Mohammad Hatta, Buku dan Revolusi Indonesia
A
A
A
TIDAK ada tokoh lain di Indonesia yang sangat mencintai buku seperti Mohammad Hatta. Hingga ada anekdot yang menyatakan istri pertama proklamator kemerdekaan Indonesia ini adalah buku-bukunya.
Kakak perempuan Hatta, Lembaq Tuah mengatakan, buku merupakan bagian penting dari kehidupan Hatta. Di manapun dia berada, selalu ada tumpukan buku. Bahkan saat di penjara, Hatta selalu bersama buku.
Buku selalu menjadi sahabat Hatta yang paling setia. Kemanapun dia pergi, buku selalu menemaninya. Dia menjaga buku-bukunya dengan sangat baik, mulus tanpa coretan, bersih dari debu, dan tanpa lipatan.
Coba bandingkan dengan kebiasaan Soekarno, sahabatnya yang suka menulis catatan-catatan penting dalam setiap lembaran buku-bukunya. Hatta tentu akan marah besar jika buku yang dicoret itu miliknya.
"Setiap lembar dari bukunya selalu dibukanya dengan hati-hati dan dibacanya secara cermat," kenang Lembaq Tuah, terhadap kebiasaan Hatta dalam membaca dan memperlakukan buku-bukunya.
Pada usia lima tahun, Hatta sudah bisa membaca dan menulis. Dia juga sudah mulai belajar bahasa Belanda. Padahal saat itu dia belum masuk Sekolah Rakyat (SR). Semua pelajarannya didapatkan di rumah.
Baru pada usia enam tahun, Hatta masuk SR. Di sekolah ini, dia hanya belajar selama tiga tahun. Lalu dipindahkan ke sekolah orang kulit putih Europeesche Lagere School atau ELS. Dia lulus tahun 1913.
Setelah lulus ELS, Hatta sudah pandai menggunakan bahasa Belanda. Cara dia berbahasa Belanda juga sangat halus, melebihi orang Belanda asli dari kalangan petani yang bekerja untuk pemerintah kolonial.
Lulus ELS, Hatta melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang. Saat menjadi pelajar MULO, Hatta gemar membaca koran-koran yang rutin dikirim ke sekolahnya.
Beberapa koran yang sering dibaca Hatta adalah Oetoesan Hindia dan Neratja. Dari koran-koran inilah Hatta mulai mengenal dunia pergerakan dan mengetahui pemikiran-pemikiran para tokoh Serikat Islam (SI).
Sejak itu, Hatta mulai terlibat dalam aktivitas organisasi pergerakan Jong Sumatranen Bond (JBS) dan menjabat bendaharanya. Di tengah kesibukannya berorganisasi, Hatta masih sempat membaca buku.
Buku-buku pelajarannya di sekolah, dibaca hingga hafal di luar kepala. Guru-gurunya sangat kagum dengan dia. Pada 1917, Hatta lulus dengan predikat siswa terbaik mengalahkan anak-anak Belanda.
Dari Padang, Hatta pindah ke Jakarta dan meneruskan pendidikannya ke sekolah dagang. Dia masuk sekolah dagang Prins Hendrik School atau (PHS) dan mendalami disiplin ilmu ekonomi-politik.
Awalnya, Hatta ingin melanjutkan usaha dagang orangtuanya dengan mengambil sekolah dagang. Namun, jalan sejarah membawanya ke arah lain. Dia ditakdirkan menjadi pemimpin besar revolusi Indonesia.
Saat Hatta berada di Jakarta, aktivitas organisasinya semakin padat. Dia dipilih menjadi bendahara pusat JBS. Namanya pun semakin dikenal. Sejak itu, hubungannya dengan tokoh pergerakan lainnya mulai terjalin.
Sambil menyelam minum air, Hatta tetap fokus dengan pendidikannya sambil melanjutkan hobinya membaca dan menulis. Salah satu tulisannya dimuat majalah Jong Sumatera berjudul Namaku Hindania.
Selama di Jakarta ini jugalah kegemaran Hatta mengoleksi buku dimulai. Dalam otobiografinya, Hatta menyebutkan buku pertama yang dimilikinya didapat dari seorang rekan bapaknya yang baik hati.
