Ezra Margareth Pelealu, Dipaksa Ortu Jadi Dokter
A
A
A
BATAM - Rambut sebahunya tertata rapi. Kacamata menghiasi wajahnya yang diberi sapuan make up tipis. Langkahnya tegas namun anggun. Jas putih khas profesi dokter dikenakannya. Senyum ramahnya mengembang.
Wanita yang memiliki nama lengkap Ezra Margareth Pelealu itu masuk ke ruangan karantina, tempat pasien melakukan konsultasi dengannya ataupun dengan dokter lain yang bertugas di sebuah klinik kecantikan di Kota Batam, Kepulauan Riau.
"Sudah lama menunggu?" tanyanya saat ditemui KORAN SINDO BATAM.
Di awal perbincangan, Ezra mengaku tak pernah berniat menjadi dokter. Seusai SMA, cita-citanya waktu itu adalah menjadi pembaca berita di televisi. Ia ingin terlihat anggun dan cerdas seperti idolanya, Rosiana Silalahi, salah satu anchor kenamaan di Indonesia.
Wanita kelahiran Makassar, 20 Maret 1986 ini adalah keturunan Manado yang sering pindah tempat tinggal karena papanya merupakan polisi yang sering dipindahtugaskan ke beberapa tempat. Saat lulus SD, ia kemudian melanjutkan sekolah di salah satu SMP yang ada di Manado. Begitu pun masa SMA, dihabiskannya di sana.
"Usai SMA saya tidak langsung tes di Fakultas Kedokteran tapi malah janjian dengan tante saya di Surabaya untuk tes di Universitas Petra dan Universitas Surabaya (Ubaya). Tapi karena ketahuan orangtua, nggak jadi kuliah di sana," katanya sambil tertawa.
Pilihan menjadi dokter memang awalnya dipaksa oleh orangtuanya. Ia sendiri tidak minat untuk mengambil pendidikan kedokteran. Suatu hari papanya sakit dan ada kejadian yang membuatnya akhirnya memutuskan untuk menjadi dokter seperti keinginan orangtuanya. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.
Awal kuliah, Ezra bergabung di salah satu modelling agency yang ada di Manado. Untuk menjadi model tentu saja diperlukan perawatan tubuh yang baik juga kecantikan yang terpancar sehingga ketika membawakan karya desainer berjalan di atas panggung, karya tersebut terkesan hidup.
Selama menjadi model, ia pernah menjadi finalis Puteri Indonesia pada tahun 2007. Ia mewakili Manado, sampai ke panggung grand final di Jakarta. "Sayangnya saya tidak terpilih menjadi Puteri Indonesia, tapi bisa sampai ke grand final itu sudah menjadi sesuatu yang membanggakan," kata anak pertama dari tiga bersaudara ini.
Selain ikut ajang Puteri Indonesia, Ezra juga sempat ikut tim kesenian Sulawesi dan terpilih menjadi duta wisata daerahnya selama tiga tahun. Ia mendapatkan kesempatan keliling dunia, salah satunya ke Eropa. Selama menjadi duta daerah, ia belajar banyak tarian daerah. Ia kini menguasai tujuh tarian daerah, salah satunya tari maengket.
"Senang bisa ke mana-mana memperkenalkan kesenian dan tempat wisata kami, sayangnya kuliah saya sempat keteteran waktu itu," kenangnya.
Melihat aktivitasnya selepas SMA dan awal kuliah, tak heran jika menjadi dokter kecantikan sudah menjadi passionnya sejak awal. Apalagi, saat ia koas (dokter muda) di salah satu rumah sakit di Manado, ia menjadi bersemangat untuk memilih estetika menjadi spesialiasi yang akan diambilnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan kedokteran, ia sempat beberapa kali pindah daerah tugas. Pengalaman paling berkesan, menurutnya, saat ia dikontrak dinas kesehatan daerah bertugas menjadi dokter umum di Pulau Yaba Halmahera Selatan.
"Puskesmas tempat saya bertugas berada di daerah terpencil. Tidak ada listrik, tidak ada sinyal telepon. Hanya suara jangkrik yang terdengar tiap malam, speed boat yang menghubungkan daerah lain juga hanya lewat sekali sehari," katanya.
Seminggu pertama bertugas, ia merasa stres. Ia sempat menangis dan ingin pulang ke Manado saja. Tapi, lama-lama ia malah merasa betah melihat kearifan lokal yang ada di sana.
Anak-anak di sana juga banyak yang masih buta huruf, karena jarak sekolah paling dekat ada di Pulau Bacan, pulau seberang Yaba. Sementara, akses ke sana hanya menggunakan speed boat yang sehari hanya ada sekali. Sehingga, selain melayani pengobatan gratis di puskesmas di sela waktu luang ia mengajari anak-anak di sana baca tulis.
