Sukses Lambungkan Harga di Pasaran
A
A
A
Kopi “cewek”. Inilah kopi khas lereng Merapi. Mungkin karena rasanya yang tak terlalu pekat dan pahit di lidah, serta serbuk nan halus membuat kopi ini dinamai “cewek”.
Kopi cewek sendiri hampir punah akibat erupsi Merapi pada akhir 2010 yang membuat tanaman kopi di lereng gunung ini hampir semuanya mati. Terutama di Kecamatan Cangkringan, Sleman. Dari lahan seluas 150 hektare (ha), hanya tersisa 10 ha saja yang tak terdampak.
Namun, kini kopi dari lereng Merapi tersebut mulai kembali bangkit. Salah satunya adalah berkat kegigihan pria bernama Sumijo, 40, warga Dusun Petung, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan. Sumijo saat kecil sudah akrab dengan kopi mengingat kakek dan neneknya merupakan petani kopi.
Mereka ini yang menjadi inspirasinya membangkitkan keberadaan kopi Merapi tersebut. "Saat kecil, lihat simbah kerja keras membantu biaya sekolah saya. Pekerjaannya yang berat tak sebanding dengan hasilnya. Panen hanya sekali setahun, waktu tanamnya juga butuh 2,5 sampai 4 tahun.
Tapi ketika dijual kopinya, harganya selalu rendah. Padahal harga kopi di toko-toko tetap stabil bahkan naik," katanya Karena itu, dirinya berambisi menyelamatkan kopi dengan meningkatkan kesejahteraan para petaninya. Dimulai pada 2003, Sumijo berinisiatif membentuk paguyuban petani kopi.
Awalnya, jumlah anggota hanya 25 orang. Paguyuban ini diniatkannya untuk mencari bantuan dari instansi pemerintah terkait di Pemkab Sleman. Meski mendapatkan kucuran dana maupun fasilitas penunjang, paguyuban ini tak terlalu berkembang pesat. Namun ketika terjadi letusan Merapi 2010 lalu, momen ini justru menjadi pembangkit baginya.
Saat itu rumah maupun lahan kopinya terkena dampak lahar panas. Tetapi bencana tersebut tak membuatnya merasa susah. Sumijo berusaha ikhlas dan memilih keluar dari pekerjaan utamanya di salah satu perusahaan besar di lereng Merapi. Keputusannya keluar dari tempat kerja dipicu niat ingin membangkitkan kopi Merapi.
Karena bagi Sumijo, jika bekerja di perusahaan tersebut yang menikmati hasilnya hanya keluarga kecilnya. Namun ketika meningkatkan nilai jual kopi, yang merasakannya banyak warga, terutama petani itu sendiri. "Pada 2010 saya keluar dari pekerjaan utama. Di tahun itu juga rumah saya hancur, beserta tanaman-tanaman di lahan. Tapi saya merasa tidak begitu susah.
Kalau saya ikhlas, Yang Kuasa akan mengganti lebih. Saat itu, banyak warga yang memilih untuk menambang pasir. Tapi saya memilih membangkitkan kembali tanaman kopi," katanya. Usai bencana, lahan kopi mulai ditanami kembali. Dari yang sebelumnya dia hanya berharap pada bantuan dari instansi pemerintah, kini dirinya justru lebih ingin mandiri.
"Mulai ada greget untuk mandiri. Tidak mengharap bantuan lagi dan ternyata malah banyak jalan," katanya tersenyum. Kini nilai jual kopi Merapi sudah semakin mendekati layak. Satu kilogramnya terjual Rp200.000 untuk yang roasting (sangria), baik arabika maupun robusta. "Petani kopi juga sudah mulai tak menjualnya ke.
Tapi ke koperasi kami. Bahkan di Deles (Klaten) dulunya tanaman kopi ditebangi karena dinilai tak menguntungkan, kini sudah ada yang kembali menanam," tuturnya bangga. Tak hanya harga penjualannya yang baik, peredarannya juga demikian. Selain sudah merambah ke hotel maupun kafe, kini sudah diperkenalkan ke beberapa negara.
"Kalau untuk di Indonesia, di Jakarta, Sulawesi, Kalimantan. Di tahun ini kopi yang dijuluki kopi cewek ini ada kawan yang mulai memperkenalkannya ke Italia dan Swedia," ucapnya. Djauhari, 27, warga asal Condongcatur, Depok, Sleman mengaku, kopi yang dihasilkan petani di lereng Merapi mempunyai rasa yang khas. "Baru tahu, saya kira kopi cewek itu yang membuat wanita. Tapi ternyata dari rasanya memang yang halus, dan tak terlalu pekat," ucapnya.
