Hujan Buatan Tak Efektif Atasi Kekeringan di DIY
A
A
A
YOGYAKARTA - Kekeringan berkepanjangan tengah melanda sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk DIY. Meski salah satu cara mengatasinya ialah dengan membuat hujan buatan, hal tersebut dinilai tak akan berdampak besar atasi kekeringan di DIY.
"Hujan buatan bisa saja dilakukan. Tapi saya rasa, hujan buatan bukan solusi terbaik atasi kekeringan untuk wilayah DIY. Pengelolaan sumber daya air dengan menampung air saat musim penghujan dan menggunakannya di musim kemarau lebih efektif ketimbang hujan buatan," ujar Dosen Fakultas Geografi UGM Ahmad Cahyadi, Jumat (31/7/2015).
Kepada Sindo, Ahmad menjelaskan, kekeringan di DIY juga merupakan dampak dari Elnino, meski memang dalam tingkatan sedang. Meski terdampak sedang, curah hujan di DIY telah mengalami pengurangan bahkan di bawah normal.
Wilayah Kabupaten Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta, menurutnya, masih tergolong baik. Namun, tidak demikian dengan Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo.
"Akibat pengaruh orografis Merapi, Kabupaten Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta dapat dikatakan tidak memerlukan hujan buatan. Irigasi masih berjalan baik dari mata air-mata air yang ada. Namun tidak demikian dengan Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo yang tidak mendapat dampak orografis Merapi," jelasnya.
Meski tergolong urgen dilakukannya hujan buatan di wilayah Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo untuk mengatasi kekeringan, Ahmad tidak menyarankannya. Selain biaya yang sangat mahal, keberhasilan mengurangi kekeringan terbilang kecil.
"Saya yakin, sekali dua kali dilakukan hujan buatan belum mampu mengatasi kekeringan. Ini dikarenakan kondisi yang sangat kering membuat penguapan menjadi banyak. Tanah pun membutuhkan air yang banyak karena resapan atau infiltrasi menjadi sangat tinggi akibat kekeringan. Padahal sekali melakukan hujan buatan biayanya bisa sampai puluhan juta," ungkapnya.
Kondisi lainnya yang menurut Ahmad bisa menggagalkan upaya hujan buatan ialah minimnya uap air akibat tingginya suhu alam. Uap air yang rendah membuat potensi awan di Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo pun menjadi kurang. Hal ini membuat hujan buatan bisa berakhir sia-sia.
"Hujan buatan dilakukan dengan cara menaburkan serbuk tertentu di udara atas awan. Serbuk-serbuk inilah yang kemudian mengikat uap air. Namun karena uap air minim, tentu tidak ada yang bisa diikat, sehingga sama saja."
"Hujan buatan bisa saja dilakukan. Tapi saya rasa, hujan buatan bukan solusi terbaik atasi kekeringan untuk wilayah DIY. Pengelolaan sumber daya air dengan menampung air saat musim penghujan dan menggunakannya di musim kemarau lebih efektif ketimbang hujan buatan," ujar Dosen Fakultas Geografi UGM Ahmad Cahyadi, Jumat (31/7/2015).
Kepada Sindo, Ahmad menjelaskan, kekeringan di DIY juga merupakan dampak dari Elnino, meski memang dalam tingkatan sedang. Meski terdampak sedang, curah hujan di DIY telah mengalami pengurangan bahkan di bawah normal.
Wilayah Kabupaten Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta, menurutnya, masih tergolong baik. Namun, tidak demikian dengan Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo.
"Akibat pengaruh orografis Merapi, Kabupaten Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta dapat dikatakan tidak memerlukan hujan buatan. Irigasi masih berjalan baik dari mata air-mata air yang ada. Namun tidak demikian dengan Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo yang tidak mendapat dampak orografis Merapi," jelasnya.
Meski tergolong urgen dilakukannya hujan buatan di wilayah Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo untuk mengatasi kekeringan, Ahmad tidak menyarankannya. Selain biaya yang sangat mahal, keberhasilan mengurangi kekeringan terbilang kecil.
"Saya yakin, sekali dua kali dilakukan hujan buatan belum mampu mengatasi kekeringan. Ini dikarenakan kondisi yang sangat kering membuat penguapan menjadi banyak. Tanah pun membutuhkan air yang banyak karena resapan atau infiltrasi menjadi sangat tinggi akibat kekeringan. Padahal sekali melakukan hujan buatan biayanya bisa sampai puluhan juta," ungkapnya.
Kondisi lainnya yang menurut Ahmad bisa menggagalkan upaya hujan buatan ialah minimnya uap air akibat tingginya suhu alam. Uap air yang rendah membuat potensi awan di Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo pun menjadi kurang. Hal ini membuat hujan buatan bisa berakhir sia-sia.
"Hujan buatan dilakukan dengan cara menaburkan serbuk tertentu di udara atas awan. Serbuk-serbuk inilah yang kemudian mengikat uap air. Namun karena uap air minim, tentu tidak ada yang bisa diikat, sehingga sama saja."
(zik)