Kiai Wahab Hasbullah, Panglima Tinggi dari Nahdlatul Ulama
A
A
A
KIAI Haji Abdul Wahab Hasbullah adalah salah seorang kiai Nahdlatul Ulama (NU) yang pengabdiannya pada negara tak perlu diragukan lagi. Berikut kisahnya.
Kiai Wahab lahir di Jombang pada 31 Maret 1888. Dia merupakan anak dari pasangan KH Hasbullah Said, pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, dengan Nyai Latifah.
Sejak kanak-kanak, Kiai Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala permainan. Beliau dididik ayahnya sendiri bagaimana cara hidup seorang santri. Dia diajak salat berjamaah dan sesekali dibangunkan malam hari untuk salat tahajud.
Kemudian, KH Hasbullah membimbingnya untuk menghafal Juz 'Amma dan membaca Alquran dengan tartil dan fasih. Lalu, dia dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari.
Kemauan keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak sejak masa kecil. Dia tekun dan sangat cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Hingga berusia 13 tahun, Wahab diasuh langsung oleh ayahnya.
Setelah bekal ilmunya dianggap cukup, Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Dia pergi ke satu pesantren, lalu ke pesantren lainnya, termasuk ke Pesantren Bangkalan, Madura, asuhan Syekh Kholil. Dia juga sempat nyantri di Pesantren Mojosari, Nganjuk, dan Tebuireng.
Abd Mun'im DZ dalam tulisan berjudul 'Kiai Wahab Hasbullah, Pahlawan Tanpa Gelar' yang dimuat www.nu.or.id menyebutkan, Wahab belajar ke Makkah untuk belajar kepada ulama terkemuka dari dunia Islam, termasuk para ulama Jawa yang ada di Makkah, seperti Syekh Machfudz Termas dan Syekh Ahmad Khotib dari tanah Minang.
Saat di Makkah, selain belajar agama, Wahab juga mempelajari perkembangan politik nasional dan internasional bersama aktivis dari seluruh dunia.
Sepulang dari Makkah 1914, Kiai Wahab tidak hanya mengasuh pesantrennya di Tambakberas, tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional. Ia tidak tega melihat kondisi bangsanya yang mengalami kemerosotan hidup yang mendalam, kurang memperoleh pendidikan, mengalami kemiskinan serta keterbelakanagan yang diakibatkan oleh penindasan penjajah.
Melihat kondisi itu, pada tahun 1916 Kiai Wahab mendirikan organisasi pergerakan yang diberi nama Nahdlatul Wathan (kebangkitan negeri). Organisasi ini bertujuan membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia.
Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia.
Kiai Hasyim Asy'ari memimpin organisiasi ini. Sementara, Kiai Wahab menjadi sekretaris dan bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah Kiai Bisri Syansuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
Mencermati perkembangan dunia yang semakin kompleks, pada tahun 1919, Kiai Wahab mendirikan Taswirul Afkar (pergolakan pemikiran).
Dikutip dari Wikipedia, awalnya, kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi, berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian kalangan pemuda.
Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Taswirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Forum ini juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antartokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua.
Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Kembali ke Wahab, selama masa pembentukan NU tahun 1926, kiai yang juga mengidentifikasi diri sebagai penerus perjuangan Pangeran Diponegoro karena selalu mengenakan serban yang disebutnya sebagai serban Diponegoro ini, selalu tampil di depan.
Sejak Muktamar NU diselenggarakan pertama kali di Surabaya hingga Bandung, Menes Banten, Banjarmasin, Palembang, dan Medan, ia selalu hadir dan memimpin.
Pengalamannya ini mempengaruhi sifat cermat dan tegas Wahab dalam mengambil keputusan. Ia selalu mampu menghadapi berbagai kesuliran, terutama dalam hubungannya dengan pemerintah kolonial.
Pada tahun 1942, Kiai Wahab memimpin Barisan Kiai di medan tempur. Secara diam-diam, Barisan Kiai menopang Hisbullah dan Sabilillah pada saat menjelang kemerdekaan dan dalam mempertahankan kemerdekaan.
Sepeninggal Kiai Hasyim Asy'ari pada 1947, kepemimpinan NU sepenuhnya berada di tangan Kiai Wahab.
