Sedih Tak Bisa Mudik, Ketupat pun Tak Terpikirkan Lagi

Selasa, 21 Juli 2015 - 08:37 WIB
Sedih Tak Bisa Mudik,...
Sedih Tak Bisa Mudik, Ketupat pun Tak Terpikirkan Lagi
A A A
Saat Lebaran, umat Muslim selalu berharap bisa berkumpul bersama keluarga. Banyak orang rela mudik dari perantauan agar bisa berbagi kebersamaan dan kebahagiaan dengan keluarga besar. Tapi momen semacam itu hanya angan-angan bagi pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung.

Memang di sejumlah tempat penampungan, pengungsi tampak tetap antusias merayakan Idul Fitri walaupun dengan kondisi seadanya. Meski sedih karena tidak bisa merayakan Lebaran bersama keluarga di kampung halaman, tapi mereka tetap mensyukuri berkah yang diberikan Allah SWT.

Seluruh pengungsi umat Muslim melaksanakan salat Ied di sebuah lapangan terbuka yang menghadap langsung ke Gunung Api Sinabung di Desa Ndokum Siroga, Kecamatan Simpang Empat, Jumat (17/7) pagi. Setelah itu, seluruh pengungsi kembali ke posko masingmasing untuk bersilaturahmi dengan sesama pengungsi, baik yang beragama Islam maupun Kristen.

Suasana mengharukan tampak jelas di posko pengungsian Losd Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat. Pada saat para pengungsi saling bersalam-salaman memohon maaf, isak tangis tiba-tiba pecah ketika seorang pengungsi melantunkan takbir dan salawat melalui pengeras suara.

Deraian air mata tampak membasahi wajah para orang tua dan anak-anak pengungsi saat saling bersilaturahmi. Pengungsi patut bersedih, mengingat berkumpul bersama kerabat dan sanak famili menjadi kegiatan rutin yang dijalani setiap Lebaran.

Tapi tidak demikian tahun ini bagi Rasmita br Bangun, 40. Pengungsi ibu tiga anak asal Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, ini terpaksa merayakan di posko pengungsian. Hasrat bersilaturahmi serta kerinduan akan kampung halaman pupus sudah akibat bencana berkepanjangan Gunung Sinabung. Rasmita bersama suami, Ahmadi Sitepu, 42, dan bibinya, Mita br Bangun, 60, harus meninggalkan desanya dan mengungsi di kamp pengungsian Losd Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat.

“Biasanya saat Lebaran kami mudik ke Aceh, karena keluarga besar tinggal di sana. Dengan kondisi mengungsi begini, bagaimana mau mudik, memikirkannya saja langsung membuat hati ini pilu,” ujar Rasmita dengan rona wajah sedih ketika ditemui KORAN SINDO MEDAN, Sabtu (18/7).

Amukan Gunung Sinabung yang hingga kini tak kunjung mereda membuat Lebaran kali ini menjadi tidak sempurna bagi Rasmita dan keluarga. Apalagi tidak bisa berkumpul dengan salah satu anaknya, Wahyudi Sitepu, 16, yang sekolah di Aceh. “Kalau suami saya saat ini berada di kampung (Desa Kuta Rayat) untuk menjaga lahan pertanian dan rumah kami. Karena kalau semua mengungsi, kan sayang lahan pertanian yang masih ada tanamannya tidak diurus,” katanya.

Memang ini merupakan ketiga kali ia bersama warga desa lainnya berlebaran di lokasi penampungan, setelah letusan pertama pada pertengahan 2010 dan pada 2013. Walau tetap bersyukur karena masih bisa merayakan meski dengan kondisi seadanya, di dalam hati dirasa ada tak lengkap bila tak bertemu dan bersilaturahmi dengan keluarga.

“Lebaran kali ini rasanya sangat tidak lengkap. Takbiran juga tidak terdengar sampai ke sini, karena memang masjid jaraknya jauh,” kata perempuan yang akrab disapa Mita ini. Meski begitu, Mita tetap yakin Tuhan punya rencana lebih indah kepada keluarganya di balik bencana yang sukses menyengsarakan masyarakat di lingkar Sinabung. Ia pun berharap agar bencana erupsi Gunung Sinabung segera berakhir. Sebab sudah cukup letih berulang kali harus bolak-balik mengungsi. Kemunduran perekonomian pun sangat dirasakan.

Kesedihan serupa juga dirasakan Pelin Depari, 38, warga Dusun Lau Kawar, Kecamatan Naman Teran, yang mengungsi di posko pengungsian Losd Desa Korpri, Kecamatan Berastagi. Pria yang dulu bekerja sebagai sopir angkutan umum pedesaan ini mengaku tidak terlalu merasakan nikmat hari raya kali ini.

Tidak ada hal istimewa selayaknya umat Muslim merayakan Lebaran yang dilakukan Pelin bersama istrinya, Sustina br Gurukinayan, 36, dan ketiga anaknya. Hal ini disebabkan kondisi bencana Gunung Sinabung memaksa mereka harus berulang kali mengungsi.

“Sudah beberapa tahun belakangan ini selalu merayakan Lebaran di pengungsian. Sedih sudah pasti, karena tidak berkumpul bersama keluarga. Tetapi saya juga mengambil makna di balik ini semua. Kebersamaan dan rasa persaudaraan terasa sangat kental merayakan Lebaran di posko pengungsian ini,” ungkap Pelin.

Ketika Gunung Sinabung belum meletus, ia bersama keluarga selalu memasak ketupat dan tapai sebagai menu santapan pada Lebaran. Kemudian berkunjung dan bersilaturahmi ke rumah-rumah keluarga dan kerabat. Namun sekarang, ritual itu sedikit tak terlintas dalam pikirannya karena terlalu berat beban ekonomi dan kehidupan keluarga yang menjadi fokus utamanya saat ini.

“Setiap Lebaran, tidak diminta anak-anak pun untuk beli baju baru pasti saya langsung membelikan. Karena bagi anakanak mengenakan baju baru saat Lebaran pasti menyenangkan. Kalau sekarang ini bagaimana mau membelikan baju mereka, sumber penghasilan sudah tidak ada. Mendengar anak-anak minta beli baju baru langsung membuat saya sedih dan haru,” katanya.

Pelin mengaku kondisi perekonomian keluarganya setelah bencana erupsi Gunung Sinabung merosot tajam. Penghasilan sebagai sopir angkutan dan olahan lahan pertanian yang tidak seberapa saat ini tidak ada lagi. Karena itu, dia lebih memilih menyibukkan diri mengikuti para relawan lingkar Sinabung yang setiap hari memantau perkembangan Gunung Sinabung dan daerah sekitar.

“Daripada diam di pengungsian dan pasrah tidak melakukan apa-apa, saya ikut sama para relawan sekalian memantau kondisi tempat tinggal saya di kampung. Semoga saja dalam waktu dekat Gunung Sinabung dapat berhenti aktivitas erupsinya agar saya dapat kembali ke kampung dan memulai lagi kehidupan di sana,” kata Pelin meneteskan air mata.

Riza pinem
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0891 seconds (0.1#10.140)