Masih Keturunan Nabi, Dakwah lewat Seni Ukir
A
A
A
JEPARA - Nama Sultan Hadlirin sangat dikenal masyarakat Jepara. Selain karena memang statusnya sebagai raja pertama kerajaan (kasultanan) Kalinyamat, Sultan Hadlirin juga merupakan sosok yang memelopori kerajinan ukir yang hingga kini menjadi penyokong utama perekonomian warga Jepara.
Berkat seni ukir pula nama Jepara mendunia seiring ekspor produk berbahan dasar kayu itu ke ratusan negara. Seni ukir itu pula yang menjadi media dak wah Sultan Hadlirin untuk menyebar - kan Islam secara santun dan toleran kepada warga Jepara. Jejak syiar Islam Sultan Hadlirin bisa dilacak dari makamnya yang berada sekitar 10-15 meter dari jalan raya penghubung Mantingan-Jepara.
Posisi makam berada di ke - tinggian sekitar 15-20 meter dari badan jalan. Sejumlah peziarah terlihat duduk sembari membaca yasin, tahlil, dan doa tepat di depan bangunan makam Sultan Hadlirin yang hidup pada abad ke-15. Di dinding bangunan makam terpasang karya seni ukir dengan berbagai motif, bentuk, dan ukuran. Uniknya, ukiran itu tidak dibuat dari kayu, tapi batu.
Masyarakat menyebutnya watu ungkal atau batu kuning. Jenis batu ini tidak bisa ditemukan di Jepara. Batu-batu itu didatangkan langsung oleh Sultan Hadlirin dari China. “Watu wungkal dan ukira - nnya merupakan saksi bisu aktivitas Sultan Hadlirin, baik sebagai raja maupun wali penyebar Islam di Jepara,” kata juru kunci makam dan sekaligus pengurus Masjid Astana Sultan Hadlirin Ali Syafiíi, 59 kepada KORAN SINDO .
Siapa Sultan Hadlirin dan apa hubungannya dengan China? Menurut Ali, Sultan Hadlirin sebenarnya berasal dari Aceh. Dia merupakan putra Raja Mughayat Syah dari Kesultanan Aceh. Raja Mughayat Syah merupakan keturunan Yaman yang jika diurutkan nasabnya hingga Nabi Muhammad SAW.
“Itu yang cerita Rais Aam Jamíiyyah Ahlut Thariqah Al Muítabarah An-Nahdliyyah, Habib Luthfi bin Ali bin Yahya dari Pekalongan saat berziarah ke makam Sultan Hadlirin,” papar Ali Syafiíi Sewaktu muda, Sultan Hadlirin yang bernama kecil Abdurrahman (ada yang menyebutnya Pangeran Toyib) berkelana hingga China. Dia di sana bertemu dengan Chi Wiee Gwan dan dijadikan anak angkat.
Setelah itu, Sultan Hadlirin berkelana lagi sampai Jepara, hingga akhirnya menikah dengan Ratu Kalinyamat yang merupakan putri Raja Kerajaan Demak, Sultan Trenggono. “Saat menjadi raja, Sultan Hadlirin mengajak Chi Wiee Gwan ke Jepara,” ujarnya.
Sultan Hadlirin merupakan sosok yang alim dan suka riyadoh . Dia pun meminta Chi Wiee Gwan untuk membuatkan bangunan yang bisa digunakan untuk riyadoh dan sekaligus beribadah. Meski lokasi kerajaan di Kalinyamatan (sekarang Kecamatan Kalinyamatan) namun masjid itu justru dibangun di kawasan Mantingan (kini masuk wilayah Kecamatan Tahunan).
Dan hasilnya, jadilah Masjid Mantingan yang arsitekturnya merupakan perpaduan tiga budaya, yakni China, Jawa, dan Hindu. Saat ini letak masjid yang dibangun tahun 1549 ini hanya berjarak sekitar 10 meter dari makam Sultan Hadlirin. Pada dinding Masjid Mantingan ini juga terpasang 215 ukiran dari watu wungkal dengan berbagai bentuk, motif, dan ukuran.
Menurut Ali, watu wungkal berukir itu dulunya merupakan hasil karya Chi Wiee Gwan dan ratusan atau bahkan ribuan warga Mantingan dan sekitarnya. Chi Wiee Gwan mengajari cara mengukir batu kuning itu dengan motif perpaduan antara Pajajaran (bentuk relung, sunggar, dan angkup), China (bentuk mega atau awan) dan Jawa (bentuk daun-daunan teratai, pandan yang menggambarkan obat-obatan).
Ukiran tersebut juga sangat dipengaruhi dengan ajaran Islam, yakni tidak adanya motif yang berwujud manusia maupun binatang. Dalam Islam, makhluk hidup memang dilarang digambar dengan media apapun. Batu kuning ini memang istimewa. Batu ini semacam granit tapi tidak keras sehingga bisa diukir. Juga mirip batu karang tapi tidak berongga sehingga tak mudah lapuk dimakan zaman.
Wakil Bupati Jepara Subroto meniali karya ukir yang terpasang di Masjid Mantingan maupun makam Sultan Hadlirin merupakan cikal bakal ukir-ukiran asal Jepara. Ekonomi masyarakat Jepara bergerak karena sektor tersebut. Saat ini ukir, mebel, dan furnitur asal Jepara bahkan sudah diekspor ke ratusan negara di sejumlah benua. Mulai dari benua Eropa, Afrika, Amerika, Asia, dan lainnya.
