(Tidak) Ada Lebaran bagi Kaum Miskin Kota

(Tidak) Ada Lebaran bagi Kaum Miskin Kota
A
A
A
Hari Idul Fitri atau Lebaran menjadi hari kemenangan bagi umat Islam setelah berpuasa selama sebulan. Pada momen ini umat muslim saling meningkatkan silaturahmi, mengunjungi sanak saudara, bermaafmaafan, dan berkumpul dengan keluarga.
Namun, bagi sebagian masyarakat Kota Medan, khususnya kaum miskin perkotaan, Lebaran berlalu begitu saja. Kondisi hidup yang serba pas-pasan telah membuat mereka seolah tak bisa lagi merasakan makna hari kemenangan. Lebaran bagi mereka sama saja dengan hari-hari lain yang telah mereka lalui.
Tetap bekerja dan bertahan hidup. Bagaimana tidak, saat para keluarga lain berkumpul dan menikmati menu istimewa pada Lebaran, kaum miskin perkotaan ini bahkan masih ada yang terpaksa melanjutkan “berpuasa”. Tidak ada uang untuk membeli makanan dan minuman. Kondisi itu pun tidak asing lagi bagi mereka karena sudah terbiasa tidak makan dan menahan lapar dan haus.
Kata maaf atas kekhilafan, saling berjabat tangan, serta mengunjungi sanak saudara, pun urung dilakukan, lagi-lagi karena tidak punya uang. Seperti yang diungkapkan Arjuna Batubara atau akrab dipanggil Salken, 48. Sudah 16 tahun lamanya, warga yang tinggal di kompleks Rusunawa Amplas ini tidak pernah pulang ke kampung halaman di Kabupaten Batubara. Keterbatasan ekonomi menjadi alasan utama. Apalagi setelah suaminya meninggal, kehidupan terasa semakin sulit. Ia harus berjuang sendiri menghidupi kelima orang anaknya.
“Menurutku Lebaran dengan tidak Lebaran sama saja, puasa dengan tidak puasa sama saja. Karena setiap bulan kami kebanyakan berpuasa ketimbang tidak. Beginilah kehidupan sehari-hari kami,” katanya kepada KORAN SINDO MEDAN baru-baru ini. Hidup sulit membuat Arjuna mencoba banyak pekerjaan. Dia pernah menjual minuman keras seperti tuak untuk para sopir angkutan kota (angkot) yang sehari-hari mangkal di Terminal Amplas dan menjual tambul dari daging biawak dan ular.
Semua itu dia lakoni agar dapur tetap mengepul sehingga kelima orang anaknya bisa makan meskipun seadanya. “Semua pekerjaan, mulai dari berdagang asongan, semir sepatu, bahkan menjual diri untuk mendapatkan uang, sudah pernah kulakukan untuk hidup dan demi anakanakku. Yang belum pernah kulakukan hanya merampok,” ujar Arjuna kepada KORAN SINDO MEDAN baru-baru ini.
Dia pun menyadari beberapa dari usaha yang dilakukan untuk mencari nafkah, salah dan bertentangan dengan ajaran agama. Tetapi demi kelangsungan hidup, dia rela melakukan apa saja, bahkan melakukan pekerjaan hina asal tidak merugikan orang lain.
“Banyak orang bilang, menjual diri itu dosa dan bertentangan dengan agama. Banyak juga yang bilang apa tidak ada pekerjaan lain selain menjual diri? Banyak juga orang bilang mengapa tidak mencari pekerjaan lain? Tetapi semua pertanyaan itu hanya pertanyaan, tidak ada yang memberikan solusi pekerjaan apa yang harus kami lakukan. Sebab kami tak punya pendidikan,” ungkapnya.
Sementara warga Rusunawa Amplas lainnya, Lia, 29, tidak bisa berlebaran ke tempat saudaranya meskipun masih berada di kawasan Medan Tembung. Pendapatannya sebagai pedagang asongan di Terminal Amplas yang paspasan, membuat dia menunda keinginannya berkumpul dengan keluarga. Sebab biaya perjalanan dari tempat tinggalnya sudah bisa digunakan untuk makan malam bersama anggota keluarga.
“Ongkos ke sana (Tembung) sudah bisa kami gunakan untuk sekali makan. Kalau keinginan memang rasanya sangat ingin berlebaran dengan keluarga. Tetapi, kondisi kami tidak memungkinkan, apalagi anak-anak sudah sekolah sehingga banyak yang harus dipenuhi,” kata Lia yang memiliki tiga anak. Lia yang tinggal di Rusunawa Amplas itu sejak lima tahun lalu mengungkapkan, hidup sulit membuat dia tidak punya pilihan dan menikmati hidup apa adanya, termasuk memilih tempat tinggal.
