Pemerintah Dinilai Miskinkan Buruh

Rabu, 02 September 2015 - 07:59 WIB
Pemerintah Dinilai Miskinkan...
Pemerintah Dinilai Miskinkan Buruh
A A A
SEMARANG - Ribuan buruh di berbagai daerah di Jawa Tengah menggelar unjuk rasa meminta pemerintah bertanggung jawab atas melemahnya rupiah terhadap dolar AS hingga berdampak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).

Mereka mengaku menjadi korban atas ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola ekonomi. Buruh juga menolak peraturan Menteri Tenaga Kerja yang tidak mensyaratkan tenaga kerja asing wajib Berbahasa Indonesia.

“Bahkan di Jawa Tengah hingga bulan ini telah terjadi PHK sejumlah dua ribu karyawan di sektor garmen,” kata Muqron al Maliki, koordinator aksi sekaligus Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) saat berunjuk rasa di Balai Kota Semarang, kemarin. Dia menyebutkan, hingga saat ini ada tiga perusahaan di kawasan industri Kaligawe, Gatot Soebroto, dan Wijaya Kusuma, yang memberitahukan akan melakukan PHK besar-besaran. Hal itu apabila tidak juga ada perbaikan nilai tukar rupiah.

Muqron mengatakan, buruh khawatir anjloknya nilai rupiah hanya akan dijadikan alasan perusahaan untuk mem- PHK karyawannya. Kemudian ketiga perusahaan itu akan merekrut kembali tenaga kerja dengan bayaran lebih rendah dan hanya sebagai karyawan kontrak. “Sebab yang akan di PHK ketiga perusahaan itu sudah karyawan tetap,” katanya.

Terbitnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 16/- 2015 Pasal 36 tentang Persyaratan Tenaga Kerja Asing yang Tidak Wajib Berbahasa Indonesia, juga dinilai semakin menyengsarakan buruh. Mereka menolak peraturan itu karena dianggap tidak adil. “Saat ini terjadi PHK besarbesaran akibat melemahnya nilai rupiah, tapi pemerintah justru mempermudah masuknya tenaga asing ke Indonesia.

Seharusnya pemerintah justru menghapus outsourcing yang selama ini banyak tidak sesuai aturan,” katanya. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang Edy Riyanto mengaku sudah mendapatkan informasi ada rencana PHK karyawan di tiga perusahaan itu. Tim mediator dan pengawas sudah langsung diterjunkan ke lokasi yang diharapkan pada hari ini bisa memberikan laporannya.

Menurut Edy, anjloknya nilai rupiah terhadap dolar secara langsung dan tidak langsung berdampak terhadap industri di Semarang. Ada sedikitnya tiga perusahaan telah gulung tikar dan eksodus dari Semarang keluar daerah yang upah karyawannya lebih rendah. Ketiga perusahaan itu, yaitu perusahaan Inti Baja di daerah Kecamatan Tugu bubar karena kesulitan mendapatkan bahan baku yang harganya mahal. Jumlah tenaga kerja di perusahaan ini mencapai 360 orang.

Kemudian perusahaan mebel di BSB, Kecamatan Ngaliyan, dengan 150 karyawan eksodus keluar daerah juga karena kesulitan mendapatkan bahan baku kayu jati. “Terus perusahaan mebel di Pedurungan juga pindah ke luar daerah di Purwodadi karena upah karyawannya di sana lebih rendah daripada Semarang, tapi buruh tidak mau ikut pindah,” katanya.

Di Kota Pekalongan, ribuan buruh terancam PHK akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sekretaris DPC SPN Kota Pekalongan, Darmin menyebutkan, ada sekitar 6.000-an buruh terancam PHK di 13 perusahaan. “Hampir seluruh perusahaan tersebut merupakan industri padat karya di sektor tekstil dan garmen,” katanya.

Dijelaskan,nya jumlah seluruh buruh di Kota Pekalongan mencapai sekitar 25.000 orang. Dia berharap pemerintah pusat berupaya mem-perbaiki perekonomian. “Saat ini sudah ada pengurangan jam kerja yang berdampak pada penurunan penghasilan, yakni dari 42 jam dalam seminggu menjadi 40 jam. Pemerintah pusat harus segera memperbaiki sistem perekonomian agar kondisi daerah juga membaik dan tidak terjadi PHK,” katanya.

