Geliat Angklung Ciamis yang Mulai Mendunia

Rabu, 22 Juli 2015 - 10:08 WIB
Geliat Angklung Ciamis...
Geliat Angklung Ciamis yang Mulai Mendunia
A A A
KERAJINAN alat musik tradisional angklung rupanya telah menjadi usaha yang menjanjikan. Bahkan, di Kabupaten Ciamis, tepatnya di Kampung Nempel RT 02/07 Desa Panyingkiran, Kecamatan Ciamis, warganya terlibat aktif dalam memproduksi angklung.

Sebanyak 40 kepala keluarga (KK), menjadikan kerajinan angklung sebagai andalan untuk kehidupan ekonomi keluarga. Geliat produksi kerajinan angklung di Kampung Nempel ini sendiri dirintis warga setempat bernama Mumu Alimudin. Ada yang berbeda angklung Mumu dengan produksi lainnya, yaitu angklung Nempel bercorak batik.

Ini menjadi ciri khas angklung Ciamis, dari kekhasan tersebut angklung Ciamis ini sebenarnya sudah lebih dulu di kenal oleh sejumlah negara, seperti India, Singapura, dan Malyasia. “Jika melihat ada angklung dengan motif batik pada bambunya maka sudah bisa dipastikan jika angklung tersebut produksi Ciamis,” kata Mumu.

Menurut Mumu, produksi angklung sudah dia lakoni sejak 1992 lalu. Awalnya, produksi angklung dilakukan sendiri. Lama kelamaan permintaan dari dalam, bahkan luar negeri meningkat, sehingga harus merekrut karyawan untuk bekerja di sanggarnya.

Setelah memekerjakan karyawan, dia tetap saja kewalahan hingga pada akhirnya, tetangga terdekat dilibatkan untuk memproduksi angklung. “Namun masing-masing warga tidak memproduksi satu angklung utuh, mereka membuat satu bagian saja yang nantinya akan dirangkai dengan bagian lain. Sehingga proses pembuatan satu set angklung itu tidak memakan waktu lama,” ujarnya.

Proses pembuatan angklung sendiri, kata Mumu, cukup mudah, jika sudah ahli dan tahu penyetelan nada dari setiap angklung. Pertama, terangnya, bahan baku, yaitu bambu dijemur, kemudian dipotong-potong sesuai dengan nada yang diperlukan. Kemudian dicuci, lalu diberi corak batik, selanjutnya dirakit dan diikat, dipernis.

Proses terakhir, yaitu dipajang selama 1 hingga 3 hari agar kualitasnya lebih baik. Barulah setelah itu angklung siap dipasarkan. “Memang prosesnya terlihat mudah, namun perlu kejelian dan kemampuan menyetelkan nadanya. Ada tahapan-tahapan tertentu agar suara angklung bisa tepat dengan nada yang diinginkan,” katanya.

Kerajinan yang terbuat dari congo bambu itu, kini banyak diminta oleh sejumlah daerah yang memiliki nilai histori sejarah dan budayanya. Bahkan, tak tanggung-tanggung pesanan pun kian melonjak. Mumu mengaku kewalahan menerima pesanan angklung. Dalam satu bulan saja dia hanya bisa memenuhi sekitar 600 set atau 600 oktav angklung.

Padahal pesanan perbulan bisa mencapai 2.000 oktav. Pesanan angklung terbanyak dari Tangkuban Parahu, dalam satu minggu dia harus memenuhi 400 set. Satu set angklung dihargai Rp50.000 hingga Rp300.000 untuk angklung biasa. Namun saat ini Mumu juga memenuhi pesanan angklung besar dari bambu hitam sebanyak 90 set, yang harganya kisaran Rp3 juta hingga Rp10 juta. “Alhamdulillah pesanan selalu banyak, hingga tidak bisa terpenuhi,” katanya.

Namun demikian pihaknya mengaku, kalau usahanya ini tidak sebatas mencari keuntungan untuk diri sendiri semata. Dia merasa bangga bisa memberdayakan warga sekitar rumahnya untuk ikut membuat angklung. Karena secara tidak langsung dia sudah bisa memberi mamfaat ekonomi dari kerajinan angklung yang diproduksinya.

Ibu-ibu kebanyakan yang ikut membuat angklung, dalam satu hari sesuai perhitungan perbagian angklung bisa mencapai Rp40.000 hingga Rp50.000. “Mereka mengerjakannya juga di rumah masing-masing, sehingga pekerjaan rumah tidak terabaikan,” ucap Mumu.

Anthika asmara
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5220 seconds (0.1#10.140)