“Aku di sini karena tidak ada pilihan lain selain di sini. Selain harganya murah, jarak dari tempat aku berjualan juga tidak begitu jauh,” katanya. Menurut dia, tinggal di tempat layak adalah impian semua warga yang tinggal di Rusunawa Amplas. Namun, dengan kondisi ekonomi serba pas-pasan, niat untuk tinggal di tempat layak juga urung dilakukan.
“Tinggal di rumah yang layak hanya mimpi bagiku karena untuk makan saja kami harus sehemathematnya. Kalau pada umumnya orang lain makan tiga kali sehari, kami cukup dua kali. Bahkan, keseringan hanya sekali dalam sehari. Itu pun kadang-kadang hanya mie instan dengan nasi tambah saus dan garam,” ujar dia. Di sisi lain, baik Arjuna, Lia, dan sejumlah warga lainnya, terkadang harus berhadapan dengan oknum petugas Perusahaan Daerah (PD) Pasar Kota Medan yang kerap bertindak kasar saat meminta uang sewa rumah. Bahkan, ada petugas tak jarang memutus arus listrik di kawasan itu supaya para penghuninya pindah dari rusunawa tersebut.
“Selain tak punya uang untuk berpergian ke tempat saudara, kami juga takut meninggalkan rumah ini karena petugas PD Pasar kerap mengusir kami jika telat bayar sewa rumah. Mereka tidak segan-segan membuang perabotan rumah kami, maka kami tak pernah meninggalkan tempat ini, kecuali sudah siap- untuk pindah tempat tinggal,” tuturnya. Arjuna Boru Batubara dan Lia hanya salah satu dari 44 kepala keluarga (KK) yang tinggal di rusunawa berukuran 2,5 meter x 6 meter di Kelurahan Amplas, Kecamatan Medan Amplas, dengan ekonomi jauh dari cukup.
Bahkan, rumah tempat tinggalnya tak punya kamar mandi yang layak digunakan. Begitu juga dengan pasokan air bersih di kawasan itu sangat sulit didapatkan sehingga mereka harus membeli air minum. Berbeda dengan Arjuna Boru Batubara dan Lia, Ismail Kocik, 85, sejak empat tahun lalu sudah tinggal di bawah kolong Jembatan Tumpuan Batu, Desa Sigara-gara, Kecamatan Patumbak, karena kondisi ekonomi yang sulit. Kondisi kakek tua ini lebih memprihatinkan.
Karena tak punya uang untuk menyewa rumah tempat tinggal, dia terpaksa tidur di bawah kolong jembatan. Pada usianya yang tua, Ismail harus menggantungkan hidup dari berjualan barang bekas atau botot di tempat pembuangan sampah, Pasar III, Patumbak. Begitu pun hasilnya sangat jauh untuk membeli kebutuhan hidup yang layak. “Di sini (kolong jembatan) aku hidup sendiri.
Tetapi masih banyak orang yang kehidupannya sama seperti aku, makan nasi hanya sekali dalam dua hari sudah biasa. Apalagi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) membuat harga kebutuhan pokok melonjak naik,” katanya. Istrinya, Dewi Murni, 65, tidak tinggal bersamanya karena menjadi pembantu rumah tangga (PRT) di Patumbak dan harus tinggal di rumah majikan. Sementara anaknya enam orang, tapi keberadaannya pun tak diketahui karena sejak kecil hidup terluntalunta di jalanan.
Lantas ketika Ismail ditanya mengenai bagaimana merayakan Lebaran, dia mengaku tidak terpikirkan merayakannya. Sebab dia harus tetap bekerja mencari barang. Tujuannya hanya bagaimana agar dia bisa makan. Padahal tak banyak yang bisa dia peroleh. Selama empat hari berkeliling mencari botot, dia hanya mampu memperoleh uang senilai Rp30.000 dari penjualan botot. Uang itu digunakan untuk membeli beras dan ikan. Kalau tidak ada uang, dia pun harus menahan lapar.
“Untuk menahan rasa lapar sudah biasa, mengikat pinggang dan banyak minum air putih. Usiaku sudah tua, kekuatan untuk mencari botot juga sangat berkurang. Dapat uang Rp30.000 pun sudah sangat bersyukur, Alhamdulillah,” ujar dia. Tetty, 38, seorang pemulung barang bekas di tempat pembuangan sampah di Pasar II, Patumbak, mengaku tidak merayakan Lebaran sejak sepuluh tahun lalu karena keterbatasan ekonomi.
