Pembongkaran Markas Gerilya Disesalkan
A
A
A
KUDUS - Pembongkaran bangunan bersejarah Markas Gerilya yang ada di Desa Besito, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus disesalkan veteran pejuang kemerdekaan yang hingga kini masih hidup.
Saksi hidup sejarah perjuangan melawan penjajah itu berharap Markas Gerilya yang juga masuk kategori benda cagar budaya (BCB) bisa diselamatkan. “Kalau ada rasa bangga dari pemiliknya pasti kondisinya tidak seperti ini. Saya bisa merasakan bagaimana heroiknya perjuangan para gerilyawan, saat berjuang mempertahankan kemerdekaan RI. Mereka berjuang dengan tetasan darah dan keringat, serta mempertaruhkan nyawa,” kata salah seorang pejuang kemerdekaan Kolonel Inf (Purn) Soedarsono saat meninjau kondisi bangunan rumah bekas markas pejuang gerilya Muriya Trap kemarin.
Turut mendampingi Soedarsono yang juga mantan Dandim dan sekaligus Bupati Kudus ini, anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kudus yang juga Ketua Badan Pembudayaan Kejuangan (BPK) 45 Kudus Letkol (Purn) Soekardi, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Komisariat Kudus Sancaka Dwi Supanie, dan lain sebagainya.
Saat berada di lokasi Markas Gerilya, Soedarsono mengatakan mestinya rumah yang menjadi saksi perjuangan pejuang kemerdekaan mengusir penjajah Belanda pada masa Agresi Militer Belanda II itu dipertahankan. Sayangnya, pemilik rumah tidak memiliki rasa bangga terhadap masa lalu rumah tersebut. Menurut Soedarsono, sekecil apa pun, sejarah perjuangan itu sangat penting untuk dilestarikan.
Soedarsono berencana meminta agar pemilik baru bangunan bersejarah ini menyisakan beberapa bagian kepadanya. Entah pagar depan rumah atau bagian lainnya. Rencananya, sisa bangunan itu bisa didirikan lagi di tempat baru jika replika rumah tersebut dibuat. “Tolong jangan dibongkar semua. Tolong pagar rumahnya buat saya. Nanti kalau kemudian kita membuat replika dari rumah itu, masih bisa ditempatkan sisasisa bangunannya,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Badan Pembudayaan Kejuangan (BPK) 45 Kudus Letkol (Purn) Soekardi mengaku, pihaknya berharap ada upaya musyawarah untuk menyelesaikan kasus tersebut. Musyawarah itu juga untuk menentukan apakah Markas Gerilya mau dibangun ulang atau dibiarkan roboh tak bersisa. “Pelestarian BCB sudah ada undang-undangnya. Itu kita jadikan acuan. Tidak harus kita menempuh jalur hukum kalau bisa dimusyawarahkan,” tandasnya.
Soekardi menambahkan, generasi sekarang tak selayaknya melupakan kiprah para pejuang, yang telah mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan RI. Hal itu tidak sekadar urusan mengenang sejarah, tapi terkait dengan pelestarian nilai-nilai kejuangan kepada generasi muda. “Pembongkaran Tugu Trisula yang ada di depan bangunan tersebut itu juga kita sesalkan. Sebab, tugu itu merupakan satu penanda bahwa kawasan itu merupakan kawasan yang bersejarah,” katanya.
Bangunan markas gerilya yang kini porak-poranda itu berperan penting saat perang kemerdekaan melawan tentara Belanda yang hendak berkuasa kembali usai kalah dalam Perjanjian Linggarjati. Bangunan itu menjadi basecamp pejuang yang tergabung dalam Gerilya Muria Trap di bawah komando Kolonel Soleh Abdullah. Markas gerilya ini terbagi dua bagian.
Satu bagian digunakan sebagai kantor para pejuang. Lalu, satu bangunan lagi difungsikan sebagai barak tempat tidur dan dapur umum. Saat ini bangunan yang sudah porak-poranda karena dihancurkan yakni yang dulu difungsikan sebagai kantor. Sementara yang digunakan sebagai barak masih belum sempat dijamah tangan para pekerja. Nasib buruk yang dialami bangunan bersejarah ini seiring beralihnya kepemilikan.
Awalnya bangunan itu dimiliki Abdul Rosyid, yang saat perang kemerdekaan memang salah seorang tokoh pejuang setempat. Seiring waktu, kepemilikan tanah dan bangunan itu beralih ke tangan anaknya yang bernama Umar Yasin. Beberapa tahun setelah itu, beralih lagi ke tangan anaknya yang bernama Abdul Malik. Abdul Malik yang merupakan seorang advokat ternyata tak memiliki anak.
Hingga akhirnya kepemilikan tanah dan bangunan itu diberikan kepada Heni, yang merupakan kerabat Abdul Malik. Nah, Heni yang sehari-hari tinggal di luar Kudus ini rupanya menjual BCB warisan Abdul Malik itu kepada seseorang bernama Nurkolis. Bangunan itu dijual sekitar Rp800 juta. Sementara bangunan barak dan dapur umum dijual sekitar Rp230 juta.
