Bermula dari Keinginan Wadahi Seni Warga Ciseke
A
A
A
Bau asap dupa dan wewangian sesajen menusuk tajam. Riuh rendah suara musik yang bercampur lantunan doa mencuri perhatian warga sekitar dusun Ciseke, Jatinangor, Kabupaten Sumedang.
Bunyi alat musik tilingtit, tong, badoblag, terompet serta nyanyian khas sinden yang memekakan telinga membuat rasa penasaran KORAN SINDO Jabar. Setelah jauh melangkah mencari sumber datangnya suara, terlihat kerumunan warga memadati salah satu sudut dusun. Mereka tampak tengah asik menyaksikan seni pertunjukan Reak dari Komunitas Mibanda (Miara Budaya Sunda).
Aura mistis cukup terasa di sekitar lokasi pertunjukan. Kepulan asap dan bau kemenyan menambah daya mistis dari pertunjukan seni Reak ini. Sesekali terdengar pula teriakan mengucap berbagai kalimat pujian. Gerakan tarian yang begitu atraktif, disertai aksi kuda lumping semakin memeriahkan suasana pertunjukan. Tidak berselang lama, tibatiba sejumlah orang kesurupan.
Gerakan tariannya semakin tidak terkendali. Sang pawang terlihat sibuk menyadarkan orang-orang yang tengah dirasuki makhluk halus. Untuk diketahui Reak begitu akrab dengan masyarakat Jawa Barat. Pertunjukan seni budaya Sunda ini telah dikenal sejak abad ke-12. “Rerendengan eakeakan” atau kerap disebut reak menjadi representasi budaya gotong royong dan kebersamaan khas tanah Sunda. Ketua kelompok seni Mibinda Saepulloh mengatakan, seni reak telah mengalir dalam dirinya.
Melalui Mibanda dia berupaya melestarikan seni reak yang semakin tersisih di tengah kemajuan zaman. “Awalnya saya mengajak beberapa teman untuk bergabung dan membentuk komunitas Mibanda. Tujuannya agar ada wadah yang jelas bagi warga Ciseke yang suka dengan kesenian reak,” jelas dia. Langkah kecil yang dilakukannya ternyata mendapat tanggapan positif dari sejumlah pihak.
Kini, kesenian tua dan turun temurun masih sering dipertunjukan di tengah masyatrakat. Tak hanya pada acara khitanan, reak juga sering dipertunjukkan dalam eventbesar lainnya. Sementara itu, dosen Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Gugun Gunardi menyatakan, fenomena reak tidak hanya berlatar belakang budaya. Erat kaitan lahirnya reak dengan keyakinan agama Islam yang pada masa itu tengah berkembang.
Pertunjukan seni reak ini memunculkan kekuatankekuatan magis yang disajikan dengan kemasan kental budaya Jawa Barat. Dikatakan Gugun, seni reak lahir dari peradaban rakyat jelata. Pertunjukan seni ini diperuntukkan untuk memperingati hari besar seperti khitanan, musim panen raya, dan hajatan. Hiburan rakyat ini merupakan kesenian turuntemurun yang masih dilestarikan hingga kini.
Reak berusaha memunculkan kekuatankekuatan roh leluhur melalui proses “diasupan” atau kesurupan melalui beberapa mediator. Mediator yang dimaksud tak hanya manusia, tetapi juga alat musik yang mengiringi pertunjukan.
Nila Kusumasari
Kota Bandung
Bunyi alat musik tilingtit, tong, badoblag, terompet serta nyanyian khas sinden yang memekakan telinga membuat rasa penasaran KORAN SINDO Jabar. Setelah jauh melangkah mencari sumber datangnya suara, terlihat kerumunan warga memadati salah satu sudut dusun. Mereka tampak tengah asik menyaksikan seni pertunjukan Reak dari Komunitas Mibanda (Miara Budaya Sunda).
Aura mistis cukup terasa di sekitar lokasi pertunjukan. Kepulan asap dan bau kemenyan menambah daya mistis dari pertunjukan seni Reak ini. Sesekali terdengar pula teriakan mengucap berbagai kalimat pujian. Gerakan tarian yang begitu atraktif, disertai aksi kuda lumping semakin memeriahkan suasana pertunjukan. Tidak berselang lama, tibatiba sejumlah orang kesurupan.
Gerakan tariannya semakin tidak terkendali. Sang pawang terlihat sibuk menyadarkan orang-orang yang tengah dirasuki makhluk halus. Untuk diketahui Reak begitu akrab dengan masyarakat Jawa Barat. Pertunjukan seni budaya Sunda ini telah dikenal sejak abad ke-12. “Rerendengan eakeakan” atau kerap disebut reak menjadi representasi budaya gotong royong dan kebersamaan khas tanah Sunda. Ketua kelompok seni Mibinda Saepulloh mengatakan, seni reak telah mengalir dalam dirinya.
Melalui Mibanda dia berupaya melestarikan seni reak yang semakin tersisih di tengah kemajuan zaman. “Awalnya saya mengajak beberapa teman untuk bergabung dan membentuk komunitas Mibanda. Tujuannya agar ada wadah yang jelas bagi warga Ciseke yang suka dengan kesenian reak,” jelas dia. Langkah kecil yang dilakukannya ternyata mendapat tanggapan positif dari sejumlah pihak.
Kini, kesenian tua dan turun temurun masih sering dipertunjukan di tengah masyatrakat. Tak hanya pada acara khitanan, reak juga sering dipertunjukkan dalam eventbesar lainnya. Sementara itu, dosen Sastra Sunda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Gugun Gunardi menyatakan, fenomena reak tidak hanya berlatar belakang budaya. Erat kaitan lahirnya reak dengan keyakinan agama Islam yang pada masa itu tengah berkembang.
Pertunjukan seni reak ini memunculkan kekuatankekuatan magis yang disajikan dengan kemasan kental budaya Jawa Barat. Dikatakan Gugun, seni reak lahir dari peradaban rakyat jelata. Pertunjukan seni ini diperuntukkan untuk memperingati hari besar seperti khitanan, musim panen raya, dan hajatan. Hiburan rakyat ini merupakan kesenian turuntemurun yang masih dilestarikan hingga kini.
Reak berusaha memunculkan kekuatankekuatan roh leluhur melalui proses “diasupan” atau kesurupan melalui beberapa mediator. Mediator yang dimaksud tak hanya manusia, tetapi juga alat musik yang mengiringi pertunjukan.
Nila Kusumasari
Kota Bandung
(ars)