“Keinginanku sama seperti keinginan warga lainnya, mengunjungi keluarga, maaf-maafan, bersalaman, dan lainnya. Tetapi aku tak berdaya melakukannya,” ujar dia. Meskipun tidak bisa mengunjungi saudaranya saat Lebaran, dia masih bersyukur pada hari itu. Lebaran justru jadi momen menguntungkan dan mendatangkan rezeki untuk dia karena banyak warga Kota Medan membuang barang-barang bekas.
“Tuhan itu Mahatahu, apa yang kita perbuat, apa yang kita lakukan, dan apa yang tidak kita tahu, Dia pasti tahu. Pekerjaan ini sudah bahagian dari ibadah menurutku, meskipun aku tidak mengunjungi keluargaku dan sungkeman kepada orang tua,” kata warga Desa Sigara-gara, Kecamatan Patumbak itu.
Solusi untuk Kemiskinan
Pengamat sosial dari Universitas Sumatera Utara (USU), Mujianto Darmawan mengatakan, makna dari Lebaran pada prinsipnya membagi dari pihak yang punya kepada tidak punya. “Konsep zakat dalam hukum Islam itu sebenarnya belum ampuh untuk jadi solusi bagi mereka yang tidak punya. Sebab zakat yang diberikan itu hanya bisa bertahan selama lima hari,” katanya.
Menurut dia, pemerintah maupun lembaga lintas agama harus mampu mencari solusi untuk mengeluarkan masyarakat dari kondisi kemiskinan meskipun tidak bisa dihapuskan atau dihilangkan. “Ini sebenarnya tergantung kepedulian pemerintah, setidaknya untuk mendata berapa banyak masyarakatnya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kemudian peran tokoh dan lembaga lintas agama, baik Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan lainnya,” ujar dia.
Memang, kata Mujianto, persoalan kemiskinan itu ada. Sebab ada sejumlah orang yang malas bekerja dan lebih memilih jadi pengemis. Tetapi pada persoalan lain, persoalan kemiskinan itu terjadi karena kurang lapangan pekerjaan. “Kesempatan bekerja untuk mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan itu tidak ada, maka tidak heran banyak masyarakat miskin dan hidup dalam bayang-bayang kemiskinan,” katanya. ??frans marbun
Namun, bagi sebagian masyarakat Kota Medan, khususnya kaum miskin perkotaan, Lebaran berlalu begitu saja. Kondisi hidup yang serba pas-pasan telah membuat mereka seolah tak bisa lagi merasakan makna hari kemenangan. Lebaran bagi mereka sama saja dengan hari-hari lain yang telah mereka lalui.
Tetap bekerja dan bertahan hidup. Bagaimana tidak, saat para keluarga lain berkumpul dan menikmati menu istimewa pada Lebaran, kaum miskin perkotaan ini bahkan masih ada yang terpaksa melanjutkan “berpuasa”. Tidak ada uang untuk membeli makanan dan minuman. Kondisi itu pun tidak asing lagi bagi mereka karena sudah terbiasa tidak makan dan menahan lapar dan haus.
Kata maaf atas kekhilafan, saling berjabat tangan, serta mengunjungi sanak saudara, pun urung dilakukan, lagi-lagi karena tidak punya uang. Seperti yang diungkapkan Arjuna Batubara atau akrab dipanggil Salken, 48. Sudah 16 tahun lamanya, warga yang tinggal di kompleks Rusunawa Amplas ini tidak pernah pulang ke kampung halaman di Kabupaten Batubara. Keterbatasan ekonomi menjadi alasan utama. Apalagi setelah suaminya meninggal, kehidupan terasa semakin sulit. Ia harus berjuang sendiri menghidupi kelima orang anaknya.
“Menurutku Lebaran dengan tidak Lebaran sama saja, puasa dengan tidak puasa sama saja. Karena setiap bulan kami kebanyakan berpuasa ketimbang tidak. Beginilah kehidupan sehari-hari kami,” katanya kepada KORAN SINDO MEDAN baru-baru ini. Hidup sulit membuat Arjuna mencoba banyak pekerjaan. Dia pernah menjual minuman keras seperti tuak untuk para sopir angkutan kota (angkot) yang sehari-hari mangkal di Terminal Amplas dan menjual tambul dari daging biawak dan ular.
