Ikhlas Mentransfer Ilmu Pengetahuan Tanpa Ikatan Gaji
A
A
A
Memasuki kawasan Panti Al Jam'iyatul Wasliyah di Jalan KL Yos Sudarso No 1 Km 6, tidak jauh dari Pasar Brayan, tampak anak-anak sedang bergotong royong membersihkan halaman, kamar mandi, dan ruanganruangan kelas serta kamar.
Sekilas, suasana Jumat (14/8) sore di panti itu tidak ada yang istimewa. Namun ketika masuk lebih dalam lagi menuju ke bagian tengah areal panti, ada satu kegiatan berbeda yaitu belajar-mengajar di salah satu kelas di sana. Yang berbeda lagi, tenaga pengajarnya bukannya seorang guru, melainkan pemudi yang terlihat masih sangat muda.
Ketika tim KORAN SINDO MEDAN mengetuk pintu, si guru tadi langsung menyapa ramah dan mempersilakan masuk ke ruangan kelas itu. Namanya Icha Ihsani Crhistata Damanik atau biasa disapa Icha. Di sela-sela dia mengajar, kami sempat berbincang-bincang. Ternyata Icha sudah mengajar di sini sejak Oktober 2014 dan pelajaran yang diajarkannya adalah bahasa Inggris setiap Jumat.
Awal mula dia bisa mengajar di sini setelah mengetahui salah satu Komunitas Pemuda Peduli Panti atau biasa disebut Triple P membutuhkansukarelawan (volunter) untuk mengajar di panti. Begitu dapat informasi itu, dia langsung tertarik dan menyatakan ikut bergabung. Sebagaimana sukarelawan, diketahui segala sesuatu dikerjakan secara sukarela, yang berarti tidak hanya tidak mendapat fasilitas, sarana dan prasarana, tetapi juga gaji.
Hal itu tidak dipikirkan Icha. Padahal, Icha masih kuliah dan butuh uang tambahan. Meski dia mengajar tanpa digaji alias secara sukarela, dia tetap bersikukuh untuk mengajar. Keinginannya hanya ingin membagikan ilmu supaya ilmu yang dimiliki bisa bertambah. Jadi, dia ikhlas mengajar meskipun kadang ditinggalkan muridnya hanya karena malas. Maklum, dia tidak bisa memaksa anak-anak untuk belajar seperti layaknya di sekolah umum.
Kegiatannya sukarela, jadi yang ikut belajar juga anak-anak dengan keinginan kuat belajar saja. "Waktu awal-awal saya mengajar, pernah datang ke sini sesuai jadwal mengajar tapi malah tidak ada muridnya. Anak-anak mengaku lagi tidak bisa belajar karena ada kegiatan lain. Saya malah diminta balik lagi keesokan harinya," ungkapnya. Padahal, saat itu Icha belum memiliki kendaraan sendiri.
Ya, anak pertama dari tujuh bersaudara ini naik angkutan kota (angkot) dari rumahnya di Deli Tua menuju Pulau Brayan yang berjarak 22 kilometer (km), dan harus dua kali naik angkot. Meski begitu, Icha tidak menganggap itu menjadi kendala, apalagi sampai membuatnya patah semangat. Terbukti, hingga sekarang sudah hampir setahun dia masih betah dan senang mengajar di sini. "Ikhlas saja. Bagi saya, jika ikhlas, apa pun masalah tidak akan terasa.
Yang penting anak-anak panti mendapat pelajaran bahasa Inggris yang bisa dipakai nanti dalam kehidupan sehari-hari," katanya. Alhamdulillah, kata perempuan kelahiran Medan, 16 Juni 1994 ini, berbagai kemudahan diperolehnya seperti baru-baru ini dibelikan sepeda motor oleh neneknya. Neneknya melihat kegigihan dia mengajar di panti.
"Sekarang sudah bisa lebih cepat datang mengajar. Selanjutnya, saya hanya berharap keinginan anak-anak untuk belajar tidak menurun. Saya akan berjuang maksimal agar mereka memiliki kemampuan mengaplikasi bahasa Inggris yang akan bermanfaat untuk memajukan kehidupan anakanak ke depan.
