9 Sastrawan Dapat Hadiah Rancage 2015

Minggu, 23 Agustus 2015 - 10:34 WIB
9 Sastrawan Dapat Hadiah Rancage 2015
9 Sastrawan Dapat Hadiah Rancage 2015
A A A
BANDUNG - Setelah 27 tahun digelar, untuk pertama kalinya Yayasan Kebudayaan Rancage memberikan hadiah sastra kepada pengarang Batak, yakni Saut Poltak Tambunan.

Saut mendapat Hadiah Ran cage 2015 bersama delapan sastrawan dari daerah lain. Penyerahan hadiah dilakukan kemarin di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut Nomor 2, Kota Bandung. Sebelumnya, Yayasan Kebudayaan Rancage (YKR) hanya mem berikan penghargaan tiap ta hunnya kepada penulis dan pe ngarang sastra Sunda, Jawa, dan Bali.

Saut Poltak Tambunan mendapat penghargaan lewat buku sas tranya berjudul Si Tumoing: Mang gora Ari Sogot dan Si Tumoing: Pasiding Holang Padi mpos Holong, terbitan Selasar Pena Talenta, Jakarta. Sastrawan lain yang dapat Ha diah Rancage 2015 yakni sastrawan Sunda Dian Hendrayana lewat buku sastranya ber judul Lagu Ngajadi(kumpulan guguritan, terbitan KSB Rawayan, Bandung),

Triman Laksana lewat buku Sepincuk Rembulan (kum pulan guritan), dan I Gede Put ra Ariawan sastrawan Bali lewat buku Ngurug Pasih (kumpulan cerita pendek, terbitan Pus taka Ekspresi). Selain kepada pengarang buku sastra berbahasa daerah, YKR juga memberikan Hadiah Ran cage 2015 kepada mereka yang berjasa dalam menumbuh kan dan mengembangkan sas tra daerah.

Sejumlah sastrawan yang men dapat nominasi jasa Hadiah Rancage 2015 itu di an taranya, Aam Amilia dalam kesusasteraan Sunda, Yulitin Sungkowati (Jawa), I Nyoman Adiputra (Ba li), dan Leonardus Joosten dalam kesusasteraan Batak. Selain apresiasi berupa Hadiah Rancage 2015, YKR juga mem berikan penghargaan kepada pengarang Ahmad Bakri lewat buku anak berbahasa Sunda berjudul Kasambet, terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung.

Menurut Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi, Hadiah Rancage adalah ajang apresiasi kesusateraan yang umurnya terpanjang di Indonesia. Menurutnya, hadiah sastra di Indonesia sa ja tidak lebih dari 10 kali, termasuk yang diberikan oleh menteri. “Ya, memang hadiah buat pengarang itu supaya enak hatilah.

Sebab jumlahnya berapa coba? Tidak ada artinya, dan itu juga terjadi karena masyarakat kita tidak membaca,” ujar Ajip dalam pidato penutupan kemarin. Apresiasi kesusasteraan di In donesia, kata dia, memang masih memprihatinkan. Berbanding lurus dengan kesejahteraan hidup para sastrawan Indonesia kalah jauh dari para sastrawan Eropa dan Amerika.

“Kesalahan saya sampai saat ini adalah telah menetapkan diri menjadi pengarang saat berumur 16 tahun,” ungkap sastrawan yang telah menulis 159 judul buku sastra itu. Sebagai sastrawan, dia juga sem pat tergoda untuk kaya seperti para sastrawan di negarane gara maju seperti Inggris, Jer man, dan Amerika. Tapi setelah terjun langsung dalam du nia sastra, Ajip baru menyadari bahwa kondisi masyarakat In do nesia memang berbeda, ter lebih dalam budaya mem bacanya.

“Negara Islandia jumlah pen duduknya tentu sangat berbeda jauh dengan jumlah masyarakat Indonesia yang mencapai 200 juta lebih, tapi pengarangnya banyak yang bisa hidup dari karya-karyanya. Kita di Indonesia, pengarang yang hidup dari karangannya tidak banyak, hanya sebagian pengarang yang kar yanya laku pesat di pasaran,“ ujar Ajip.

Ajip menambahkan, buku karya sastra yang laku pesat di pasar tak menjadi jaminan karya itu unggul dan berkualitas. Pasalnya sebuah penelitian menyebut bahwa kualitas produk sastra yang laku terjual tak lepas dari tingkat selera masyarakat itu sendiri. “Ya, sekarang bisa juga jadi pengarang hidup kaya. Bila karya yang dibuat seperti itu.

Dan ce lakanya karya-karya klasik sas tra Indonesia tidak beredar di pasaran. Bagaimana ma syarakat membacanya? Carikarangan seperti Abdul Muis dan sebagainya?” ungkapnya. Untuk mengatasi itu, Ajip mengusulkan agar sekolah menyediakan koleksi lengkap karya-karya sastra di Indonesia.

Se hingga keberadaan sastra tak di pandang sebelah mata dalam pen didikan sekolah. “Sekarang ini masyarakat banyak belajar Bahasa Indonesia dari televisi. Saya perhatikan di Indonesia tidak ada yang berbahasa Indonesia di televisi, semuanya berbicara bahasa gaul. Dulu ada Pak Badudu yang selalu menulis Bahasa Indonesia yang baik dan benar, sekarang sudah enggak ada,” ungkapnya.

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang hadir dalam kesempatan itu mengap resiasi apa yang dilakukan YKR. “Jangan khawatir memelihara bahasa daerah, tidak akan meng hilangkan bahasa Indonesia,” ujarnya. Sementara itu, Saut Poltak Tam bunan yang mencetak sejarah sebagai orang Batak pertama yang menerima Hadiah Ranca gemengaku, buku sastra Ba tak sangat minim karena budaya yang berkembang di sana adalah lisan, bukan tulisan.

“Orang batak sebetulnya tidak terlalu mengenal tradisi tulis, kami tradisi lisan. Jadi bahasa Batak umumnya dikawal oleh ge reja dan perhelatan adat. Tidak dalam sastra,” ungkapnya. Menurutnya, memang ada tra disi tulis di lingkungan budaya Batak tapi itu sudah seabad lalu, yakni di Suku Batak Angkola. “Ada tapi usianya sudah tua, 100 tahun lalu di Batak Angkola.

Dan tentu tak sepopuler sekarang, karena khusus untuk kalangan internal,” ujar Saut. Ketua Dewan Pengurus Yayasan Kebudayaan Rancage Rac h mat Taufiq Hidayat mengatakan, tiap tahun YKR memberikan penghargaan tanpa putus kepada sastrawan berbahasa Sunda, Jawa, dan Bali.

Penghargaan tahun ini merupakan tahun ke-27 untuk sastra Sunda, tahun ke-22 untuk sastra Jawa, dan tahun ke-19 untuk Bali. Untuk sastra Batak kali pertama. “Sebelumnya memang ada penghargaan dan hadiah untuk sastra Lampung, tapi tahun ini tidak ada,” sebutnya.

Heru muthahari
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7151 seconds (0.1#10.140)