Saat Kiai Wahab akan mendirikan partai sendiri, tidak semua kalangan NU menyetujuinya. Apalagi kalangan Masyumi yang menuduh NU berupaya memecah belah persatuan umat Islam. NU dituding tidak memiliki ahli politik dan sejumlah bidang lainnya.
Menanggapi tudingan itu, dia menjawab,"Kalau saya mau beli mobil, si penjual tidak akan bertanya apakah saudara bisa menyopir. Kalau dia bertanya juga, saya akan membuat pengumuman butuh sopir saat itu juga, para calon sopir akan segera mengantre di depan rumah saya."
Saat kalangan NU yang lain masih ragu, dia kembali menunjukkan keyakinan atas pilihannya itu. "Silakan saudara tetap di Masyumi, saya akan sendirian mendirikan Partai NU dan hanya butuh seorang sekretaris. Insya Allah NU akan menjadi partai besar."
Akhirnya, semua kiai setuju, termasuk Kiai Abdul Wahid Hasyim. (Baca juga: Mengenang Wahid Hasyim, Pahlawan Nasional dari Jombang)
Pilihan Kiai Wahab tak salah. Pada Pemilu 1955, NU menjadi partai terbesar ketiga setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi.
Bagi NU, Kiai Wahab adalah pengambil keputusan yang sangat menentukan. Perintahnya sangat dipatuhi pengurus pusat hingga ke daerah. Bukan Karena otoriter, tapi karena memang sangat menguasai kewilayahan dan menguasai strategi gerakan.
Karena itu pula, tulis Abd Mun'im DZ, para kiai sering menyebut Kiai Wahab 'panglima tinggi'.
Perjalanan hidup Kiai Wahab berakhir pada 29 Desember 1971. Setelah terpilih kembali sebagai Rais Aam PBNU pada Muktamar NU 20-25 Desember 1971 di Surabaya, empat hari kemudian dia meninggal dunia.
Perjuangannya selama hidup tak sia-sia. Pada 7 November 2014, Presiden Joko Widodo menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia untuk Kiai Wahab.
Sumber:
Wikipedia, http://biografiulama.blogspot.com, dan www.nu.or.id.
PILIHAN:
Ponpes Metal, Dipimpin Kiai Nyentrik Penakluk Harimau
Kiai Wahab lahir di Jombang pada 31 Maret 1888. Dia merupakan anak dari pasangan KH Hasbullah Said, pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, dengan Nyai Latifah.
Sejak kanak-kanak, Kiai Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala permainan. Beliau dididik ayahnya sendiri bagaimana cara hidup seorang santri. Dia diajak salat berjamaah dan sesekali dibangunkan malam hari untuk salat tahajud.
Kemudian, KH Hasbullah membimbingnya untuk menghafal Juz 'Amma dan membaca Alquran dengan tartil dan fasih. Lalu, dia dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari.
Kemauan keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak sejak masa kecil. Dia tekun dan sangat cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Hingga berusia 13 tahun, Wahab diasuh langsung oleh ayahnya.
Setelah bekal ilmunya dianggap cukup, Wahab merantau untuk menuntut ilmu. Dia pergi ke satu pesantren, lalu ke pesantren lainnya, termasuk ke Pesantren Bangkalan, Madura, asuhan Syekh Kholil. Dia juga sempat nyantri di Pesantren Mojosari, Nganjuk, dan Tebuireng.
Abd Mun'im DZ dalam tulisan berjudul 'Kiai Wahab Hasbullah, Pahlawan Tanpa Gelar' yang dimuat www.nu.or.id menyebutkan, Wahab belajar ke Makkah untuk belajar kepada ulama terkemuka dari dunia Islam, termasuk para ulama Jawa yang ada di Makkah, seperti Syekh Machfudz Termas dan Syekh Ahmad Khotib dari tanah Minang.
Saat di Makkah, selain belajar agama, Wahab juga mempelajari perkembangan politik nasional dan internasional bersama aktivis dari seluruh dunia.
Sepulang dari Makkah 1914, Kiai Wahab tidak hanya mengasuh pesantrennya di Tambakberas, tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional. Ia tidak tega melihat kondisi bangsanya yang mengalami kemerosotan hidup yang mendalam, kurang memperoleh pendidikan, mengalami kemiskinan serta keterbelakanagan yang diakibatkan oleh penindasan penjajah.
