Masih Banyak Orang Tua yang Percaya Kekuatan Magis

Selasa, 01 September 2015 - 10:23 WIB
Masih Banyak Orang Tua yang Percaya Kekuatan Magis
Masih Banyak Orang Tua yang Percaya Kekuatan Magis
A A A
Meski zaman sudah modern, namun dalam penanganan anak penderita autisme, masih banyak orang tua yang percaya kepada kekuatan magis. Bahkan, banyak pula orang tua yang menganggap autisme sebagai penyakit keturunan hingga kutukan.

Salah kaprah dalam memahami penderita autisme tersebut disinyalir akibat ketidaktahuan orang tua terhadap autisme.

“Ada orang tua yang menganggap bahwa autisme adalah penyakit turunan, kutukanlah, pola hidup orang tua yang buruk, pola makan, pola asuh, dan masih banyak hal lainnya yang tidak bersifat medis. Maka tidak jarang penanganan pada anak autis pun jadinya lebih pada pengobatan non-medis. Bahkan masih banyak orang tua yang menangani autis dengan cara magis,” tutur dokter spesialis Melinda Child Development Center (MCDC) RS Melinda Kristiantini Dewi di sela-sela Seminar bertema Orang Tua Mengenai Penanganan pada Anak Berkebutuhan Khusus di RS Melinda 2, Kota Bandung, belum lama ini.

Padahal, menurutnya, autisme adalah penyakit genetik yang terjadi pada kesalahan susunan DNA yang tidak biasa. Ada dua cara pengobatan pada anak autis, yakni terapi perilaku dan pemberian obat khusus. Menurutnya, terapi perilaku sering kali diserahkan orang tua pada terapis. Padahal, jika mau belajar, orang tua sebenarnya bisa melakukan terapi pada anaknya sendiri.

Orang tua yang mampu memberikan terapi pada anaknya yang menderita autisme, kata Kritiantini, akan lebih baik. Sebab, orang tua lebih tahu jam biologis anak. “Selain itu, orang tua pun memiliki personal attachment yang lebih dalam pada anak,” tambahnya seraya menegaskan, meskipun terapi diberikan oleh seorang ahli, namun keberhasilannya tetap bergantung pada kontribusi orang tua. Kristiantini juga mengakui, banyak orang tua yang mengkhawatirkan efek ketagihan dalam pemberian obat khusus pada anak autis.

“Padahal, obat ini tidak akan dikonsumsi seumur hidup anak. Hanya tergantung seberapa parah tingkat autis yang diderita,” jelasnya. Meski autisme belum bisa disembuhkan, namun intervensi sejak dini menurutnya bisa memperbaiki performace perilaku anak penderita autisme. Semakin dini keautisan pada anak diketahui serta diberikan terapi yang tepat, maka semakin besar kemungkinan untuk memperbaiki perilaku Sang Anak. “Otak anak itu berkembang dengan cepat. Jika anak autis dibiarkan tidak diterapi, bisa jadi tingkat autisnya semakin parah. Sebaiknya orang tua peka terhadap tumbuh kembang anak, terlebih saat anak mereka berusia di bawah dua tahun,” terangnya.

Dia menyebutkan, untuk mengetahui ciri autisme pada anak sedini mungkin, orang tua harus memahami tahapan perkembangan anak sesuai usianya. Yang kini terjadi, masih banyak orang tua yang menganggap lambannya perkembangan motorik anak sebagai hal yang wajar.

“Ya itu wajar jika telatnya hanya beberapa bulan. Namun, jika usia anaknya sudah 18 bulan, tapi belum bisa berdiri bahkan berjalan, orang tua sepatutnya curiga,” imbuhnya. Hal lain yang menurutnya salah kaprah, masih banyak juga orang tua yang beranggapan bahwa anak penderita autisme adalah anak yang cerdas. Padahal, kata dia, rata-rata intelligence quotient (IQ) anak penderita autisme sebenarnya di bawah anak normal. Anak penderita autisme pun memiliki komunikasi emosial yang sangat terbatas.

“Anak autis memang memiliki potensi kecerdasan, namun nyatanya (IQ-nya) tetap di bawah rata-rata anak normal.

Anne Rufaidah
Kota Bandung
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0066 seconds (0.1#10.140)