Saat itu, Hatta diajak jalan-jalan ke toko buku di kawasan Harmoni, dan pulangnya dibelikan beberapa buku tebal, antara lain dua jilid Staathuishoudkunde, enam jilid De Socialisten, dan Heed Jaar 2000.
"Inilah buku-buku yang bermula kumiliki yang menjadi dasar (dari) perpustakaanku," kenang Hatta, dalam buku Memoir-nya.
Dari Jakarta, Hatta memperdalam ilmu ekonomi-politik nya di Sekolah Tinggi Dagang atau Handels Hoogeschool, di Rotterdam yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi Ekonomi atau Economische Hoogeschool.
Selama di Belanda, Hatta bukan hanya asyik dengan buku-bukunya. Dia juga aktif dalam Perhimpunan Hindia atau Indische Vereeniging yang didirikan sejak tahun 1908 oleh mahasiswa Indonesia di Belanda.
Di organisasi itu, Hatta bertemu dengan sejumlah mahasiswa yang lebih tua dan banyak menghabiskan waktunya dalam organisasi. Pemikiran Hatta dalam politik dan pergerakan pun mengalami kematangan di sini.
Pengalamannya selama menjadi bendahara JBS membuat nama Hatta cukup dikenal oleh para pemimpin Perhimpunan Hindia yang kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) atau Indonesische Vereeniging.
Saat Hatta bergabung dengan PI, suhu politik yang melingkupi para mahasiswa sedang hangat-hangatnya. Dia lalu diminta menghidupkan lagi majalah dwi bulanan milik organisasi Hindia Poetra.
Di tangan Hatta, majalah ini berperan sebagai senjata yang ampuh dalam menyebarkan semangat antikolonialisme. Ide nonkooperasi yang menjadi sikap politik Hatta dikemudian hari juga lahir dari sini.
Majalah Hindia Poetra kemudian menjadi Indonesia Merdeka. Dengan bergantinya nama Hindia menjadi Indonesia, ditambah kata Merdeka, pergerakan PI di Belanda menjadi semakin radikal dari sebelumnya.
Perubahan radikal itu dimulai sejak Iwa Kusuma Sumantri menjabat sebagai ketuanya pada 1923, dan seterusnya hingga Hatta mengambil alih kepemimpinan organisasi mulai tahun 1926 hingga 1930.
Saat Hatta memimpin PI, situasi politik di Indonesia sedang panas. Terjadi pemogokan buruh, penangkapan, dan pembuangan sejumlah pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh pihak Belanda.
Aksi ini menyulut perlawanan yang lebih keras. Pada bulan November 1926, PKI memimpin pemberontakan rakyat untuk menggulingkan Pemerintah Kolonial Belanda, namun menemui kegagalan sangat fatal.
Sebagai balasan, Pemerintah Belanda melakukan penangkapan dan pembuangan secara besar-besaran terhadap anggota PKI, ulama, dan para santri yang terlibat. Beberapa di antaranya ditembak mati.
Setahun sebelum peristiwa itu, Indonesia Merdeka pernah menulis sebuah analisa tentang perimbangan kolonial dan menarik kesimpulan Indonesia akan memperoleh kemerdekaan dengan cara kekerasan.
"Adalah hukum sejarah bahwa lahirnya suatu bangsa selalu bersamaan dengan cucuran darah dan air mata.. Cepat atau lambat, bangsa yang dijajah akan merebut kembali kemerdekaannya," tulisnya tahun 1925.
Pada 27 September 1927, Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid, dan Nazir ditangkap. Mereka dijebloskan ke penjara oleh Pengadilan Wilayah di Den Haag dengan tuduhan ingin menggulingkan pemerintahan.
Penangkapan para pemimpin PI menimbulkan reaksi keras di negeri Belanda dan Indonesia. Sebagai pembelaan terhadap para pemimpin PI yang ditangkap, para pengurus PI lainnya menerbitkan pamflet.