Melihat kondisi itu, pada tahun 1916 Kiai Wahab mendirikan organisasi pergerakan yang diberi nama Nahdlatul Wathan (kebangkitan negeri). Organisasi ini bertujuan membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia.
Untuk memperkuat gerakannya itu, tahun 1918 Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan saudagar) sebagai pusat penggalangan dana bagi perjuangan pengembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia.
Kiai Hasyim Asy'ari memimpin organisiasi ini. Sementara, Kiai Wahab menjadi sekretaris dan bendaharanya. Salah seorang anggotanya adalah Kiai Bisri Syansuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
Mencermati perkembangan dunia yang semakin kompleks, pada tahun 1919, Kiai Wahab mendirikan Taswirul Afkar (pergolakan pemikiran).
Dikutip dari Wikipedia, awalnya, kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi, berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian kalangan pemuda.
Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Taswirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Forum ini juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antartokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua.
Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Kembali ke Wahab, selama masa pembentukan NU tahun 1926, kiai yang juga mengidentifikasi diri sebagai penerus perjuangan Pangeran Diponegoro karena selalu mengenakan serban yang disebutnya sebagai serban Diponegoro ini, selalu tampil di depan.
Sejak Muktamar NU diselenggarakan pertama kali di Surabaya hingga Bandung, Menes Banten, Banjarmasin, Palembang, dan Medan, ia selalu hadir dan memimpin.
Pengalamannya ini mempengaruhi sifat cermat dan tegas Wahab dalam mengambil keputusan. Ia selalu mampu menghadapi berbagai kesuliran, terutama dalam hubungannya dengan pemerintah kolonial.
Pada tahun 1942, Kiai Wahab memimpin Barisan Kiai di medan tempur. Secara diam-diam, Barisan Kiai menopang Hisbullah dan Sabilillah pada saat menjelang kemerdekaan dan dalam mempertahankan kemerdekaan.
Sepeninggal Kiai Hasyim Asy'ari pada 1947, kepemimpinan NU sepenuhnya berada di tangan Kiai Wahab.
Saat Kiai Wahab akan mendirikan partai sendiri, tidak semua kalangan NU menyetujuinya. Apalagi kalangan Masyumi yang menuduh NU berupaya memecah belah persatuan umat Islam. NU dituding tidak memiliki ahli politik dan sejumlah bidang lainnya.
Menanggapi tudingan itu, dia menjawab,"Kalau saya mau beli mobil, si penjual tidak akan bertanya apakah saudara bisa menyopir. Kalau dia bertanya juga, saya akan membuat pengumuman butuh sopir saat itu juga, para calon sopir akan segera mengantre di depan rumah saya."
Saat kalangan NU yang lain masih ragu, dia kembali menunjukkan keyakinan atas pilihannya itu. "Silakan saudara tetap di Masyumi, saya akan sendirian mendirikan Partai NU dan hanya butuh seorang sekretaris. Insya Allah NU akan menjadi partai besar."
Akhirnya, semua kiai setuju, termasuk Kiai Abdul Wahid Hasyim. (Baca juga: Mengenang Wahid Hasyim, Pahlawan Nasional dari Jombang)
Pilihan Kiai Wahab tak salah. Pada Pemilu 1955, NU menjadi partai terbesar ketiga setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi.
Bagi NU, Kiai Wahab adalah pengambil keputusan yang sangat menentukan. Perintahnya sangat dipatuhi pengurus pusat hingga ke daerah. Bukan Karena otoriter, tapi karena memang sangat menguasai kewilayahan dan menguasai strategi gerakan.
Karena itu pula, tulis Abd Mun'im DZ, para kiai sering menyebut Kiai Wahab 'panglima tinggi'.
Perjalanan hidup Kiai Wahab berakhir pada 29 Desember 1971. Setelah terpilih kembali sebagai Rais Aam PBNU pada Muktamar NU 20-25 Desember 1971 di Surabaya, empat hari kemudian dia meninggal dunia.
Perjuangannya selama hidup tak sia-sia. Pada 7 November 2014, Presiden Joko Widodo menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia untuk Kiai Wahab.
Sumber:
Wikipedia, http://biografiulama.blogspot.com, dan www.nu.or.id.
PILIHAN:
Ponpes Metal, Dipimpin Kiai Nyentrik Penakluk Harimau
(zik)