Kiai Modjo, Panglima Perang yang Dibuang ke Tondano
A
A
A
KIAI Modjo adalah seorang ulama karismatik yang juga penasihat sekaligus panglima perang Pangeran Diponegoro. Berikut kisahnya.
Nama asli Kiai Modjo adalah Muslim Muchamad Khalifah, ada juga yang menulis Muslim Muhammad Halifah. Dia lahir tahun 1764 di Modjo, Jawa Tengah. Ayahnya Imam Abdul Arif, dikenal juga dengan nama Kiai Baderan, merupakan tokoh ulama yang cukup terkenal di Dusun Baderan dan Modjo. Dia memiliki alur keturunan dari Kerajaan Pajang.
Ibunya, RA Mursilah, merupakan saudara perempuan dari Raja Kerajaan Mataram yaitu Hamengku Bowono III. Dengan demikian, Kiai Modjo merupakan kemenakan dari Pangeran Diponegoro. Sebab, ibu Kiai Modjo merupakan saudara sepupu dari Pangeran Diponegoro.
Kiai Modjo dibesarkan di luar keraton. Dia mulai mempelajari agama Islam dengan berguru pada Kiai Syarifuddin di Gading Santren, Klaten. Menginjak dewasa, Kiai Modjo berguru pada salah seorang kiai atau ulama yang berada di Ponorogo. Melalui gurunya inilah, Kiai Modjo juga mulai mempelajari ilmu kanuragan.
Sejak saat itu, Kiai Modjo dikenal masyarakat karena kesaktian yang dimiliki maupun pengetahuannya yang luas tentang Islam. Dia pun diangkat menjadi salah seorang kepercayaan Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI.
Setelah pergi ke Mekkah beberapa lama, Kiai Mojo kembali ke kampung kelahirannya. Setelah ayahnya meninggal, Kiai Modjo mengajar dan memimpin sebuah pesantren peninggalan ayahnya yang berada di Modjo.
Kiai Modjo menikah dengan Raden Ayu Mangubumi, janda cerai dari Pangeran Mangkubumi, paman Pangeran Diponegoro. Karena pernikahan inilah, Kiai Modjo disapa 'paman' oleh Pangeran Diponegoro.
Singkat cerita, setelah mendapat seruan dari Pangeran Diponegoro untuk melawan Belanda (disebut Perang Diponegoro atau Perang Jawa), Kiai Modjo beserta pasukannya bergabung dengan pasukan Diponegoro. Kiai Modjo menjadi panglima perang yang cukup tangguh. Perang Jawa ini berlangsung antara tahun 1825-1830.
Pada tanggal 20 Juli 1825, pertempuran yang kemudian dikenal Perang Jawa ini dimulai. Dengan taktik gerilya, pasukan kolonial sukses dilumpuhkan. Pada tanggal 26 Juli 1825, Belanda mengutus Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Cock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, untuk membawa pasukannya menuju Jawa Tengah.
Pasukan itu sampai di Semarang pada 29 Juli 1825. De Cock lalu mengirim 200 pasukannya di bawah pimpinan Kapten Kumsius. Namun, saat sampai di wilayah Pisangan, pasukan tersebut disergap pasukan Pangeran Diponegoro yang dipimpin Mulya Sentika.
Antara tahun 1825-1826, kemenangan banyak diraih pasukan Pangeran Diponegoro. Setahun setelahnya, pasukan Pangeran Diponegoro menuai hasil sebaliknya. Akibatnya, sejumlah daerah pun kembali dikuasai Belanda.
Tak hanya perang fisik, Belanda juga melancarkan strategi diplomasi untuk menaklukkan Pangeran Diponegoro. Pada 28 Agustus 1827, digelar perundingan di Cirian, Klaten. Belanda mengutus Stavers, sementara Pangeran Diponegoro mengutus Kiai Modjo dan Ngabehi Abdul Rahman. Tapi, perundingan itu gagal total.
Menurut pihak Belanda, Kiai Modjo mengajukan syarat yang berat dipenuhi. Sebaliknya, meski Belanda menawarkan kekuasaan luas, Kiai Modjo menolaknya. Akibatnya, peperangan kembali meletus sebulan kemudian.