"Kami sudah memperingatkan Pemerintah Belanda akan kemungkinan terjadinya tindakan kekerasan itu. Berbagai kejadian telah membuktikan bahwa kami benar, pada bulan November 1926 dan Januari 1927."
Selama enam bulan di dalam penjara, akhirnya Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid, dan Nazir diajukan ke pengadilan. Mereka dituduh telah menghasut rakyat menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan.
Saat berada di penjara, Hatta membawa serta buku-bukunya dan satu bundel majalah Indonesia Merdeka. Dia menulis pembelaannya panjang lebar dengan judul Indonesia Vrij atau Indonesia Merdeka.
Berbeda dengan pembelaan Soekarno yang berbicara tentang kejahatan ekonomi penjajah melalui sistem VOC, tanam paksa, dan kapitalisme-liberalisme-imperialisme, Hatta berbicara tentang politik secara murni.
Dalam pembelaannya, Hatta dengan berani menyerang pemerintahan Belanda yang sah dan sedang berkuasa. Hatta juga tanpa ragu-ragu membeberkan tujuan PI dalam memerdekaan Indonesia.
"Lebih suka kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan, dari pada melihatnya sebagai embel-embel abadi dari pada suatu negara asing," ungkap Hatta, mengutip majalah Indonesia Merdeka.
Kendati pembelaan para pemimpin PI tersebut terdengar keras dan berisi ancaman kekerasan, namun Majelis Hakim Pengadilan Wilayah di Den Haag tidak menganggapnya sebagai suatu kejahatan.
Hatta dan kawan-kawannya akhirnya dibebaskan dan semua arsip, serta dokumentasi PI yang disita akhirnya dikembalikan. Kebebasan Hatta mendapat sambutan hangat dari dalam dan luar negeri.
Demikian ulasan singkat Cerita Pagi ini diakhiri. Semoga memberikan manfaat.
Sumber tulisan :
Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan, Penyunting Meutia Farida Swasono, UIP dan SH, Jakarta 1980
John Ingleson, Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan, Grafiti, Jakarta 1993
Salman Alfarizi, Mohammad Hatta, Biografi Singkat 1902-1980, Garasi, 2010
Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka, Pidato Pembelaan di Pengadilan Den Haag 1928, Pustep UGM, Januari 2005
Dr Deliar Noer, Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa, Kompas, April 2012
Kakak perempuan Hatta, Lembaq Tuah mengatakan, buku merupakan bagian penting dari kehidupan Hatta. Di manapun dia berada, selalu ada tumpukan buku. Bahkan saat di penjara, Hatta selalu bersama buku.
Buku selalu menjadi sahabat Hatta yang paling setia. Kemanapun dia pergi, buku selalu menemaninya. Dia menjaga buku-bukunya dengan sangat baik, mulus tanpa coretan, bersih dari debu, dan tanpa lipatan.
Coba bandingkan dengan kebiasaan Soekarno, sahabatnya yang suka menulis catatan-catatan penting dalam setiap lembaran buku-bukunya. Hatta tentu akan marah besar jika buku yang dicoret itu miliknya.
"Setiap lembar dari bukunya selalu dibukanya dengan hati-hati dan dibacanya secara cermat," kenang Lembaq Tuah, terhadap kebiasaan Hatta dalam membaca dan memperlakukan buku-bukunya.
Pada usia lima tahun, Hatta sudah bisa membaca dan menulis. Dia juga sudah mulai belajar bahasa Belanda. Padahal saat itu dia belum masuk Sekolah Rakyat (SR). Semua pelajarannya didapatkan di rumah.
Baru pada usia enam tahun, Hatta masuk SR. Di sekolah ini, dia hanya belajar selama tiga tahun. Lalu dipindahkan ke sekolah orang kulit putih Europeesche Lagere School atau ELS. Dia lulus tahun 1913.
Setelah lulus ELS, Hatta sudah pandai menggunakan bahasa Belanda. Cara dia berbahasa Belanda juga sangat halus, melebihi orang Belanda asli dari kalangan petani yang bekerja untuk pemerintah kolonial.
Lulus ELS, Hatta melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang. Saat menjadi pelajar MULO, Hatta gemar membaca koran-koran yang rutin dikirim ke sekolahnya.