Produk-produk berbahan dasar kayu asal Jepara juga diminati pasar domestik Indonesia. “Peran Sultan Hadlirin sangat besar dalam hal ini. Tiap hari jadi Jepara kita selalu berziarah ke makam Mantingan sebagai bentuk apresiasi atas jasa beliau,” tandasnya.
Muhammad Oliez
Berkat seni ukir pula nama Jepara mendunia seiring ekspor produk berbahan dasar kayu itu ke ratusan negara. Seni ukir itu pula yang menjadi media dak wah Sultan Hadlirin untuk menyebar - kan Islam secara santun dan toleran kepada warga Jepara. Jejak syiar Islam Sultan Hadlirin bisa dilacak dari makamnya yang berada sekitar 10-15 meter dari jalan raya penghubung Mantingan-Jepara.
Posisi makam berada di ke - tinggian sekitar 15-20 meter dari badan jalan. Sejumlah peziarah terlihat duduk sembari membaca yasin, tahlil, dan doa tepat di depan bangunan makam Sultan Hadlirin yang hidup pada abad ke-15. Di dinding bangunan makam terpasang karya seni ukir dengan berbagai motif, bentuk, dan ukuran. Uniknya, ukiran itu tidak dibuat dari kayu, tapi batu.
Masyarakat menyebutnya watu ungkal atau batu kuning. Jenis batu ini tidak bisa ditemukan di Jepara. Batu-batu itu didatangkan langsung oleh Sultan Hadlirin dari China. “Watu wungkal dan ukira - nnya merupakan saksi bisu aktivitas Sultan Hadlirin, baik sebagai raja maupun wali penyebar Islam di Jepara,” kata juru kunci makam dan sekaligus pengurus Masjid Astana Sultan Hadlirin Ali Syafiíi, 59 kepada KORAN SINDO .
Siapa Sultan Hadlirin dan apa hubungannya dengan China? Menurut Ali, Sultan Hadlirin sebenarnya berasal dari Aceh. Dia merupakan putra Raja Mughayat Syah dari Kesultanan Aceh. Raja Mughayat Syah merupakan keturunan Yaman yang jika diurutkan nasabnya hingga Nabi Muhammad SAW.
“Itu yang cerita Rais Aam Jamíiyyah Ahlut Thariqah Al Muítabarah An-Nahdliyyah, Habib Luthfi bin Ali bin Yahya dari Pekalongan saat berziarah ke makam Sultan Hadlirin,” papar Ali Syafiíi Sewaktu muda, Sultan Hadlirin yang bernama kecil Abdurrahman (ada yang menyebutnya Pangeran Toyib) berkelana hingga China. Dia di sana bertemu dengan Chi Wiee Gwan dan dijadikan anak angkat.
Setelah itu, Sultan Hadlirin berkelana lagi sampai Jepara, hingga akhirnya menikah dengan Ratu Kalinyamat yang merupakan putri Raja Kerajaan Demak, Sultan Trenggono. “Saat menjadi raja, Sultan Hadlirin mengajak Chi Wiee Gwan ke Jepara,” ujarnya.
Sultan Hadlirin merupakan sosok yang alim dan suka riyadoh . Dia pun meminta Chi Wiee Gwan untuk membuatkan bangunan yang bisa digunakan untuk riyadoh dan sekaligus beribadah. Meski lokasi kerajaan di Kalinyamatan (sekarang Kecamatan Kalinyamatan) namun masjid itu justru dibangun di kawasan Mantingan (kini masuk wilayah Kecamatan Tahunan).
Dan hasilnya, jadilah Masjid Mantingan yang arsitekturnya merupakan perpaduan tiga budaya, yakni China, Jawa, dan Hindu. Saat ini letak masjid yang dibangun tahun 1549 ini hanya berjarak sekitar 10 meter dari makam Sultan Hadlirin. Pada dinding Masjid Mantingan ini juga terpasang 215 ukiran dari watu wungkal dengan berbagai bentuk, motif, dan ukuran.
Menurut Ali, watu wungkal berukir itu dulunya merupakan hasil karya Chi Wiee Gwan dan ratusan atau bahkan ribuan warga Mantingan dan sekitarnya. Chi Wiee Gwan mengajari cara mengukir batu kuning itu dengan motif perpaduan antara Pajajaran (bentuk relung, sunggar, dan angkup), China (bentuk mega atau awan) dan Jawa (bentuk daun-daunan teratai, pandan yang menggambarkan obat-obatan).
Ukiran tersebut juga sangat dipengaruhi dengan ajaran Islam, yakni tidak adanya motif yang berwujud manusia maupun binatang. Dalam Islam, makhluk hidup memang dilarang digambar dengan media apapun. Batu kuning ini memang istimewa. Batu ini semacam granit tapi tidak keras sehingga bisa diukir. Juga mirip batu karang tapi tidak berongga sehingga tak mudah lapuk dimakan zaman.
Wakil Bupati Jepara Subroto meniali karya ukir yang terpasang di Masjid Mantingan maupun makam Sultan Hadlirin merupakan cikal bakal ukir-ukiran asal Jepara. Ekonomi masyarakat Jepara bergerak karena sektor tersebut. Saat ini ukir, mebel, dan furnitur asal Jepara bahkan sudah diekspor ke ratusan negara di sejumlah benua. Mulai dari benua Eropa, Afrika, Amerika, Asia, dan lainnya.
Produk-produk berbahan dasar kayu asal Jepara juga diminati pasar domestik Indonesia. “Peran Sultan Hadlirin sangat besar dalam hal ini. Tiap hari jadi Jepara kita selalu berziarah ke makam Mantingan sebagai bentuk apresiasi atas jasa beliau,” tandasnya.
Muhammad Oliez
(ftr)