Ridho Hidayat
Sleman
Kopi cewek sendiri hampir punah akibat erupsi Merapi pada akhir 2010 yang membuat tanaman kopi di lereng gunung ini hampir semuanya mati. Terutama di Kecamatan Cangkringan, Sleman. Dari lahan seluas 150 hektare (ha), hanya tersisa 10 ha saja yang tak terdampak.
Namun, kini kopi dari lereng Merapi tersebut mulai kembali bangkit. Salah satunya adalah berkat kegigihan pria bernama Sumijo, 40, warga Dusun Petung, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan. Sumijo saat kecil sudah akrab dengan kopi mengingat kakek dan neneknya merupakan petani kopi.
Mereka ini yang menjadi inspirasinya membangkitkan keberadaan kopi Merapi tersebut. "Saat kecil, lihat simbah kerja keras membantu biaya sekolah saya. Pekerjaannya yang berat tak sebanding dengan hasilnya. Panen hanya sekali setahun, waktu tanamnya juga butuh 2,5 sampai 4 tahun.
Tapi ketika dijual kopinya, harganya selalu rendah. Padahal harga kopi di toko-toko tetap stabil bahkan naik," katanya Karena itu, dirinya berambisi menyelamatkan kopi dengan meningkatkan kesejahteraan para petaninya. Dimulai pada 2003, Sumijo berinisiatif membentuk paguyuban petani kopi.
Awalnya, jumlah anggota hanya 25 orang. Paguyuban ini diniatkannya untuk mencari bantuan dari instansi pemerintah terkait di Pemkab Sleman. Meski mendapatkan kucuran dana maupun fasilitas penunjang, paguyuban ini tak terlalu berkembang pesat. Namun ketika terjadi letusan Merapi 2010 lalu, momen ini justru menjadi pembangkit baginya.
Saat itu rumah maupun lahan kopinya terkena dampak lahar panas. Tetapi bencana tersebut tak membuatnya merasa susah. Sumijo berusaha ikhlas dan memilih keluar dari pekerjaan utamanya di salah satu perusahaan besar di lereng Merapi. Keputusannya keluar dari tempat kerja dipicu niat ingin membangkitkan kopi Merapi.
Karena bagi Sumijo, jika bekerja di perusahaan tersebut yang menikmati hasilnya hanya keluarga kecilnya. Namun ketika meningkatkan nilai jual kopi, yang merasakannya banyak warga, terutama petani itu sendiri. "Pada 2010 saya keluar dari pekerjaan utama. Di tahun itu juga rumah saya hancur, beserta tanaman-tanaman di lahan. Tapi saya merasa tidak begitu susah.
Kalau saya ikhlas, Yang Kuasa akan mengganti lebih. Saat itu, banyak warga yang memilih untuk menambang pasir. Tapi saya memilih membangkitkan kembali tanaman kopi," katanya. Usai bencana, lahan kopi mulai ditanami kembali. Dari yang sebelumnya dia hanya berharap pada bantuan dari instansi pemerintah, kini dirinya justru lebih ingin mandiri.
"Mulai ada greget untuk mandiri. Tidak mengharap bantuan lagi dan ternyata malah banyak jalan," katanya tersenyum. Kini nilai jual kopi Merapi sudah semakin mendekati layak. Satu kilogramnya terjual Rp200.000 untuk yang roasting (sangria), baik arabika maupun robusta. "Petani kopi juga sudah mulai tak menjualnya ke.
Tapi ke koperasi kami. Bahkan di Deles (Klaten) dulunya tanaman kopi ditebangi karena dinilai tak menguntungkan, kini sudah ada yang kembali menanam," tuturnya bangga. Tak hanya harga penjualannya yang baik, peredarannya juga demikian. Selain sudah merambah ke hotel maupun kafe, kini sudah diperkenalkan ke beberapa negara.
"Kalau untuk di Indonesia, di Jakarta, Sulawesi, Kalimantan. Di tahun ini kopi yang dijuluki kopi cewek ini ada kawan yang mulai memperkenalkannya ke Italia dan Swedia," ucapnya. Djauhari, 27, warga asal Condongcatur, Depok, Sleman mengaku, kopi yang dihasilkan petani di lereng Merapi mempunyai rasa yang khas. "Baru tahu, saya kira kopi cewek itu yang membuat wanita. Tapi ternyata dari rasanya memang yang halus, dan tak terlalu pekat," ucapnya.
Ridho Hidayat
Sleman
(ars)