Umat Khonghucu Gelar Sembahyang King Hoo Ping
A
A
A
SOLO - Puluhan umat Konghucu di Kota Solo menggelar Sembahyang King Hoo Ping kemarin.
Dalam prosesi upacara yang digelar di halaman Kelenteng Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), mereka memanjatkan doa untuk para leluhur. Upacara yang dipimpin Rohaniwan Khonghucu Adjie Candra dimulai sekitar pukul 10.30 WIB. Berbagai sesaji diletakkan di altar, seperti daging, nasi, jajanan pasar, dan buah-buahan.
Tak jauh dari sesaji ditancapkan bendera kertas bertuliskan nama-nama para leluhur yang telah meninggal dunia. Sebuah replika perahu berhias kertas warna-warni juga diletakkan di halaman Lithang atau tempat ibadah umat Khonghucu di Jalan Yap Tjwan Bing atau Jalan Jagalan.
“Selama upacara King Hoo Ping, umat Khonghucu bersembahyang serta memberikan sesaji makan dan minum kepada para leluhur. Ini bermakna untuk mengenang dan memperlakukan mereka seperti saat masih hidup,” ungkap Adjie Candra, rohaniwan yang memimpin upacara, kemarin.
Sembahyang King Hoo Ping ini digelar setiap tanggal 15 bulan ketujuh penanggalan Imlek. Sesuai kepercayaan Khonghucu, saat itu pintu akhirat dibuka sehingga para arwah diberi kesempatan untuk turun ke bumi dan menengok kerabatnya. Pada akhir prosesi sembahyang, replika kapal dibakar di depan kelenteng.
Kapal merupakan lambang transportasi yang bisa mengantarkan para leluhur ke tempatnya. Antusiasme umat menitipkan nama-nama leluhur terus meningkat dari tahun ke tahun. Kali ini terdapat sekitar 400 kertas berisi nama-nama yang terkumpul dari para umat.
Sembahyang untuk para leluhur bagi umat Khonghucu digelar tiga kali dalam setahun. Pertama, saat menjelang malam tahun baru Imlek, kemudian sembahyang Ching Bing yang jatuh pada 15 April, serta pertengahan atau tanggal 15 bulan tujuh Imlek.
Ary wahyu wibowo
Dalam prosesi upacara yang digelar di halaman Kelenteng Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), mereka memanjatkan doa untuk para leluhur. Upacara yang dipimpin Rohaniwan Khonghucu Adjie Candra dimulai sekitar pukul 10.30 WIB. Berbagai sesaji diletakkan di altar, seperti daging, nasi, jajanan pasar, dan buah-buahan.
Tak jauh dari sesaji ditancapkan bendera kertas bertuliskan nama-nama para leluhur yang telah meninggal dunia. Sebuah replika perahu berhias kertas warna-warni juga diletakkan di halaman Lithang atau tempat ibadah umat Khonghucu di Jalan Yap Tjwan Bing atau Jalan Jagalan.
“Selama upacara King Hoo Ping, umat Khonghucu bersembahyang serta memberikan sesaji makan dan minum kepada para leluhur. Ini bermakna untuk mengenang dan memperlakukan mereka seperti saat masih hidup,” ungkap Adjie Candra, rohaniwan yang memimpin upacara, kemarin.
Sembahyang King Hoo Ping ini digelar setiap tanggal 15 bulan ketujuh penanggalan Imlek. Sesuai kepercayaan Khonghucu, saat itu pintu akhirat dibuka sehingga para arwah diberi kesempatan untuk turun ke bumi dan menengok kerabatnya. Pada akhir prosesi sembahyang, replika kapal dibakar di depan kelenteng.
Kapal merupakan lambang transportasi yang bisa mengantarkan para leluhur ke tempatnya. Antusiasme umat menitipkan nama-nama leluhur terus meningkat dari tahun ke tahun. Kali ini terdapat sekitar 400 kertas berisi nama-nama yang terkumpul dari para umat.
Sembahyang untuk para leluhur bagi umat Khonghucu digelar tiga kali dalam setahun. Pertama, saat menjelang malam tahun baru Imlek, kemudian sembahyang Ching Bing yang jatuh pada 15 April, serta pertengahan atau tanggal 15 bulan tujuh Imlek.
Ary wahyu wibowo
(ftr)