 2003. Kemudian ia mendapat tawaran S3 di Filipina tahun 2006 setahun sejak pernikahannya berlangsung.
"Saat itu keluarga besar istri sempat menentang niat saya untuk sekolah di Filipina, apalagi karier saya sudah sampai ke posisi sales manager di perusahaan asing. Kalau saya pergi, otomatis saya harus resign," ujarnya.
Namun pilihannya untuk terus belajar tetap kokoh. Baginya, mencari uang adalah untuk terus sekolah. Maka ia melanjutkan ke San Beda College-Graduate School of Business di Manila dan berhasil mendapatkan gelar doktor dalam bidang Economics and Business pada tahun 2009, di saat usianya masih 35 tahun.
Sepulang dari Filipina, kehidupan tidak serta merta menjadi ramah baginya. Ia yang sudah menggondol gelar doktor memutuskan untuk terjun ke dunia akademisi menjadi guru, mengajar seperti cita-cita masa kecilnya.
Gita mulai memasukkan aplikasi lamaran ke almamaternya, Trisakti. Namun, karena banyak yang berminat menjadi dosen, di sana ia harus antre. Salah satu sahabatnya yang menjadi dosen di Trisakti lalu mengusulkan untuk mencoba peruntungan melamar di Universitas International Batam (UIB) yang baru saja buka dan memerlukan banyak dosen.
"Saya belum pernah ke Batam, waktu itu saya pikir coba-coba saja kalau nanti tidak betah ya balik lagi ke Jakarta. Tapi ternyata dari 2010 saya dan keluarga betah sampai sekarang di sini," katanya sambil tertawa.
Jenjang kariernya dimulai dari dosen, kemudian Kaprodi hingga jadi dekan di UIB. Tahun 2013, kemudian ia pindah ke UPB dan menjadi wakil rektor sampai sekarang. Sampai 2014 ia masih tetap menjadi dosen di UIB sebelum akhirnya ia fokus menumpahkan pemikiran dan waktunya untuk kemajuan UPB yang menurutnya masih sangat memerlukan curahan kontribusinya.
Baginya, masa kecil mempunyai peranan besar bagi pribadinya yang sekarang. Ia mengenang kembali saat-saat masih mengenyam pendidikan di Pontianak. Sejak SD hingga SMA ia tinggal di kampung yang dekat dengan sungai Kapuas. Rumahnya sangat mepet dengan sekolah SD tempat ia dulu bersekolah.
"Tidak hanya di samping, di depan dan di belakang rumah saya juga sekolahan. Tiap hari saya mendengar anak-anak belajar mengeja huruf demi huruf," kata ayah dua putra ini.
Setiap hari, suara anak-anak belajar di kelas masuk ke dalam rumahnya, menyelinap ke dalam kamarnya. Saat istirahat, ia malah sering pulang ke rumahnya lewat jalan tikus dan kembali ke sekolah saat kelas akan dimulai. Suara berisik itu ternyata lama-lama memengaruhi psikologisnya. Ia jadi merasa jika suara sekolahan yang ramai itu menjadi rumahnya.
"Lama-lama saya dan kedua adik saya menjadi nyaman dengan kondisi itu, kami tak pernah mengeluh. Malah rindu untuk selalu berada di sekolah. Saya juga senang dengan guru-guru dan saya jadi senang belajar," katanya.
Orangtuanya tak pernah menyebutkan alasan mengapa mereka tinggal di samping sekolah. Padahal, bisa saja mereka tinggal di tempat lain. Setelah bertahun-tahun Gita menyadari bahwa ayahnya yang seorang dosen itu mencoba untuk menumbuhkan pola pikir kepada anak-anaknya, bahwa sekolah itu bukanlah beban. Belajar adalah hal yang menyenangkan.
Mengikuti jejak orangtuanya, sekarang ia tinggal di Perum Batam Nirwana Residence Tiban yang juga berdekatan dengan sekolah Ulil Albab tempat putranya menuntut ilmu.
"Sekolah anak saya juga dekat dengan rumah, meski tidak mepet pagarnya seperti rumah saya di Pontianak dulu, tapi tetap saja rumah saya kelihatan dari sekolah," ujar laki-laki yang setiap Sabtu-Minggu menjadi dosen di Singapura ini.
Meskipun anaknya mendapatkan kesempatan untuk mengecap pendidikan yang mahal dan bertaraf internasional, ia lebih memilih memasukkan anaknya ke sekolah sederhana. Yang penting, anaknya bahagia dan tidak stres dengan tuntutan kurikulum yang kompleks.
"Saya selalu kasih kepercayaan kepada anak-anak. Tidak pernah menekan mereka harus les ini itu. Bagi saya yang penting adalah fondasinya. Saya mau mereka merasa bersekolah itu nyaman sehingga mereka dengan sendirinya akan memacu dirinya untuk berprestasi," ucapnya.
Ia hanya menanamkan kepada anak-anaknya untuk selalu bersyukur dan bertanggung jawab. Suatu hari, anaknya menginginkan sepeda. Gita menanamkan disiplin kepada mereka agar mendapatkan sesuatu setelah berusaha.
"Saya bilang ke mereka sepeda itu tidak gratis, mereka harus membelinya. Tidak dengan uang tapi dengan nilai-nilai mereka yang tidak boleh ada yang di bawah 8," ungkapnya.
Di dinding rumahnya, Gita memberi ruang untuk anak-anaknya saling bersaing menggantungkan sertifikat, ataupun piagam hasil lomba. Sejak kecil anak-anaknya menjadi terbiasa dengan suasana berkompetisi sehingga mereka tanpa sadar saling berpacu untuk terus berprestasi dan menjadi yang terbaik.
"Tidak hanya kami, tapi tamu-tamu yang datang ke rumah juga bisa melihat bentuk apresiasi itu. Di sana ada sertifikat lomba yang macam-macam. Ada pidato bahasa inggris, ada karate, pramuka dan lain-lain," ucap pendiri ESA Consultant ini.
Selain bekerja, berkarier, dan berorganisasi, Vice President Indonesia Marketing Association (IMA) ini juga sering mengikuti berbagai seminar nasional maupun internasional. Tidak hanya sebagai peserta, tapi ia sering menjadi narasumber. Apalagi seminar mengenai ekonomi dan kepemudaan. Mengenai topik kepemudaan, Gita mengaku memang memiliki porsi tersendiri dalam kesehariannya.
"Dalam kehidupan saya, di kampus terutama saya dikelilingi anak-anak muda. Melihat realita anak muda yang memandang hidup dengan kegalauan membuat saya bertekad untuk mencurahkan perhatian dan pemikiran saya bagi mereka," katanya.
Menurutnya, tantangan global, godaan narkoba, dan pergaulan bebas di kalangan anak muda sangat merisaukan. Belum lagi bobot kenakalan remaja saat ini makin membahayakan.
Maka, ia kerap menjadi narasumber dalam dialog bersama anak-anak muda, serta memberikan pelatihan kepada anak-anak muda. Toh pendidikan tidak hanya bisa diberikan dalam bentuk formal tapi juga di sisi informal.
"Saya punya utang banyak pada republik ini. Saya lahir dibesarkan dan mengecap banyak pendidikan di Indonesia. Saya tidak punya uang banyak untuk bikin jembatan di daerah terpencil, bikin dam ataupun membantu petani memiliki sawah. Sebagai akademisi inilah yang bisa saya lakukan dengan membina generasi yang akan meneruskan kehidupan di masa depan," pungkasnya.
(zik)