Semua itu dia lakoni agar dapur tetap mengepul sehingga kelima orang anaknya bisa makan meskipun seadanya. “Semua pekerjaan, mulai dari berdagang asongan, semir sepatu, bahkan menjual diri untuk mendapatkan uang, sudah pernah kulakukan untuk hidup dan demi anakanakku. Yang belum pernah kulakukan hanya merampok,” ujar Arjuna kepada KORAN SINDO MEDAN baru-baru ini.
Dia pun menyadari beberapa dari usaha yang dilakukan untuk mencari nafkah, salah dan bertentangan dengan ajaran agama. Tetapi demi kelangsungan hidup, dia rela melakukan apa saja, bahkan melakukan pekerjaan hina asal tidak merugikan orang lain.
“Banyak orang bilang, menjual diri itu dosa dan bertentangan dengan agama. Banyak juga yang bilang apa tidak ada pekerjaan lain selain menjual diri? Banyak juga orang bilang mengapa tidak mencari pekerjaan lain? Tetapi semua pertanyaan itu hanya pertanyaan, tidak ada yang memberikan solusi pekerjaan apa yang harus kami lakukan. Sebab kami tak punya pendidikan,” ungkapnya.
Sementara warga Rusunawa Amplas lainnya, Lia, 29, tidak bisa berlebaran ke tempat saudaranya meskipun masih berada di kawasan Medan Tembung. Pendapatannya sebagai pedagang asongan di Terminal Amplas yang paspasan, membuat dia menunda keinginannya berkumpul dengan keluarga. Sebab biaya perjalanan dari tempat tinggalnya sudah bisa digunakan untuk makan malam bersama anggota keluarga.
“Ongkos ke sana (Tembung) sudah bisa kami gunakan untuk sekali makan. Kalau keinginan memang rasanya sangat ingin berlebaran dengan keluarga. Tetapi, kondisi kami tidak memungkinkan, apalagi anak-anak sudah sekolah sehingga banyak yang harus dipenuhi,” kata Lia yang memiliki tiga anak. Lia yang tinggal di Rusunawa Amplas itu sejak lima tahun lalu mengungkapkan, hidup sulit membuat dia tidak punya pilihan dan menikmati hidup apa adanya, termasuk memilih tempat tinggal.
“Aku di sini karena tidak ada pilihan lain selain di sini. Selain harganya murah, jarak dari tempat aku berjualan juga tidak begitu jauh,” katanya. Menurut dia, tinggal di tempat layak adalah impian semua warga yang tinggal di Rusunawa Amplas. Namun, dengan kondisi ekonomi serba pas-pasan, niat untuk tinggal di tempat layak juga urung dilakukan.
“Tinggal di rumah yang layak hanya mimpi bagiku karena untuk makan saja kami harus sehemathematnya. Kalau pada umumnya orang lain makan tiga kali sehari, kami cukup dua kali. Bahkan, keseringan hanya sekali dalam sehari. Itu pun kadang-kadang hanya mie instan dengan nasi tambah saus dan garam,” ujar dia. Di sisi lain, baik Arjuna, Lia, dan sejumlah warga lainnya, terkadang harus berhadapan dengan oknum petugas Perusahaan Daerah (PD) Pasar Kota Medan yang kerap bertindak kasar saat meminta uang sewa rumah. Bahkan, ada petugas tak jarang memutus arus listrik di kawasan itu supaya para penghuninya pindah dari rusunawa tersebut.
“Selain tak punya uang untuk berpergian ke tempat saudara, kami juga takut meninggalkan rumah ini karena petugas PD Pasar kerap mengusir kami jika telat bayar sewa rumah. Mereka tidak segan-segan membuang perabotan rumah kami, maka kami tak pernah meninggalkan tempat ini, kecuali sudah siap- untuk pindah tempat tinggal,” tuturnya. Arjuna Boru Batubara dan Lia hanya salah satu dari 44 kepala keluarga (KK) yang tinggal di rusunawa berukuran 2,5 meter x 6 meter di Kelurahan Amplas, Kecamatan Medan Amplas, dengan ekonomi jauh dari cukup.
Bahkan, rumah tempat tinggalnya tak punya kamar mandi yang layak digunakan. Begitu juga dengan pasokan air bersih di kawasan itu sangat sulit didapatkan sehingga mereka harus membeli air minum. Berbeda dengan Arjuna Boru Batubara dan Lia, Ismail Kocik, 85, sejak empat tahun lalu sudah tinggal di bawah kolong Jembatan Tumpuan Batu, Desa Sigara-gara, Kecamatan Patumbak, karena kondisi ekonomi yang sulit. Kondisi kakek tua ini lebih memprihatinkan.