"Saya bersyukur pernah berada di sana. Saya jadi sadar di dunia ini banyak orang yang tak seberuntung saya yang begitu lahir langsung bisa melihat dan naik mobil," ujarnya.
Di Pulau Yaba, tidak ada satu pun yang memiliki sumur, sehingga untuk mandi mereka ke laut dan menampung air hujan untuk minum, sesekali mereka mengambil air dari rumah dinasnya. Untuk menyalakan api saja, kata Ezra, di sana masyarakatnya masih banyak yang menggunakan cara lama dengan menggosokkan batu.
Suatu hari ia sampai pernah bisulan karena cuma makan mi instan dan telur.
"Setelah setahun saya di sana, orangtua saya barulah menjenguk daerah tempat saya tugas. Mereka hanya menepuk pundak saya untuk menegarkan saya," kenangnya.
Selesai kontrak tugas di Pulau Yaba, Ezra kemudian melanjutkan keinginannya untuk konsen di bidang kecantikan. Tahun 2014, ia mengikuti kursus estetika di Surabaya.
Hampir setahun menjalani kursus, ia kemudian mendapatkan tawaran untuk memilih tempat kerja menjadi dokter kecantikan. Iseng saja ia memilih Batam sebagai tempat tugasnya.
"Saat saya sampai di sini saya baru sadar jika ternyata Batam itu jauh sekali dari Manado, untuk bolak-balik ke sana mahal di ongkos," kata wanita yang terpaksa menjalani LDR dengan suaminya seusai menikah ini.
Kendati suaminya bukan dokter, Ezra mengaku mendapat dukungan penuh dari suaminya untuk menjalani profesinya. Wanita yang pindah ke Batam sejak 12 April 2015 ini mengaku senang bisa konsen di bidang estetika. Sebab, klinik estetika kini menjadi kebutuhan sehari-hari di masyarkat.
"Tren kecantikan telah berevolusi. Jika dulu yang sering ke dokter kecantikan itu hanya kaum ibu-ibu menengah ke atas, sekarang, mahasiswa, pelajar dan kaum laki-laki juga sudah ramai datang untuk perawatan," paparnya.
Semua wanita, menurut Ezra, pada dasarnya cantik. Tinggal kesadaran dirinya untuk merawat kecantikan itu. Menjadi konsultan estetika membuatnya merasakan kepuasan tersendiri saat mendengar pasiennya senang dengan perubahan dirinya.
"Misalnya ada pasien yang sudah pede jalan ke mal atau hangout dengan teman-temannya karena jerawatnya sudah sembuh," pungkasnya.
Wanita yang memiliki nama lengkap Ezra Margareth Pelealu itu masuk ke ruangan karantina, tempat pasien melakukan konsultasi dengannya ataupun dengan dokter lain yang bertugas di sebuah klinik kecantikan di Kota Batam, Kepulauan Riau.
"Sudah lama menunggu?" tanyanya saat ditemui KORAN SINDO BATAM.
Di awal perbincangan, Ezra mengaku tak pernah berniat menjadi dokter. Seusai SMA, cita-citanya waktu itu adalah menjadi pembaca berita di televisi. Ia ingin terlihat anggun dan cerdas seperti idolanya, Rosiana Silalahi, salah satu anchor kenamaan di Indonesia.
Wanita kelahiran Makassar, 20 Maret 1986 ini adalah keturunan Manado yang sering pindah tempat tinggal karena papanya merupakan polisi yang sering dipindahtugaskan ke beberapa tempat. Saat lulus SD, ia kemudian melanjutkan sekolah di salah satu SMP yang ada di Manado. Begitu pun masa SMA, dihabiskannya di sana.
"Usai SMA saya tidak langsung tes di Fakultas Kedokteran tapi malah janjian dengan tante saya di Surabaya untuk tes di Universitas Petra dan Universitas Surabaya (Ubaya). Tapi karena ketahuan orangtua, nggak jadi kuliah di sana," katanya sambil tertawa.
Pilihan menjadi dokter memang awalnya dipaksa oleh orangtuanya. Ia sendiri tidak minat untuk mengambil pendidikan kedokteran. Suatu hari papanya sakit dan ada kejadian yang membuatnya akhirnya memutuskan untuk menjadi dokter seperti keinginan orangtuanya. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.
Awal kuliah, Ezra bergabung di salah satu modelling agency yang ada di Manado. Untuk menjadi model tentu saja diperlukan perawatan tubuh yang baik juga kecantikan yang terpancar sehingga ketika membawakan karya desainer berjalan di atas panggung, karya tersebut terkesan hidup.
Selama menjadi model, ia pernah menjadi finalis Puteri Indonesia pada tahun 2007. Ia mewakili Manado, sampai ke panggung grand final di Jakarta. "Sayangnya saya tidak terpilih menjadi Puteri Indonesia, tapi bisa sampai ke grand final itu sudah menjadi sesuatu yang membanggakan," kata anak pertama dari tiga bersaudara ini.