Wakil Sekretaris DPC SPN Kota Pekalongan, Arifiyanto, menilai buruh sengaja dibuat miskin oleh pemerintah bersama Apindo. Sebab masih digunakan regulasi yang tidak layak dipakai. “Dari 428 komponen kebutuhan hidup layak, pekerja dipaksa hanya mendapat 60 komponen. Kami inginkan perubahan komponen itu, yakni 84 komponen,” katanya.

Dia juga meminta pemerintah memaksimalkan Perda Nomor 12/2012 tentang Ketenagakerjaan. Sebab hingga saat ini masih banyak perusahaan belum menaati kesepakatan bersama. Kalangan buruh di Sukoharjo mendukung tuntutan buruh agar upah minimum kabupaten (UMK) dinaikkan minimal 22% dan maksimal 25%. Ketua Serikat Pekerja Republik Indonesia (SPRI) Sukoharjo, Sukarno mengatakan, pada prinsipnya, SPRI Sukoharjo bersedia dan siap ikut aksi demo buruh di Jakarta.

Namun, karena kendala teknis surat pemberitahuan datang terlambat, maka SPRI Sukoharjo batal berangkat ke Jakarta. “Kalau untuk daerah khususnya Sukoharjo, kami belum ada rencana menggelar aksi demo. Untuk sementara seluruh pengurus dan anggota kami minta untuk tenang dulu,” ujarnya. Terkait aksi buruh di Jakarta, ujar Sukarno, buruh Sukoharjo tetap mendukung upaya yang dilakukan buruh di Jakarta menuntut perbaikan nasib kepada pemerintah.

Meski tidak berencana menggelar aksi, Sukarno mengaku dalam waktu dekat merencanakan menemui pimpinan DPRD dan Pemkab Sukoharjo terkait tuntutan itu. Dikatakannya, sejumlah tuntutan yang diajukan buruh, yakni permintaan kenaikan UMK minimal 22% dan maksimal 25%. Selain itu, SPRI Sukoharjo juga berharap agar kenaikan bisa direalisasikan tahun ini. Namun, apabila tidak memungkinkan dapat dilaksanakan pada 2016 mendatang saat pergantian UMK.

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di berbagai daerah dan mencakup hampir semua sektor industri. Pemerintah diminta merespons serius, terutama demi mencegah makin banyaknya tingkat pengangguran. Data Dinas Tenaga Kerja Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau mencatat sebanyak 1.401 buruh terkena PHK sepanjang Januari–Juni 2015. Di Jawa Timur, 1.275 karyawan dari 158 perusahaan telah dirumahkan hingga Agustus ini.

Jumlah tersebut diperkirakan bertambah mengingat beberapa kabupaten/kota belum menyerahkan data terbaru. Di Bantul, Yogyakarta, beberapa perusahaan skala menengah kolaps, mengakibatkan ratusan karyawan kehilangan mata pencaharian. “PHK terjadi sejak rupiah (kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat) menyentuh angka Rp13.000. Perusahaan tak mampu lagi menanggung beban karena produksi mereka terus turun,” ujar Kepala Seksi Hubungan Industrial Disnakertrans Bantul Annursina Karti kemarin.

Annursina mengkhawatirkan gelombang PHK berlanjut karena belum ada tanda-tanda perbaikan di sektor industri tersebut. Berdasarkan laporan yang masuk ke Disnakertrans, setidaknya 5% dari seluruh perusahaan di Bantul tidak sehat kondisi keuangannya kini. Ketua Umum DPP Partai PerindoHary Tanoesodibjo(HT) mengingatkan, pelemahan ekonomi telah memukul sektor industri. Banyak home industry gulung tikar sehingga berujung pada PHK karyawan. Situasi ini tentu tidak boleh dibiarkan.

“Pemerintah wajib merespons dengan positif dan mencari jalan keluar secepatnya agar kondisi ekonomi nasional bisa pulih kembali. Fokus saat ini adalah mempercepat investasi dan belanja pemerintah serta memangkas semua hambatannya,” kata HT.

M abduh/prahayuda febrianto/ sumarno/ erfanto linangkung/ romi kurniawan
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0101 seconds (0.1#10.140)