10 Oktober 1827, kedua pihak sepakat gencatan senjata dan berunding lagi. Tapi, perundingan kembali gagal. Peperangan pun meletus lagi di sejumlah daerah di Jawa.
Karena mengerahkan kembali pasukan dari negaranya, Belanda memegang kendali. Pada April 1828, satu per satu pasukan Pangeran Diponegoro, termasuk Pangeran Natadiningrat, menyerahkan diri kepada Belanda.
Karena terdesak dan adanya perbedaan pandangan dengan Pangeran Diponegoro tentang tujuan perang melawan Belanda, Kiai Modjo bersedia berunding dengan Belanda pada 31 Oktober 1828.
Belanda sadar bahwa kekuatan Pangeran Diponegoro sangat tergantung pada Kiai Modjo. Sehingga, apabila Kiai Modjo dan pasukannya dapat ditundukkan, akan mudah untuk meringkus Pangeran Diponegoro. Karena itu, ketika Belanda mendengar keinginan Kiai Modjo untuk melakukan negosiasi perdamaian, kesempatan ini tidak disia-siakan. Tapi, perundingan gagal. Begitu pula perundingan 5 November 1828.
Setelah perundingan gagal, Kiai Modjo kembali ke markas. Di perjalanan, Kiai Modjo dan pasukan diserang Belanda. Tapi, Kiai Modjo beserta pasukannya dapat bertahan.
Belanda tak kehabisan akal. Letnan Kolonel Le Bron de Vexela mulai merancang taktik menangkap Kiai Modjo. Dia mengajak Kiai Modjo berunding di Klaten. Tanpa curiga. Kiai Modjo mengiyakan.
Begitu tiba di Klaten pada 12 November 1828, Kiai Modjo langsung diajak ke sebuah gedung. Pasukannya dibiarkan di luar. Kiai Modjo dan pasukannya disergap di Dusun Kembang Arum oleh pasukan Belanda yang jumlahnya jauh lebih besar.
Kiai Modjo dan pasukannya dibawa ke Surakarta, Salatiga, kemudian ditahan di Semarang. Tapi, Belanda masih cukup khawatir dengan pengaruh Kiai Modjo di tanah Jawa. Karena itu, Kiai Modjo dan para pengikutnya yang semuanya laki-laki diasingkan ke Manado, lalu ke Tondano. Pemindahan Kiai Modjo dan para pengikutnya atas pertimbangan Pemerintah Belanda agar Kiai Modjo dan pengikutnya tidak dapat lagi melarikan diri.
Ada yang menyebut rombongan Kiai Modjo yang berjumlah 63 orang tiba di Tondano tahun 1830, tapi di makam Kiai Modjo disebut bahwa kiai karismatik itu tiba di Tondano akhir 1829. Jumlah rombongan Kiai Modjo itu berkurang dari jumlah sebelumnya yang di atas 100 orang, karena di antara mereka ada yang meninggal di perjalanan mengarungi lautan dari Jawa ke Tondano, yang memakan waktu tiga bulan.
Pascapenangkapan Kiai Modjo, istrinya memilih tinggal di Bojonegoro, Keresidenan Rembang. Dia mencoba datang ke keraton, namun ditolak petinggi keraton. Keberadaannya di tanah Jawa masih dianggap berbahaya oleh Belanda, lalu dia diasingkan ke Tondano menyusul suaminya ke Tondano pada tahun 1831. Anaknya, Gazaly dan sejumlah kerabat dekat, juga ikut ke Tondano.
Kecuali Kiai Modjo, semua pengikutnya menikahi perempuan Minahasa asli Tondano dan keturunan mereka mendiami kampung yang saat ini dikenal dengan Kampung Jawa Tondano. Di sana, Kiai Modjo dan pengikutnya mendirikan masjid yang bernama Masjid Al Falah Kiai Modjo.
Pada 20 Desember 1849, Kiai Modjo meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Desa Wulauan, Kecamatan Tolimambot, Minahasa, Sulawesi Utara. Kini, pemakamannya dikenal dengan nama Kompleks Pemakaman Kiai Modjo.