Muhammad oliez
Saksi hidup sejarah perjuangan melawan penjajah itu berharap Markas Gerilya yang juga masuk kategori benda cagar budaya (BCB) bisa diselamatkan. “Kalau ada rasa bangga dari pemiliknya pasti kondisinya tidak seperti ini. Saya bisa merasakan bagaimana heroiknya perjuangan para gerilyawan, saat berjuang mempertahankan kemerdekaan RI. Mereka berjuang dengan tetasan darah dan keringat, serta mempertaruhkan nyawa,” kata salah seorang pejuang kemerdekaan Kolonel Inf (Purn) Soedarsono saat meninjau kondisi bangunan rumah bekas markas pejuang gerilya Muriya Trap kemarin.
Turut mendampingi Soedarsono yang juga mantan Dandim dan sekaligus Bupati Kudus ini, anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kudus yang juga Ketua Badan Pembudayaan Kejuangan (BPK) 45 Kudus Letkol (Purn) Soekardi, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Komisariat Kudus Sancaka Dwi Supanie, dan lain sebagainya.
Saat berada di lokasi Markas Gerilya, Soedarsono mengatakan mestinya rumah yang menjadi saksi perjuangan pejuang kemerdekaan mengusir penjajah Belanda pada masa Agresi Militer Belanda II itu dipertahankan. Sayangnya, pemilik rumah tidak memiliki rasa bangga terhadap masa lalu rumah tersebut. Menurut Soedarsono, sekecil apa pun, sejarah perjuangan itu sangat penting untuk dilestarikan.
Soedarsono berencana meminta agar pemilik baru bangunan bersejarah ini menyisakan beberapa bagian kepadanya. Entah pagar depan rumah atau bagian lainnya. Rencananya, sisa bangunan itu bisa didirikan lagi di tempat baru jika replika rumah tersebut dibuat. “Tolong jangan dibongkar semua. Tolong pagar rumahnya buat saya. Nanti kalau kemudian kita membuat replika dari rumah itu, masih bisa ditempatkan sisasisa bangunannya,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Badan Pembudayaan Kejuangan (BPK) 45 Kudus Letkol (Purn) Soekardi mengaku, pihaknya berharap ada upaya musyawarah untuk menyelesaikan kasus tersebut. Musyawarah itu juga untuk menentukan apakah Markas Gerilya mau dibangun ulang atau dibiarkan roboh tak bersisa. “Pelestarian BCB sudah ada undang-undangnya. Itu kita jadikan acuan. Tidak harus kita menempuh jalur hukum kalau bisa dimusyawarahkan,” tandasnya.
Soekardi menambahkan, generasi sekarang tak selayaknya melupakan kiprah para pejuang, yang telah mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan RI. Hal itu tidak sekadar urusan mengenang sejarah, tapi terkait dengan pelestarian nilai-nilai kejuangan kepada generasi muda. “Pembongkaran Tugu Trisula yang ada di depan bangunan tersebut itu juga kita sesalkan. Sebab, tugu itu merupakan satu penanda bahwa kawasan itu merupakan kawasan yang bersejarah,” katanya.
Bangunan markas gerilya yang kini porak-poranda itu berperan penting saat perang kemerdekaan melawan tentara Belanda yang hendak berkuasa kembali usai kalah dalam Perjanjian Linggarjati. Bangunan itu menjadi basecamp pejuang yang tergabung dalam Gerilya Muria Trap di bawah komando Kolonel Soleh Abdullah. Markas gerilya ini terbagi dua bagian.
Satu bagian digunakan sebagai kantor para pejuang. Lalu, satu bangunan lagi difungsikan sebagai barak tempat tidur dan dapur umum. Saat ini bangunan yang sudah porak-poranda karena dihancurkan yakni yang dulu difungsikan sebagai kantor. Sementara yang digunakan sebagai barak masih belum sempat dijamah tangan para pekerja. Nasib buruk yang dialami bangunan bersejarah ini seiring beralihnya kepemilikan.
Awalnya bangunan itu dimiliki Abdul Rosyid, yang saat perang kemerdekaan memang salah seorang tokoh pejuang setempat. Seiring waktu, kepemilikan tanah dan bangunan itu beralih ke tangan anaknya yang bernama Umar Yasin. Beberapa tahun setelah itu, beralih lagi ke tangan anaknya yang bernama Abdul Malik. Abdul Malik yang merupakan seorang advokat ternyata tak memiliki anak.
Hingga akhirnya kepemilikan tanah dan bangunan itu diberikan kepada Heni, yang merupakan kerabat Abdul Malik. Nah, Heni yang sehari-hari tinggal di luar Kudus ini rupanya menjual BCB warisan Abdul Malik itu kepada seseorang bernama Nurkolis. Bangunan itu dijual sekitar Rp800 juta. Sementara bangunan barak dan dapur umum dijual sekitar Rp230 juta.
Muhammad oliez
(ftr)