Dengan bisa berbahasa internasional, lebih mudah untuk menguasai dunia," papar Icha. Dialah sosok pahlawan era sekarang. Tanpa mengeluh, dia sudah berbuat dan berjuang untuk memajukan kehidupan orang-orang dan lingkungan di sekitarnya.
Jelia amelida
Sekilas, suasana Jumat (14/8) sore di panti itu tidak ada yang istimewa. Namun ketika masuk lebih dalam lagi menuju ke bagian tengah areal panti, ada satu kegiatan berbeda yaitu belajar-mengajar di salah satu kelas di sana. Yang berbeda lagi, tenaga pengajarnya bukannya seorang guru, melainkan pemudi yang terlihat masih sangat muda.
Ketika tim KORAN SINDO MEDAN mengetuk pintu, si guru tadi langsung menyapa ramah dan mempersilakan masuk ke ruangan kelas itu. Namanya Icha Ihsani Crhistata Damanik atau biasa disapa Icha. Di sela-sela dia mengajar, kami sempat berbincang-bincang. Ternyata Icha sudah mengajar di sini sejak Oktober 2014 dan pelajaran yang diajarkannya adalah bahasa Inggris setiap Jumat.
Awal mula dia bisa mengajar di sini setelah mengetahui salah satu Komunitas Pemuda Peduli Panti atau biasa disebut Triple P membutuhkansukarelawan (volunter) untuk mengajar di panti. Begitu dapat informasi itu, dia langsung tertarik dan menyatakan ikut bergabung. Sebagaimana sukarelawan, diketahui segala sesuatu dikerjakan secara sukarela, yang berarti tidak hanya tidak mendapat fasilitas, sarana dan prasarana, tetapi juga gaji.
Hal itu tidak dipikirkan Icha. Padahal, Icha masih kuliah dan butuh uang tambahan. Meski dia mengajar tanpa digaji alias secara sukarela, dia tetap bersikukuh untuk mengajar. Keinginannya hanya ingin membagikan ilmu supaya ilmu yang dimiliki bisa bertambah. Jadi, dia ikhlas mengajar meskipun kadang ditinggalkan muridnya hanya karena malas. Maklum, dia tidak bisa memaksa anak-anak untuk belajar seperti layaknya di sekolah umum.
Kegiatannya sukarela, jadi yang ikut belajar juga anak-anak dengan keinginan kuat belajar saja. "Waktu awal-awal saya mengajar, pernah datang ke sini sesuai jadwal mengajar tapi malah tidak ada muridnya. Anak-anak mengaku lagi tidak bisa belajar karena ada kegiatan lain. Saya malah diminta balik lagi keesokan harinya," ungkapnya. Padahal, saat itu Icha belum memiliki kendaraan sendiri.
Ya, anak pertama dari tujuh bersaudara ini naik angkutan kota (angkot) dari rumahnya di Deli Tua menuju Pulau Brayan yang berjarak 22 kilometer (km), dan harus dua kali naik angkot. Meski begitu, Icha tidak menganggap itu menjadi kendala, apalagi sampai membuatnya patah semangat. Terbukti, hingga sekarang sudah hampir setahun dia masih betah dan senang mengajar di sini. "Ikhlas saja. Bagi saya, jika ikhlas, apa pun masalah tidak akan terasa.
Yang penting anak-anak panti mendapat pelajaran bahasa Inggris yang bisa dipakai nanti dalam kehidupan sehari-hari," katanya. Alhamdulillah, kata perempuan kelahiran Medan, 16 Juni 1994 ini, berbagai kemudahan diperolehnya seperti baru-baru ini dibelikan sepeda motor oleh neneknya. Neneknya melihat kegigihan dia mengajar di panti.
"Sekarang sudah bisa lebih cepat datang mengajar. Selanjutnya, saya hanya berharap keinginan anak-anak untuk belajar tidak menurun. Saya akan berjuang maksimal agar mereka memiliki kemampuan mengaplikasi bahasa Inggris yang akan bermanfaat untuk memajukan kehidupan anakanak ke depan.
Dengan bisa berbahasa internasional, lebih mudah untuk menguasai dunia," papar Icha. Dialah sosok pahlawan era sekarang. Tanpa mengeluh, dia sudah berbuat dan berjuang untuk memajukan kehidupan orang-orang dan lingkungan di sekitarnya.
Jelia amelida
(bbg)