Sumber:
1. Buku Jejak-Jejak Pengasingan Para Tokoh Bangsa, Penulis A Faidi, S.Hum, Penerbit Saufa.
2. kiaimojo.blogspot.com
Nama asli Kiai Modjo adalah Muslim Muchamad Khalifah, ada juga yang menulis Muslim Muhammad Halifah. Dia lahir tahun 1764 di Modjo, Jawa Tengah. Ayahnya Imam Abdul Arif, dikenal juga dengan nama Kiai Baderan, merupakan tokoh ulama yang cukup terkenal di Dusun Baderan dan Modjo. Dia memiliki alur keturunan dari Kerajaan Pajang.
Ibunya, RA Mursilah, merupakan saudara perempuan dari Raja Kerajaan Mataram yaitu Hamengku Bowono III. Dengan demikian, Kiai Modjo merupakan kemenakan dari Pangeran Diponegoro. Sebab, ibu Kiai Modjo merupakan saudara sepupu dari Pangeran Diponegoro.
Kiai Modjo dibesarkan di luar keraton. Dia mulai mempelajari agama Islam dengan berguru pada Kiai Syarifuddin di Gading Santren, Klaten. Menginjak dewasa, Kiai Modjo berguru pada salah seorang kiai atau ulama yang berada di Ponorogo. Melalui gurunya inilah, Kiai Modjo juga mulai mempelajari ilmu kanuragan.
Sejak saat itu, Kiai Modjo dikenal masyarakat karena kesaktian yang dimiliki maupun pengetahuannya yang luas tentang Islam. Dia pun diangkat menjadi salah seorang kepercayaan Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI.
Setelah pergi ke Mekkah beberapa lama, Kiai Mojo kembali ke kampung kelahirannya. Setelah ayahnya meninggal, Kiai Modjo mengajar dan memimpin sebuah pesantren peninggalan ayahnya yang berada di Modjo.
Kiai Modjo menikah dengan Raden Ayu Mangubumi, janda cerai dari Pangeran Mangkubumi, paman Pangeran Diponegoro. Karena pernikahan inilah, Kiai Modjo disapa 'paman' oleh Pangeran Diponegoro.
Singkat cerita, setelah mendapat seruan dari Pangeran Diponegoro untuk melawan Belanda (disebut Perang Diponegoro atau Perang Jawa), Kiai Modjo beserta pasukannya bergabung dengan pasukan Diponegoro. Kiai Modjo menjadi panglima perang yang cukup tangguh. Perang Jawa ini berlangsung antara tahun 1825-1830.
Pada tanggal 20 Juli 1825, pertempuran yang kemudian dikenal Perang Jawa ini dimulai. Dengan taktik gerilya, pasukan kolonial sukses dilumpuhkan. Pada tanggal 26 Juli 1825, Belanda mengutus Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Cock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, untuk membawa pasukannya menuju Jawa Tengah.
Pasukan itu sampai di Semarang pada 29 Juli 1825. De Cock lalu mengirim 200 pasukannya di bawah pimpinan Kapten Kumsius. Namun, saat sampai di wilayah Pisangan, pasukan tersebut disergap pasukan Pangeran Diponegoro yang dipimpin Mulya Sentika.
Antara tahun 1825-1826, kemenangan banyak diraih pasukan Pangeran Diponegoro. Setahun setelahnya, pasukan Pangeran Diponegoro menuai hasil sebaliknya. Akibatnya, sejumlah daerah pun kembali dikuasai Belanda.
Tak hanya perang fisik, Belanda juga melancarkan strategi diplomasi untuk menaklukkan Pangeran Diponegoro. Pada 28 Agustus 1827, digelar perundingan di Cirian, Klaten. Belanda mengutus Stavers, sementara Pangeran Diponegoro mengutus Kiai Modjo dan Ngabehi Abdul Rahman. Tapi, perundingan itu gagal total.
Menurut pihak Belanda, Kiai Modjo mengajukan syarat yang berat dipenuhi. Sebaliknya, meski Belanda menawarkan kekuasaan luas, Kiai Modjo menolaknya. Akibatnya, peperangan kembali meletus sebulan kemudian.
10 Oktober 1827, kedua pihak sepakat gencatan senjata dan berunding lagi. Tapi, perundingan kembali gagal. Peperangan pun meletus lagi di sejumlah daerah di Jawa.
