Kenakan Pakaian Jawa, Diikuti Anak-Anak hingga Lansia
A
A
A
KULONPROGO - Peringatan upacara bendera di RW 06 eks Pedukuhan Kriyanan Wates, digelar dengan nuansa Jawa. Semua peserta dan petugas mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan kebaya dan blangkon.
Hanya pasukan pengibar bendera dan Inspektur upacara yang mengenakan pakaian formal. Jalan utama menuju ke eks Pedukuhan Kriyanan terhalang dengan bambu dan papan. Warga sengaja menutup jalan ini, agar tidak menggagu upacara bendera dalam rangka peringatan 70 tahun Kemerdekaan RI di salah satu halaman rumah warga. Karena jumlah pesertanya cukup banyak, beberapa di antaranya sampai membludak dan berada di jalan beraspal.
Hal itu tidak menyurutkan antusias warga untuk mengikuti upacara bendera Agustusan yang sudah dilakukan dua tahun ini. Dengan sikap sempurna, warga mengikuti seluruh rangkaian upacara dengan khidmat. Meski menggunakan blangkon dan surjan, sejumlah lansia tetap berdiri sambil memegang tongkat. Begitu pula dengan ibu-ibu yang juga mengenakan pakaian kebaya.
Tidak ketinggalan para anak-anak kecil ikut menggunakan pakaian Jawa. Komandan upacara dipimpin tokoh warga yang mengenakan Pakaian Jathilan. Kebetulan seni budaya jathilan memang menjadi salah satu kesenian yang ada di kampung ini. Hal yang sama juga dilakukan para komandan pleton. Bahkan di salah satu rangkaian upacara juga dibacakan ikrar perdamaian dan komitmen menjaga persatuan antarwarga.
“Sudah dua tahun ini kita gelar upacara Kemerdekaan dengan pakaian Jawa seperti ini,” kata ketua panitia, Dalduri. Menurutnya pakaian adat Jawa Mataraman Yogyakarta telah menjadi identitas warga pribumi. Warga juga masih menjunjung tinggi budaya dan menghormati Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Untuk itulah warga tidak lagi malu untuk mengenakan pakaian Jawa dalam upacara ini. Ikrar perdamaian, kata dia, menjadi salah satu komitmen yang harus ditepati warga. Meski berbeda RT, kehidupan sosial, dan asal-usul, namun warga sepakat untuk menjaga perdamaian. Mereka akan tetap bersatu dalam membangun daerah dan kehidupan bermasyarakat.
“Kami tidak ingin kasus Tolikara terjadi di sini, karena itu meski beda agama, budaya, kami akan saling menghormati,” katanya. Untuk bisa mengikuti upacara seperti ini, butuh kemauan dan anggaran. Tidak sedikit dari warga yang menyewa pakaian dan pergi ke salon sebelum upacara. Meski dibuat repot dan harus keluar biaya, namun warga tetap semangat. “Tidak masalah bagi kami keluar biaya dan sedikit repot.
Karena ini wujud cinta kami kepada negara ini,” kata Andika Shinta Elfarani. Warga yang lain, Sandiyo mengatakan, upacara menggunakan pakaian Jawa merupakan salah satu bentuk nguri-ngurikebudayaan. Mencintai budaya menjadi bagian nasionalisme yang harus dilakukan.
“Jogja kan istimewa, jadi harus bisa maju,” ujarnya. Selain upacara, pada kesempatan ini juga dilepas puluhan balon ke udara. Bahkan bagi para peserta tertua dan anak-anak juga mendapatkan bingkisan dari panitia.
KUNTADI
Hanya pasukan pengibar bendera dan Inspektur upacara yang mengenakan pakaian formal. Jalan utama menuju ke eks Pedukuhan Kriyanan terhalang dengan bambu dan papan. Warga sengaja menutup jalan ini, agar tidak menggagu upacara bendera dalam rangka peringatan 70 tahun Kemerdekaan RI di salah satu halaman rumah warga. Karena jumlah pesertanya cukup banyak, beberapa di antaranya sampai membludak dan berada di jalan beraspal.
Hal itu tidak menyurutkan antusias warga untuk mengikuti upacara bendera Agustusan yang sudah dilakukan dua tahun ini. Dengan sikap sempurna, warga mengikuti seluruh rangkaian upacara dengan khidmat. Meski menggunakan blangkon dan surjan, sejumlah lansia tetap berdiri sambil memegang tongkat. Begitu pula dengan ibu-ibu yang juga mengenakan pakaian kebaya.
Tidak ketinggalan para anak-anak kecil ikut menggunakan pakaian Jawa. Komandan upacara dipimpin tokoh warga yang mengenakan Pakaian Jathilan. Kebetulan seni budaya jathilan memang menjadi salah satu kesenian yang ada di kampung ini. Hal yang sama juga dilakukan para komandan pleton. Bahkan di salah satu rangkaian upacara juga dibacakan ikrar perdamaian dan komitmen menjaga persatuan antarwarga.
“Sudah dua tahun ini kita gelar upacara Kemerdekaan dengan pakaian Jawa seperti ini,” kata ketua panitia, Dalduri. Menurutnya pakaian adat Jawa Mataraman Yogyakarta telah menjadi identitas warga pribumi. Warga juga masih menjunjung tinggi budaya dan menghormati Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Untuk itulah warga tidak lagi malu untuk mengenakan pakaian Jawa dalam upacara ini. Ikrar perdamaian, kata dia, menjadi salah satu komitmen yang harus ditepati warga. Meski berbeda RT, kehidupan sosial, dan asal-usul, namun warga sepakat untuk menjaga perdamaian. Mereka akan tetap bersatu dalam membangun daerah dan kehidupan bermasyarakat.
“Kami tidak ingin kasus Tolikara terjadi di sini, karena itu meski beda agama, budaya, kami akan saling menghormati,” katanya. Untuk bisa mengikuti upacara seperti ini, butuh kemauan dan anggaran. Tidak sedikit dari warga yang menyewa pakaian dan pergi ke salon sebelum upacara. Meski dibuat repot dan harus keluar biaya, namun warga tetap semangat. “Tidak masalah bagi kami keluar biaya dan sedikit repot.
Karena ini wujud cinta kami kepada negara ini,” kata Andika Shinta Elfarani. Warga yang lain, Sandiyo mengatakan, upacara menggunakan pakaian Jawa merupakan salah satu bentuk nguri-ngurikebudayaan. Mencintai budaya menjadi bagian nasionalisme yang harus dilakukan.
“Jogja kan istimewa, jadi harus bisa maju,” ujarnya. Selain upacara, pada kesempatan ini juga dilepas puluhan balon ke udara. Bahkan bagi para peserta tertua dan anak-anak juga mendapatkan bingkisan dari panitia.
KUNTADI
(ftr)