Gelombang PHK Hantam DIY

Rabu, 02 September 2015 - 08:29 WIB
Gelombang PHK Hantam DIY
Gelombang PHK Hantam DIY
A A A
SLEMAN - Pemutusan hubungan kerja atau PHK di DIY akibat melemahnya rupiah dan perekonomian sudah mulai terjadi. Hingga kemarin sudah ratusan pekerja terpaksa dipecat dari perusahaannya.

Di Kabupaten Sleman, manajemen PT Primissima yang beralamat di Medari, Caturharjo terpaksa mem-PHK 168 karyawannya per 1 September 2015. Mereka yang di-PHK kebanyakan dari departemen spinning (pemintal kapas menjadi benang). Perwakilan karyawan PT Primissima yang di-PHK, Anwari mengatakan, jumlah karyawan yang dipecat ada 168 orang.

Mereka rata-rata sudah bekerja selama dua tahun. Meski begitu, hingga sekarang statusnya belum diangkat menjadi karyawan tetap. “Hal itu yang menjadi alasan perusahaan tidak memberikan pesangon kepada kami,” kata Anwari saat menggelar aksi menuntut hak-hak pekerja di halaman Kantor PT Primissima, kemarin. Anwari mengatakan, perusahaan melakukan PHK dengan alasan kondisi perusahaan kesulitan mendatangkan kapas. Padahal kapas merupakan bahan utama di bagian spinning .

Humas Departemen Kesekretariatan PT Primissima, Ishaq Nur Ghozali, mengamini per 1 September melakukan PHK kepada karyawan di bagian spining . Namun tindakan itu bukan spontan tapi sudah diberitahukan beberapa hari sebelumnya. Manajemen terpaksa melakukan hal ini karena kondisi perusahaan tidak memungkinkan. Kondisi itu sudah dialami perusahaan sejak awal tahun ini sehingga untuk menjaga eksistensi perusahaan, satu di antaranya melakukan efisiensi.

“Ini pilihan paling sulit yang harus kami lakukan. Termasuk tidak memberikan pesangon karena sebelumnya ada perjanjian, jika di- PHK tidak mendapatkan pesangon,” kata Ishaq. Ishaq menegaskan, sebenarnya sebelum melakukan PHK, pihaknya sudah menempuh beberapa langkah misalnya melakukan penghematan. Namun, karena kondisi tetap sulit ditambah lemahnya rupiah sehinga manajemen PT Primissima mengambil kebijakan PHK. “Selain itu, pasaran tekstil juga melemah dan krisis di sebagian negara juga berimbas pada perusahaan,” ujarnya.

Menanggapi tuntutan karyawan yang di PHK, menurut Ishaq, pihak perusahaan siap memediasi dengan para buruh melalui perwakilan serikat pekerja. Untuk mediasi akan dilakukan hari ini (Rabu, 2/9), terutama soal pesangon. Gelombang PHK juga terjadi di Kabupaten Bantul menyusul melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Bantul mengaku tak bisa berbuat banyak. Apalagi hal itu karena unsur dari eksternal perusahaan.

Kepala Seksi Hubungan Industrial Disnakertrans Bantul Annursina Karti mengungkapkan, sejak pelemahan nilai tukar rupiah ada perusahaan yang merasakan dampaknya. Pihaknya mencatat ada dua perusahaan skala menengah menyatakan diri kolaps. Perusahaan tersebut tak mampu lagi menjalankan roda produksinya.

“Sejak Juli lalu atau ketika rupiah sudah di angka Rp13.000,” tuturnya, kemarin. Dua perusahaan yang menyatakan tak mampu menjalankan produksi adalah perusahaan di bidang ekspor mebel dan furnitur. Meski bergerak di bidang mebel dan furnitur, mereka sangat bergantung pada bahan baku impor sehingga manajemen sangat merasakan dampak pelemahan nilai tukar rupiah.

“Ekonomi lesu sehingga permintaan atas produk mereka menurun. Kini dua perusahaan di Sewon tersebut telah gulung tikar,” kata Annursina. Dia memperkirakan ratusan tenaga kerja yang dirumahkan karena kolapsnya perusahaan di Bantul. Sebelumnya, dari sejumlah perusahaan lain juga menerima pesan lisan ada 60 karyawan yang di-PHK dan sisanya terpaksa dirumahkan.

Kemungkinan besar jumlah tersebut akan bertambah mengingat kondisi perekonomian masih labil. Meski demikian, baru satu manajemen melaporkan berapa jumlah karyawan yang terpaksa dirumahkan. Satu perusahaan tersebut telah melaporkan setidaknya ada 40 karyawan kini sudah tidak bekerja. Kini pemkab mulai khawatir benar-benar ada gelombang PHK di Bantul karena banyak perusahaan berkonsultasi dengan dinasnya.

“Setidaknya ada 5 % dari seluruh perusahaan di Bantul yang keuangannya tidak sehat,” katanya. Sebelumnya, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Bantul Sulistyanto mengungkapkan, sejak melemahnya nilai tukar rupiah, nilai ekspor di Bantul mengalami penurunan. Tidak hanya di sektor mebel dan furnitur, beberapa sektor lain juga merasakan dampaknya. “Kami mencatat ada penurunan (ekspor) 5-11%,” ungkapnya.

Priyo setyawan/ erfanto linangkung
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5134 seconds (0.1#10.140)