Selain ikut ajang Puteri Indonesia, Ezra juga sempat ikut tim kesenian Sulawesi dan terpilih menjadi duta wisata daerahnya selama tiga tahun. Ia mendapatkan kesempatan keliling dunia, salah satunya ke Eropa. Selama menjadi duta daerah, ia belajar banyak tarian daerah. Ia kini menguasai tujuh tarian daerah, salah satunya tari maengket.
"Senang bisa ke mana-mana memperkenalkan kesenian dan tempat wisata kami, sayangnya kuliah saya sempat keteteran waktu itu," kenangnya.
Melihat aktivitasnya selepas SMA dan awal kuliah, tak heran jika menjadi dokter kecantikan sudah menjadi passionnya sejak awal. Apalagi, saat ia koas (dokter muda) di salah satu rumah sakit di Manado, ia menjadi bersemangat untuk memilih estetika menjadi spesialiasi yang akan diambilnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan kedokteran, ia sempat beberapa kali pindah daerah tugas. Pengalaman paling berkesan, menurutnya, saat ia dikontrak dinas kesehatan daerah bertugas menjadi dokter umum di Pulau Yaba Halmahera Selatan.
"Puskesmas tempat saya bertugas berada di daerah terpencil. Tidak ada listrik, tidak ada sinyal telepon. Hanya suara jangkrik yang terdengar tiap malam, speed boat yang menghubungkan daerah lain juga hanya lewat sekali sehari," katanya.
Seminggu pertama bertugas, ia merasa stres. Ia sempat menangis dan ingin pulang ke Manado saja. Tapi, lama-lama ia malah merasa betah melihat kearifan lokal yang ada di sana.
Anak-anak di sana juga banyak yang masih buta huruf, karena jarak sekolah paling dekat ada di Pulau Bacan, pulau seberang Yaba. Sementara, akses ke sana hanya menggunakan speed boat yang sehari hanya ada sekali. Sehingga, selain melayani pengobatan gratis di puskesmas di sela waktu luang ia mengajari anak-anak di sana baca tulis.
"Saya bersyukur pernah berada di sana. Saya jadi sadar di dunia ini banyak orang yang tak seberuntung saya yang begitu lahir langsung bisa melihat dan naik mobil," ujarnya.
Di Pulau Yaba, tidak ada satu pun yang memiliki sumur, sehingga untuk mandi mereka ke laut dan menampung air hujan untuk minum, sesekali mereka mengambil air dari rumah dinasnya. Untuk menyalakan api saja, kata Ezra, di sana masyarakatnya masih banyak yang menggunakan cara lama dengan menggosokkan batu.
Suatu hari ia sampai pernah bisulan karena cuma makan mi instan dan telur.
"Setelah setahun saya di sana, orangtua saya barulah menjenguk daerah tempat saya tugas. Mereka hanya menepuk pundak saya untuk menegarkan saya," kenangnya.
Selesai kontrak tugas di Pulau Yaba, Ezra kemudian melanjutkan keinginannya untuk konsen di bidang kecantikan. Tahun 2014, ia mengikuti kursus estetika di Surabaya.
Hampir setahun menjalani kursus, ia kemudian mendapatkan tawaran untuk memilih tempat kerja menjadi dokter kecantikan. Iseng saja ia memilih Batam sebagai tempat tugasnya.
"Saat saya sampai di sini saya baru sadar jika ternyata Batam itu jauh sekali dari Manado, untuk bolak-balik ke sana mahal di ongkos," kata wanita yang terpaksa menjalani LDR dengan suaminya seusai menikah ini.
Kendati suaminya bukan dokter, Ezra mengaku mendapat dukungan penuh dari suaminya untuk menjalani profesinya. Wanita yang pindah ke Batam sejak 12 April 2015 ini mengaku senang bisa konsen di bidang estetika. Sebab, klinik estetika kini menjadi kebutuhan sehari-hari di masyarkat.
"Tren kecantikan telah berevolusi. Jika dulu yang sering ke dokter kecantikan itu hanya kaum ibu-ibu menengah ke atas, sekarang, mahasiswa, pelajar dan kaum laki-laki juga sudah ramai datang untuk perawatan," paparnya.
Semua wanita, menurut Ezra, pada dasarnya cantik. Tinggal kesadaran dirinya untuk merawat kecantikan itu. Menjadi konsultan estetika membuatnya merasakan kepuasan tersendiri saat mendengar pasiennya senang dengan perubahan dirinya.
"Misalnya ada pasien yang sudah pede jalan ke mal atau hangout dengan teman-temannya karena jerawatnya sudah sembuh," pungkasnya.
(zik)