Beberapa koran yang sering dibaca Hatta adalah Oetoesan Hindia dan Neratja. Dari koran-koran inilah Hatta mulai mengenal dunia pergerakan dan mengetahui pemikiran-pemikiran para tokoh Serikat Islam (SI).
Sejak itu, Hatta mulai terlibat dalam aktivitas organisasi pergerakan Jong Sumatranen Bond (JBS) dan menjabat bendaharanya. Di tengah kesibukannya berorganisasi, Hatta masih sempat membaca buku.
Buku-buku pelajarannya di sekolah, dibaca hingga hafal di luar kepala. Guru-gurunya sangat kagum dengan dia. Pada 1917, Hatta lulus dengan predikat siswa terbaik mengalahkan anak-anak Belanda.
Dari Padang, Hatta pindah ke Jakarta dan meneruskan pendidikannya ke sekolah dagang. Dia masuk sekolah dagang Prins Hendrik School atau (PHS) dan mendalami disiplin ilmu ekonomi-politik.
Awalnya, Hatta ingin melanjutkan usaha dagang orangtuanya dengan mengambil sekolah dagang. Namun, jalan sejarah membawanya ke arah lain. Dia ditakdirkan menjadi pemimpin besar revolusi Indonesia.
Saat Hatta berada di Jakarta, aktivitas organisasinya semakin padat. Dia dipilih menjadi bendahara pusat JBS. Namanya pun semakin dikenal. Sejak itu, hubungannya dengan tokoh pergerakan lainnya mulai terjalin.
Sambil menyelam minum air, Hatta tetap fokus dengan pendidikannya sambil melanjutkan hobinya membaca dan menulis. Salah satu tulisannya dimuat majalah Jong Sumatera berjudul Namaku Hindania.
Selama di Jakarta ini jugalah kegemaran Hatta mengoleksi buku dimulai. Dalam otobiografinya, Hatta menyebutkan buku pertama yang dimilikinya didapat dari seorang rekan bapaknya yang baik hati.
Saat itu, Hatta diajak jalan-jalan ke toko buku di kawasan Harmoni, dan pulangnya dibelikan beberapa buku tebal, antara lain dua jilid Staathuishoudkunde, enam jilid De Socialisten, dan Heed Jaar 2000.
"Inilah buku-buku yang bermula kumiliki yang menjadi dasar (dari) perpustakaanku," kenang Hatta, dalam buku Memoir-nya.
Dari Jakarta, Hatta memperdalam ilmu ekonomi-politik nya di Sekolah Tinggi Dagang atau Handels Hoogeschool, di Rotterdam yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi Ekonomi atau Economische Hoogeschool.
Selama di Belanda, Hatta bukan hanya asyik dengan buku-bukunya. Dia juga aktif dalam Perhimpunan Hindia atau Indische Vereeniging yang didirikan sejak tahun 1908 oleh mahasiswa Indonesia di Belanda.
Di organisasi itu, Hatta bertemu dengan sejumlah mahasiswa yang lebih tua dan banyak menghabiskan waktunya dalam organisasi. Pemikiran Hatta dalam politik dan pergerakan pun mengalami kematangan di sini.
Pengalamannya selama menjadi bendahara JBS membuat nama Hatta cukup dikenal oleh para pemimpin Perhimpunan Hindia yang kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) atau Indonesische Vereeniging.
Saat Hatta bergabung dengan PI, suhu politik yang melingkupi para mahasiswa sedang hangat-hangatnya. Dia lalu diminta menghidupkan lagi majalah dwi bulanan milik organisasi Hindia Poetra.
Di tangan Hatta, majalah ini berperan sebagai senjata yang ampuh dalam menyebarkan semangat antikolonialisme. Ide nonkooperasi yang menjadi sikap politik Hatta dikemudian hari juga lahir dari sini.
Majalah Hindia Poetra kemudian menjadi Indonesia Merdeka. Dengan bergantinya nama Hindia menjadi Indonesia, ditambah kata Merdeka, pergerakan PI di Belanda menjadi semakin radikal dari sebelumnya.