Karena mengerahkan kembali pasukan dari negaranya, Belanda memegang kendali. Pada April 1828, satu per satu pasukan Pangeran Diponegoro, termasuk Pangeran Natadiningrat, menyerahkan diri kepada Belanda.
Karena terdesak dan adanya perbedaan pandangan dengan Pangeran Diponegoro tentang tujuan perang melawan Belanda, Kiai Modjo bersedia berunding dengan Belanda pada 31 Oktober 1828.
Belanda sadar bahwa kekuatan Pangeran Diponegoro sangat tergantung pada Kiai Modjo. Sehingga, apabila Kiai Modjo dan pasukannya dapat ditundukkan, akan mudah untuk meringkus Pangeran Diponegoro. Karena itu, ketika Belanda mendengar keinginan Kiai Modjo untuk melakukan negosiasi perdamaian, kesempatan ini tidak disia-siakan. Tapi, perundingan gagal. Begitu pula perundingan 5 November 1828.
Setelah perundingan gagal, Kiai Modjo kembali ke markas. Di perjalanan, Kiai Modjo dan pasukan diserang Belanda. Tapi, Kiai Modjo beserta pasukannya dapat bertahan.
Belanda tak kehabisan akal. Letnan Kolonel Le Bron de Vexela mulai merancang taktik menangkap Kiai Modjo. Dia mengajak Kiai Modjo berunding di Klaten. Tanpa curiga. Kiai Modjo mengiyakan.
Begitu tiba di Klaten pada 12 November 1828, Kiai Modjo langsung diajak ke sebuah gedung. Pasukannya dibiarkan di luar. Kiai Modjo dan pasukannya disergap di Dusun Kembang Arum oleh pasukan Belanda yang jumlahnya jauh lebih besar.
Kiai Modjo dan pasukannya dibawa ke Surakarta, Salatiga, kemudian ditahan di Semarang. Tapi, Belanda masih cukup khawatir dengan pengaruh Kiai Modjo di tanah Jawa. Karena itu, Kiai Modjo dan para pengikutnya yang semuanya laki-laki diasingkan ke Manado, lalu ke Tondano. Pemindahan Kiai Modjo dan para pengikutnya atas pertimbangan Pemerintah Belanda agar Kiai Modjo dan pengikutnya tidak dapat lagi melarikan diri.
Ada yang menyebut rombongan Kiai Modjo yang berjumlah 63 orang tiba di Tondano tahun 1830, tapi di makam Kiai Modjo disebut bahwa kiai karismatik itu tiba di Tondano akhir 1829. Jumlah rombongan Kiai Modjo itu berkurang dari jumlah sebelumnya yang di atas 100 orang, karena di antara mereka ada yang meninggal di perjalanan mengarungi lautan dari Jawa ke Tondano, yang memakan waktu tiga bulan.
Pascapenangkapan Kiai Modjo, istrinya memilih tinggal di Bojonegoro, Keresidenan Rembang. Dia mencoba datang ke keraton, namun ditolak petinggi keraton. Keberadaannya di tanah Jawa masih dianggap berbahaya oleh Belanda, lalu dia diasingkan ke Tondano menyusul suaminya ke Tondano pada tahun 1831. Anaknya, Gazaly dan sejumlah kerabat dekat, juga ikut ke Tondano.
Kecuali Kiai Modjo, semua pengikutnya menikahi perempuan Minahasa asli Tondano dan keturunan mereka mendiami kampung yang saat ini dikenal dengan Kampung Jawa Tondano. Di sana, Kiai Modjo dan pengikutnya mendirikan masjid yang bernama Masjid Al Falah Kiai Modjo.
Pada 20 Desember 1849, Kiai Modjo meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Desa Wulauan, Kecamatan Tolimambot, Minahasa, Sulawesi Utara. Kini, pemakamannya dikenal dengan nama Kompleks Pemakaman Kiai Modjo.
Sumber:
1. Buku Jejak-Jejak Pengasingan Para Tokoh Bangsa, Penulis A Faidi, S.Hum, Penerbit Saufa.
2. kiaimojo.blogspot.com
(zik)