Tentukan Beban Maksimal Siswa, agar Tak Mengganggu Kesehatan
A
A
A
SEMARANG - Tas sekolah merupakan salah satu benda yang wajib dibawa oleh anak-anak sekolah. Bukan hanya buku pelajaran yang masuk, tas sekolah juga dimanfaatkan untuk membawa barang-barang lainnya.
Namun, siswa dan orang tua kadang tak menyadari dengan membawa beban berlebih, anak-anak bisa menderita dislokasi tulang, selain masalah pegal-pegal dan kelelahan. Kondisi ini menggerakkan Rafi Yudha Hidayat, siswa kelas 5 SD Al- Azhar 29, membuat alat detektor berat tas sekolah atau bag over weightcensor. Alasannya, agar beban yang ada pada tas sekolah dapat diketahui batas maksimalnya.
Alat temuannya itu kini tengah diikutkan pada proses pematenan oleh pihak Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) setelah berhasil menjuarai inovasi siswa tingkat nasional. Penelitian untuk membuat alat tersebut, tak selalu berlangsung mulus. Pada uji coba penelitian pertama, dia menggunakan dua sistem pegas yang ditempatkan pada tali tas. Namun dengan sistem tersebut, tali punggung sulit diatur hingga penelitiannya menemui kegagalan.
"Kemudian untuk percobaan selanjutnya, memakai kontrol pemberat yang diatur melalui mikro kontroler di bawah tas. Tapi, dari hasil yang diperoleh akurasinya kurang," katanya. Sistem kerja alat tersebut memberikan peringatan atau semacam alarm bagi penggunanya. Dia menggunakan patokan dari The American Ocopotional Teraphy Asosiation bahwa membawa tas itu beratnya maksimal 10% dari berat badan.
Pembuatan alat temuannya itu tergolong sederhana. Pada neraca pegas, diberikan lubang pada bagian atas sesuai nomor penunjuk berat, kemudian di ujung jarum penunjuk dipasangi logam. Kemudian rangkai kabel positif dari rangkaian sirene. Setelah itu, rangkai logam satunya (lempengan konduktor) ke kabel negatif dari sirene. “Logam akan bergerak sesuai beban pada tas kita.
Kita perlu meletakkan logam, sesuai perhitungan 10% berat tubuh kita. Jika beban melebihi 10% maka logam A dan logam B (positif dan negatif) akan bersentuhan dan tertahan yang akan menghasilkan bunyi peringatan,” paparnya. Khusus untuk alarm yang dipasang pada alat itu berasal dari alarm biasa yang dimodifikasi sedemikian rupa.
Proses pembuatannya tidak membutuhkan waktu yang lama yakni hanya seminggu. Lamanya waktu pengerjaan justru terletak pada modifikasi tas tersebut sehingga dapat dipasangi dengan alat detektor itu. “Misalnya gini, berat badan saya 40 kg sedangkan setiap hari ternyata saya membawa lebih dari 15 kg yang isinya buku, bekal, dan pakaian ganti. Kalau dibiarkan terus bisa terjadi ketegangan otot, dislokasi tulang (keseleo).
Dengan alat ini, saya bisa tahu beban dari tas yang saya bawa,” ucapnya. Guru pembimbing Rafi, Titan Ajiyana, mengatakan temuan dari Rafi tersebut dapat diaplikasikan dan digunakan oleh banyak siswa mengingat beban pelajaran siswa yang besar setiap hari menuntut mereka membawa peranti belajar yang lengkap pula.
Pada perlombaan inovasi siswa tingkat nasional tahun lalu, pihak sekolahnya juga berhasil menyabet juara. “Karya yang menang tahun lalu yaitu inkubator pupa (untuk mempertinggi persentase pupa menetas), berikutnya sajadah detektor salat,” ungkapnya.
Susilo Himawan
Namun, siswa dan orang tua kadang tak menyadari dengan membawa beban berlebih, anak-anak bisa menderita dislokasi tulang, selain masalah pegal-pegal dan kelelahan. Kondisi ini menggerakkan Rafi Yudha Hidayat, siswa kelas 5 SD Al- Azhar 29, membuat alat detektor berat tas sekolah atau bag over weightcensor. Alasannya, agar beban yang ada pada tas sekolah dapat diketahui batas maksimalnya.
Alat temuannya itu kini tengah diikutkan pada proses pematenan oleh pihak Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) setelah berhasil menjuarai inovasi siswa tingkat nasional. Penelitian untuk membuat alat tersebut, tak selalu berlangsung mulus. Pada uji coba penelitian pertama, dia menggunakan dua sistem pegas yang ditempatkan pada tali tas. Namun dengan sistem tersebut, tali punggung sulit diatur hingga penelitiannya menemui kegagalan.
"Kemudian untuk percobaan selanjutnya, memakai kontrol pemberat yang diatur melalui mikro kontroler di bawah tas. Tapi, dari hasil yang diperoleh akurasinya kurang," katanya. Sistem kerja alat tersebut memberikan peringatan atau semacam alarm bagi penggunanya. Dia menggunakan patokan dari The American Ocopotional Teraphy Asosiation bahwa membawa tas itu beratnya maksimal 10% dari berat badan.
Pembuatan alat temuannya itu tergolong sederhana. Pada neraca pegas, diberikan lubang pada bagian atas sesuai nomor penunjuk berat, kemudian di ujung jarum penunjuk dipasangi logam. Kemudian rangkai kabel positif dari rangkaian sirene. Setelah itu, rangkai logam satunya (lempengan konduktor) ke kabel negatif dari sirene. “Logam akan bergerak sesuai beban pada tas kita.
Kita perlu meletakkan logam, sesuai perhitungan 10% berat tubuh kita. Jika beban melebihi 10% maka logam A dan logam B (positif dan negatif) akan bersentuhan dan tertahan yang akan menghasilkan bunyi peringatan,” paparnya. Khusus untuk alarm yang dipasang pada alat itu berasal dari alarm biasa yang dimodifikasi sedemikian rupa.
Proses pembuatannya tidak membutuhkan waktu yang lama yakni hanya seminggu. Lamanya waktu pengerjaan justru terletak pada modifikasi tas tersebut sehingga dapat dipasangi dengan alat detektor itu. “Misalnya gini, berat badan saya 40 kg sedangkan setiap hari ternyata saya membawa lebih dari 15 kg yang isinya buku, bekal, dan pakaian ganti. Kalau dibiarkan terus bisa terjadi ketegangan otot, dislokasi tulang (keseleo).
Dengan alat ini, saya bisa tahu beban dari tas yang saya bawa,” ucapnya. Guru pembimbing Rafi, Titan Ajiyana, mengatakan temuan dari Rafi tersebut dapat diaplikasikan dan digunakan oleh banyak siswa mengingat beban pelajaran siswa yang besar setiap hari menuntut mereka membawa peranti belajar yang lengkap pula.
Pada perlombaan inovasi siswa tingkat nasional tahun lalu, pihak sekolahnya juga berhasil menyabet juara. “Karya yang menang tahun lalu yaitu inkubator pupa (untuk mempertinggi persentase pupa menetas), berikutnya sajadah detektor salat,” ungkapnya.
Susilo Himawan
(ftr)