Warga Srondol Gugat Presiden

Kamis, 27 Agustus 2015 - 09:24 WIB
Warga Srondol Gugat Presiden
Warga Srondol Gugat Presiden
A A A
SEMARANG - Penggusuran paksa rumah warga di Jalan Setia Budi RT 04/RW 02 Kelurahan Srondol Kulon, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang oleh aparat militer Kodam IV/Diponegoro pada Sabtu (25/7) berbuntut panjang.

Lantaran tidak terima, warga menggugat Presiden Joko Widodo sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan menuntut ganti rugi Rp21,184 miliar. Gugatan perbuatan melawan hukum itu telah didaftarkan oleh kuasa hukum warga, Theodorus Yosep Parera ke Pengadilan Negeri (PN) Semarang pada 19 Agustus 2015.

Dalam surat gugatan teregister nom o r : 3 1 1 / Pdt.G/2015/ PN SMG itu Presiden RI sebagai tergugat pertama C.q. Panglima TNI C.q Kepala Staf TNI Angkatan Darat C.q Panglima Kodam IV/ Diponegoro. “Presiden RI adalah pihak yang kami gugat pertama. Sebab, sesuai Pasal 10 UUD 1945, Presiden RI adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

Secara hierarki mereka adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,” kata Yosep saat menggelar konferensi pers didampingi perwaki l a n warga di Kota Semarang kemarin siang. Penggusuran paksa rumah warga di Jalan Setia Budi RT 04/RW 02 Kelurahan Srondol Kulon dilakukan oleh ratusan personel TNI AD dari Kodam IV/Diponegoro, Sabtu (25/7) pagi.

Total ada 33 rumah yang dibongkar paksa dengan sebuah alat berat. Alasan penggusuran karena warga menempati tanah milik TNI AD. Tanah seluas 6.400 meter persegi itu telah ditempati warga sejak 1950 secara turun-temurun. Mereka telah membangun rumah permanen dan bangunan tempat usaha. Menurut Yosep, Presiden Jokowi sangat penting turun tangan dalam perkara ini.

Sebab, perbuatan TNI tersebut dilakukan di depan umum tanpa dasar jelas. “Warga tidak berani melawan, mereka bersenjata dan punya kekuatan luar biasa. Presiden harus turun tangan agar ke depan TNI tidak lagi ikut campur persoalan seperti ini. Jika terus terjadi, hancurlah negara ini dari sistem peradilan yang sudah kita bentuk,” katanya.

Terkait gugatan yang sudah didaftarkan kePN Semarang, warga meminta Ketua PN Semarang mengabulkanprofisiaquodengan menyatakan melarang siapa pun menguasai, memanfaatkan, dan melakukan perbuatan hukum atas lokasi tanah di Srondol tersebut, termasuk penjualan, peralihan hak atau menyewakan kepada pihak lain sampai perkara aquo berkekuatan hukum tetap.

Selain itu, warga juga menuntut ganti rugi Rp21,184 miliar. Perhitungannya, kerugian materiil Rp10,648,500.000 untuk mengganti kerusakan bangunan dan barang milik 21 warga yang menempati lokasi. Sementara kerugian moril, yakni perasaan cemas, takut, dan waswas Rp10,5 miliar atau masing-masing warga Rp500 juta.

“Kami meminta agar tergugat tanggung renteng membayar gugatan tersebut. Mulai Presiden sampai dengan tergugat enam,” tandas Yosep. Terpisah, Humas PN Semarang Gatot Susanto membenarkanpihaknya telahmenerimapermohonan surat gugatan yang dilayangkan warga Srondol terkait penggusuran tersebut. Saat ini pihaknya mempersiapkan untuk persidangan perkara tersebut.

Lima Tergugat Lain

Dalam surat gugatan tercantum pula lima tergugat lain. Masing-masing bernama Veronica Maria Winarti Ongko Juwono, Antonius Sukiato Ongko Juwono, Swannywati Ongko Juwono, Ninarti Ongko Juwono, dan TjitraKumalaDewiWongso. Mereka semuanya beralamat di Jakarta dan mengaku memiliki sertifikat atas tanah di Srondol tersebut.

Ketua RT 04/RW02, Kelurahan Srondol Kulon, Kecamatan Banyumanik Kota Semarang Trinoto menduga ada perbuatan melanggar hukum dalam penerbitan sertifikat tanah itu. Untuk dugaan ini sudah dilaporkan ke Polda Jawa Tengah pada 17 Desember 2011.

Laporan sudah resmi diterima dengan nomor register LP/193/XII/2011/Jateng/ Ditreskrimum. “Perkara ini sampai sekarang masih dalam penanganan Polda Jawa Tengah. Menurut kami, TNI tidak punya hak pembongkaran. Untuk gugatan yang dilayangkan, itu merupakan keputusan bersama (warga),” kata Trinoto.

Penyelamatan Aset

Kepala Penerangan Kodam IV/Diponegoro Letkol Inf Zainul Bahar saat dikonfirmasi sebelumnya mengatakan penertiban tersebut atas instruksi KASAD terkait penyelamatan aset milik TNI. “Tanah ini dulunya merupakan tanah okupasi yang dikuasai oleh TNI AD,” ujar Bahar.

Kodam IV/Diponegoro sudah melakukan mediasi sebanyak enam kali kepada warga yang tinggal di lokasi tersebut terkait penertiban itu. Namun karena tidak mendapatkan respons, akhirnya dilakukan pengosongan. “Sejak 2013 kami sudah melakukan mediasi, bahkan uang ganti rugi juga sudah diberikan,” ungkapnya.

Disinggung mengenai kewenangan pihaknya melakukan pembongkaran tanpa proses persidangan, Bahar mengaku hal itu tidak penting. Sebab, eksekusi tersebut merupakan masalah pribadi di lingkungan TNI. “Tidak perlu pengadilan untuk permasalahan ini, soalnya ini permasalahan internal. Ini masalah aset milik TNI,” tandasnya. Bahar mengatakan tanah tersebut memang milik Kodam IV/Diponegoro. Dulunya ditempati oleh 13 orang.

Namun, saat ini terus berkembang menjadi 33 kepala keluarga (KK). “Yang menempati adalah anak-anak TNI, menantu, bahkan ada orang sipil yang kontrak di sana. Selain itu, penggunaannya juga tidak semestinya karena ada yang digunakan untuk usaha dan hasilnya dinikmati sendiri. Hal ini menjadi ironis saat banyak prajurit TNI yang hidupnya masih kesulitan di luar sana,” ungkapnya.

Eka setiawan/ andika prabowo
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5386 seconds (0.1#10.140)