Karena tak punya uang untuk menyewa rumah tempat tinggal, dia terpaksa tidur di bawah kolong jembatan. Pada usianya yang tua, Ismail harus menggantungkan hidup dari berjualan barang bekas atau botot di tempat pembuangan sampah, Pasar III, Patumbak. Begitu pun hasilnya sangat jauh untuk membeli kebutuhan hidup yang layak. “Di sini (kolong jembatan) aku hidup sendiri.
Tetapi masih banyak orang yang kehidupannya sama seperti aku, makan nasi hanya sekali dalam dua hari sudah biasa. Apalagi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) membuat harga kebutuhan pokok melonjak naik,” katanya. Istrinya, Dewi Murni, 65, tidak tinggal bersamanya karena menjadi pembantu rumah tangga (PRT) di Patumbak dan harus tinggal di rumah majikan. Sementara anaknya enam orang, tapi keberadaannya pun tak diketahui karena sejak kecil hidup terluntalunta di jalanan.
Lantas ketika Ismail ditanya mengenai bagaimana merayakan Lebaran, dia mengaku tidak terpikirkan merayakannya. Sebab dia harus tetap bekerja mencari barang. Tujuannya hanya bagaimana agar dia bisa makan. Padahal tak banyak yang bisa dia peroleh. Selama empat hari berkeliling mencari botot, dia hanya mampu memperoleh uang senilai Rp30.000 dari penjualan botot. Uang itu digunakan untuk membeli beras dan ikan. Kalau tidak ada uang, dia pun harus menahan lapar.
“Untuk menahan rasa lapar sudah biasa, mengikat pinggang dan banyak minum air putih. Usiaku sudah tua, kekuatan untuk mencari botot juga sangat berkurang. Dapat uang Rp30.000 pun sudah sangat bersyukur, Alhamdulillah,” ujar dia. Tetty, 38, seorang pemulung barang bekas di tempat pembuangan sampah di Pasar II, Patumbak, mengaku tidak merayakan Lebaran sejak sepuluh tahun lalu karena keterbatasan ekonomi.
“Keinginanku sama seperti keinginan warga lainnya, mengunjungi keluarga, maaf-maafan, bersalaman, dan lainnya. Tetapi aku tak berdaya melakukannya,” ujar dia. Meskipun tidak bisa mengunjungi saudaranya saat Lebaran, dia masih bersyukur pada hari itu. Lebaran justru jadi momen menguntungkan dan mendatangkan rezeki untuk dia karena banyak warga Kota Medan membuang barang-barang bekas.
“Tuhan itu Mahatahu, apa yang kita perbuat, apa yang kita lakukan, dan apa yang tidak kita tahu, Dia pasti tahu. Pekerjaan ini sudah bahagian dari ibadah menurutku, meskipun aku tidak mengunjungi keluargaku dan sungkeman kepada orang tua,” kata warga Desa Sigara-gara, Kecamatan Patumbak itu.
Solusi untuk Kemiskinan
Pengamat sosial dari Universitas Sumatera Utara (USU), Mujianto Darmawan mengatakan, makna dari Lebaran pada prinsipnya membagi dari pihak yang punya kepada tidak punya. “Konsep zakat dalam hukum Islam itu sebenarnya belum ampuh untuk jadi solusi bagi mereka yang tidak punya. Sebab zakat yang diberikan itu hanya bisa bertahan selama lima hari,” katanya.
Menurut dia, pemerintah maupun lembaga lintas agama harus mampu mencari solusi untuk mengeluarkan masyarakat dari kondisi kemiskinan meskipun tidak bisa dihapuskan atau dihilangkan. “Ini sebenarnya tergantung kepedulian pemerintah, setidaknya untuk mendata berapa banyak masyarakatnya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kemudian peran tokoh dan lembaga lintas agama, baik Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan lainnya,” ujar dia.
Memang, kata Mujianto, persoalan kemiskinan itu ada. Sebab ada sejumlah orang yang malas bekerja dan lebih memilih jadi pengemis. Tetapi pada persoalan lain, persoalan kemiskinan itu terjadi karena kurang lapangan pekerjaan. “Kesempatan bekerja untuk mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan itu tidak ada, maka tidak heran banyak masyarakat miskin dan hidup dalam bayang-bayang kemiskinan,” katanya. ??frans marbun
(ftr)