Gelombang PHK di Semarang Membesar
A
A
A
SEMARANG - Sebanyak dua perusahaan di Kota Semarang menyatakan akan melakukan efisiensi akibat terpukul melemahnya nilai tukar rupiah.
Dua perusahaan tersebut sebelumnya sudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sejumlah tenaga kerjanya. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Semarang Edy Riyanto menyampaikan dua perusahaan tersebut bergerak dalam bidang transportasi di KecamatanTugu dan perusahaan garmen di kawasan industri KecamatanGenuk.
“ Kedua perusahaan tersebut, secara tertulis juga melaporkan telah melakukan PHK terhadap karyawannya. Perusahaan transportasi mem- PHK lima orang dan perusahaan garmen mem-PHK tiga orang,” ungkapnya kemarin. Kedua perusahaan tersebut menyatakan tidak akan melakukan PHK sebagai bagian dari efisiensi.
Meski demikian, dikhawatirkan perusahaan itu akan kembali melakukan PHK secara besar-besaran jika nilai tukar rupiah terus memburuk. Edy menerangkan, pihaknya telah memberikan pengawasan dan pembinaan kepada dua perusahaan itu. Untuk masalah anjloknya nilai tukar rupiah, pihaknya tidak dapat berbuat banyak karena yang punya kapasitas menangani pemerintah pusat.
Meski demikian, pihaknya telah memberikan peringatan kepada kedua perusahaan. Pihaknya juga telah menerjunkan tim mediator dan pengawas di dua perusahaan itu, setelah sebelumnya ada laporan dari buruh. Ada tiga pe-rusahaan dilaporkan buruh akan melakukan PHK jika nilai rupiah terus merosot.
Dari hasil tim pengawas, hanya dua perusahaan tersebut yang menyatakan sebenarnya hanya akan melakukan efisiennsi. Namun, anjloknya nilai rupiah terhadap dolar secara langsung dan tidak langsung telah berdampak terhadap industri di Semarang. Sedikitnya ada tiga perusahaan yang telah gulung tikar dan eksodus dari Semarang ke luar daerah dengan upah buruh lebih rendah.
Ketiga perusahaan tersebut, yaitu perusahaan Inti Baja di daerah Kecamatan Tugu, per-usahaan ini bangkrut karena kesulitan mendapatkan bahan baku yang harganya mahal. Jumlah tenaga kerja di perusahaan ini mencapai 360 orang. Kemudian, perusahaan mebel di BSB, Kecamatan Ngaliyan dengan 150 karyawan, eksodus ke luar daerah juga karena kesulitan mendapatkan bahan baku kayu jati.
“Terus perusahaan mebel di Pedurungan juga pindah ke luar daerah di Purwodadi karena upah karyawannya di sana lebih rendah daripada Semarang, tapi buruh tidak mau ikut pindah,” ungkapnya.
Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kota Semarang saat menggelar demo di Balai Kota Semarang belum lama ini telah menyatakan sudah ada tiga perusahaan di kawasan industri Kaligawe, Gatot Soebroto, dan Wijaya Kusuma yang memberitahukan akan melakukan PHK besarbesaran. “Bahkan, di Jawa Tengah hingga bulan ini telah terjadi PHK sebanyak 2.000 karyawan di sektor garmen,” kata Muqron al Maliki, koordinator aksi sekaligus Ketua FSPMI Kota Semarang.
Pengamat Ekonomi Universitas Soegijapranata (Unika) Semarang Andreas Lako menilai perlambatan ekonomi di Jawa Tengah tidak lepas dari melemahnya sektor pertanian dalam dua tahun terakhir. Sejak 2013 hingga sekarang sektor pertanian di Jateng terus mengalami penurunan.
Padahal sektor pertanian merupakan lokomotif perekonomian karena menyerap 40% tenaga kerja. “Tahun 2012 pertumbuhan ekonomi di Jateng mencapai 6,3%, dan sektor pertanian memberikan kontribusi positif sekitar 4%,” ucapnya.
Saat ini sektor pertanian belum tergarap dengan baik, terbukti dalam dua tahun terakhir sektor pertanian di Jawa Tengah mengalami kemerosotan, yang ikut berdampak melambatnya perekonomian di provinsi ini.
“Pemerintahan yang lalu (Gubernur Bibit Waluyo) benar- benar memaksimalkan sektor pertanian dengan turun langsung ke sawah, memberikan semangat kepada para petani, sehingga sektor ini sangat maksimal. Kalau sekarang sektor pertanian sedikit dilupakan,” ungkap Andreas.
Selain sektor pertanian, Andreas menilai melambatnya perekonomian di Jateng juga tidak lepas dari minimnya penyerapan anggaran pemerintah. “Pertumbuhan ekonomi dibentuk oleh tiga hal, yakni konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah. Selama ini tiga hal ini kurang berjalan dengan maksimal,” ungkapnya.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk kembali menggairahkan perekonomian di Jateng. Di antaranya adalah pemerintah harus kembali membangun sektor pertanian, pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan, karena dengan kondisi ekonomi saat ini ancaman pengangguran semakin tinggi.
Hal lain yang bisa dilakukan, pemerintah perlu terobosan dan segera mendorong penyerapan anggaran yang selama ini masih berada di kas daerah.