Perubahan radikal itu dimulai sejak Iwa Kusuma Sumantri menjabat sebagai ketuanya pada 1923, dan seterusnya hingga Hatta mengambil alih kepemimpinan organisasi mulai tahun 1926 hingga 1930.
Saat Hatta memimpin PI, situasi politik di Indonesia sedang panas. Terjadi pemogokan buruh, penangkapan, dan pembuangan sejumlah pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh pihak Belanda.
Aksi ini menyulut perlawanan yang lebih keras. Pada bulan November 1926, PKI memimpin pemberontakan rakyat untuk menggulingkan Pemerintah Kolonial Belanda, namun menemui kegagalan sangat fatal.
Sebagai balasan, Pemerintah Belanda melakukan penangkapan dan pembuangan secara besar-besaran terhadap anggota PKI, ulama, dan para santri yang terlibat. Beberapa di antaranya ditembak mati.
Setahun sebelum peristiwa itu, Indonesia Merdeka pernah menulis sebuah analisa tentang perimbangan kolonial dan menarik kesimpulan Indonesia akan memperoleh kemerdekaan dengan cara kekerasan.
"Adalah hukum sejarah bahwa lahirnya suatu bangsa selalu bersamaan dengan cucuran darah dan air mata.. Cepat atau lambat, bangsa yang dijajah akan merebut kembali kemerdekaannya," tulisnya tahun 1925.
Pada 27 September 1927, Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid, dan Nazir ditangkap. Mereka dijebloskan ke penjara oleh Pengadilan Wilayah di Den Haag dengan tuduhan ingin menggulingkan pemerintahan.
Penangkapan para pemimpin PI menimbulkan reaksi keras di negeri Belanda dan Indonesia. Sebagai pembelaan terhadap para pemimpin PI yang ditangkap, para pengurus PI lainnya menerbitkan pamflet.
"Kami sudah memperingatkan Pemerintah Belanda akan kemungkinan terjadinya tindakan kekerasan itu. Berbagai kejadian telah membuktikan bahwa kami benar, pada bulan November 1926 dan Januari 1927."
Selama enam bulan di dalam penjara, akhirnya Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid, dan Nazir diajukan ke pengadilan. Mereka dituduh telah menghasut rakyat menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan.
Saat berada di penjara, Hatta membawa serta buku-bukunya dan satu bundel majalah Indonesia Merdeka. Dia menulis pembelaannya panjang lebar dengan judul Indonesia Vrij atau Indonesia Merdeka.
Berbeda dengan pembelaan Soekarno yang berbicara tentang kejahatan ekonomi penjajah melalui sistem VOC, tanam paksa, dan kapitalisme-liberalisme-imperialisme, Hatta berbicara tentang politik secara murni.
Dalam pembelaannya, Hatta dengan berani menyerang pemerintahan Belanda yang sah dan sedang berkuasa. Hatta juga tanpa ragu-ragu membeberkan tujuan PI dalam memerdekaan Indonesia.
"Lebih suka kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan, dari pada melihatnya sebagai embel-embel abadi dari pada suatu negara asing," ungkap Hatta, mengutip majalah Indonesia Merdeka.
Kendati pembelaan para pemimpin PI tersebut terdengar keras dan berisi ancaman kekerasan, namun Majelis Hakim Pengadilan Wilayah di Den Haag tidak menganggapnya sebagai suatu kejahatan.
Hatta dan kawan-kawannya akhirnya dibebaskan dan semua arsip, serta dokumentasi PI yang disita akhirnya dikembalikan. Kebebasan Hatta mendapat sambutan hangat dari dalam dan luar negeri.
Demikian ulasan singkat Cerita Pagi ini diakhiri. Semoga memberikan manfaat.
Sumber tulisan :
Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan, Penyunting Meutia Farida Swasono, UIP dan SH, Jakarta 1980
John Ingleson, Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan, Grafiti, Jakarta 1993
Salman Alfarizi, Mohammad Hatta, Biografi Singkat 1902-1980, Garasi, 2010
Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka, Pidato Pembelaan di Pengadilan Den Haag 1928, Pustep UGM, Januari 2005
Dr Deliar Noer, Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa, Kompas, April 2012
(san)