M abduh/ Andik sismanto
Dua perusahaan tersebut sebelumnya sudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sejumlah tenaga kerjanya. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kota Semarang Edy Riyanto menyampaikan dua perusahaan tersebut bergerak dalam bidang transportasi di KecamatanTugu dan perusahaan garmen di kawasan industri KecamatanGenuk.
“ Kedua perusahaan tersebut, secara tertulis juga melaporkan telah melakukan PHK terhadap karyawannya. Perusahaan transportasi mem- PHK lima orang dan perusahaan garmen mem-PHK tiga orang,” ungkapnya kemarin. Kedua perusahaan tersebut menyatakan tidak akan melakukan PHK sebagai bagian dari efisiensi.
Meski demikian, dikhawatirkan perusahaan itu akan kembali melakukan PHK secara besar-besaran jika nilai tukar rupiah terus memburuk. Edy menerangkan, pihaknya telah memberikan pengawasan dan pembinaan kepada dua perusahaan itu. Untuk masalah anjloknya nilai tukar rupiah, pihaknya tidak dapat berbuat banyak karena yang punya kapasitas menangani pemerintah pusat.
Meski demikian, pihaknya telah memberikan peringatan kepada kedua perusahaan. Pihaknya juga telah menerjunkan tim mediator dan pengawas di dua perusahaan itu, setelah sebelumnya ada laporan dari buruh. Ada tiga pe-rusahaan dilaporkan buruh akan melakukan PHK jika nilai rupiah terus merosot.
Dari hasil tim pengawas, hanya dua perusahaan tersebut yang menyatakan sebenarnya hanya akan melakukan efisiennsi. Namun, anjloknya nilai rupiah terhadap dolar secara langsung dan tidak langsung telah berdampak terhadap industri di Semarang. Sedikitnya ada tiga perusahaan yang telah gulung tikar dan eksodus dari Semarang ke luar daerah dengan upah buruh lebih rendah.
Ketiga perusahaan tersebut, yaitu perusahaan Inti Baja di daerah Kecamatan Tugu, per-usahaan ini bangkrut karena kesulitan mendapatkan bahan baku yang harganya mahal. Jumlah tenaga kerja di perusahaan ini mencapai 360 orang. Kemudian, perusahaan mebel di BSB, Kecamatan Ngaliyan dengan 150 karyawan, eksodus ke luar daerah juga karena kesulitan mendapatkan bahan baku kayu jati.
“Terus perusahaan mebel di Pedurungan juga pindah ke luar daerah di Purwodadi karena upah karyawannya di sana lebih rendah daripada Semarang, tapi buruh tidak mau ikut pindah,” ungkapnya.
Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kota Semarang saat menggelar demo di Balai Kota Semarang belum lama ini telah menyatakan sudah ada tiga perusahaan di kawasan industri Kaligawe, Gatot Soebroto, dan Wijaya Kusuma yang memberitahukan akan melakukan PHK besarbesaran. “Bahkan, di Jawa Tengah hingga bulan ini telah terjadi PHK sebanyak 2.000 karyawan di sektor garmen,” kata Muqron al Maliki, koordinator aksi sekaligus Ketua FSPMI Kota Semarang.
Pengamat Ekonomi Universitas Soegijapranata (Unika) Semarang Andreas Lako menilai perlambatan ekonomi di Jawa Tengah tidak lepas dari melemahnya sektor pertanian dalam dua tahun terakhir. Sejak 2013 hingga sekarang sektor pertanian di Jateng terus mengalami penurunan.
Padahal sektor pertanian merupakan lokomotif perekonomian karena menyerap 40% tenaga kerja. “Tahun 2012 pertumbuhan ekonomi di Jateng mencapai 6,3%, dan sektor pertanian memberikan kontribusi positif sekitar 4%,” ucapnya.
Saat ini sektor pertanian belum tergarap dengan baik, terbukti dalam dua tahun terakhir sektor pertanian di Jawa Tengah mengalami kemerosotan, yang ikut berdampak melambatnya perekonomian di provinsi ini.
“Pemerintahan yang lalu (Gubernur Bibit Waluyo) benar- benar memaksimalkan sektor pertanian dengan turun langsung ke sawah, memberikan semangat kepada para petani, sehingga sektor ini sangat maksimal. Kalau sekarang sektor pertanian sedikit dilupakan,” ungkap Andreas.
Selain sektor pertanian, Andreas menilai melambatnya perekonomian di Jateng juga tidak lepas dari minimnya penyerapan anggaran pemerintah. “Pertumbuhan ekonomi dibentuk oleh tiga hal, yakni konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah. Selama ini tiga hal ini kurang berjalan dengan maksimal,” ungkapnya.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk kembali menggairahkan perekonomian di Jateng. Di antaranya adalah pemerintah harus kembali membangun sektor pertanian, pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan, karena dengan kondisi ekonomi saat ini ancaman pengangguran semakin tinggi.
Hal lain yang bisa dilakukan, pemerintah perlu terobosan dan segera mendorong penyerapan anggaran yang selama ini masih berada di kas daerah.
M abduh/ Andik sismanto
(ftr)