Pada-Mu Aku Lebur

Minggu, 28 Juni 2015 - 10:54 WIB
Pada-Mu Aku Lebur
Pada-Mu Aku Lebur
A A A
Pada suatu hari, harimau mengajak serigala dan kancil berburu binatang-binatang yang akan dijadikan santapan mereka.

Dengan semangat, mereka menembus kekelaman hutan. Pandangan mereka begitu tajam menyisir kemungkinan munculnya buruan untuk diterkam. Keberuntungan berpihak kepada mereka. Dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama, mereka bisa melumpuhkan sapi hutan, kambing hutan, dan kelinci. Mereka bergembira mendapatkan buruan-buruan yang diidamkan. Kemudian, dengan keberanian dan kewibawaan yang dimiliki, harimau memerintahkan serigala untuk membagikan hasil buruan itu.

"Baiklah," kata serigala dengan rasa percaya diri yang kuat. "Sapi hutan ini merupakan hasil buruan yang paling besar. Tentu ini cocok untuk tuan harimau. Kambing hutan sedang, tidak terlalu besar, juga tidak kecil, sudah pasti ini pantas dan pas untukku. Nah, kelinci ini paling kecil. Sudah pasti ini jatah untuk kancil," ucapnya.

Cerita yang disodorkan Syaikh Maulana Jalaluddin Rumi (1207–1273) dalam kitab Matsnawi jilid pertama di atas tentu saja semata merupakan tamsilan yang sepenuhnya bernuansa sufistik. Karena itu, ketiga binatang dan semua hasil buruan itu tidak lebih hanya dipakai sebagai simbol- simbol konotatif terhadap nuansa-nuansa spiritual. Lalu, jika demikian adanya, apakah sesungguhnya makna transendental harimau di hadapan binatang- binatang pemburu lainnya? Apa pula sebenarnya makna binatang-binatang hasil buruan tersebut?

Maulana Rumi, dengan paradigma sufistiknya yang sedemikian kental, memosisikan harimau rekaannya itu sebagai keakuan paling transenden yang melekat secara inheren kepada hadirat-Nya semata yang tentu saja tidak pantas disandang siapa atau apa pun yang lain. Suatu keakuan tidak terhingga yang membuat-Nya layak untuk bersikap sombong sehingga Allah SWT menamakan diri-Nya dengan sebutan al- Mutakabbir sebagaimana yang termaktub dalam al-Asmaul Husna: suatu sikap keagungan yang sungguh seluruh makhluk- Nya dilarang keras coba-coba mengenakannya karena sama sekali tidak ada korelasi ontologis dengan mereka.

Sedangkan, posisi binatangbinatang yang lain, baik yang memburu maupun yang diburu, adalah posisi-posisi keakuan majazi yang tidak lebih merupakan kiasan-kiasan semata. Bahkan, seluruh makhluk, mulai partikel yang paling kecil hingga yang terbesar di alam semesta ini, hanyalah pantas menyandang keakuan majazi tersebut.

Lantaran itulah, setelah serigala rampung membagi-bagikan hasil buruan itu dan tidak mempersembahkan seluruhnya kepada harimau sebagaimana semestinya, dengan tandas harimau itu berkata, "Serigala, apa kau bilang? Ketika aku ini ada, pantaskah kau katakan bahwa dirimu juga ada sehingga berlaku sebutan "kami" dan "engkau"? Anjing macam apakah engkau hingga melihat dirimu ada di hadapan keakuanku?

Keakuanku itu mutlak, sementara keakuanmu dan keakuankeakuan yang lain hanyalah merupakan bayang-bayang yang begitu temaram, samar, dan kusut." Dalam rangka mengembalikan keakuan serigala pada posisi yang semestinya itulah, dengan bergas harimau lalu menerkam dan mencabik-cabiknya dengan taring-taring keakuannya. Artinya, selama kedirian siapa pun dihuni sikap kesombongan dan bangga diri yang kelam, dengan cepat atau lambat dia akan kesandung dengan kemahaan Allah SWT.

Dia sungguh tidak berkenan kalau ada siapa pun dari kalangan umat manusia yang usil dan sembrono mengenakan pakaian keagungan-Nya yang berupa kesombongan dan besar diri. Bahkan, dalam wacana dan paradigma kaum sufi diungkapkan bahwa ketika seseorang merasa ada, pada saat yang bersamaan dia sesungguhnya terjerembab dalam kubangan dosa.

"Wujuduka dzambun la yuqasu 'alayh/Wujudmu adalah dosa yang tidak bisa dianalogikan dengan apa pun," ungkap Rabi'ah 'Adawiyah dengan getar spiritualitas yang final. Karena merasa wujud pun merupakan suatu dosa dalam konteks kosmologi keilahian, maka sikap yang semestinya dimiliki orang-orang beriman adalah menyodorkan kefanaan dan ketiadaan secara total kepada hadirat-Nya. Sebab, keberadaan mereka dan segala sesuatu yang ada di seluruh penjuru semesta ini tidak lain hanyalah merupakan bayang-bayang-Nya, sama sekali bukanlah entitas-entitas yang secara otonom betulbetul memiliki diri mereka sendiri.

Maka itu, menjadi jelas bahwa filosofi transendental dari sebuah penghambaan adalah penyerahan diri secara habishabisan terhadap kemutlakan hadirat-Nya belaka. Apa pun yang diperintahkan-Nya, baik pahit maupun manis, lakukanlah dengan setulus mungkin. Bahkan, dengan perasaan hati penuh rindu, cinta, dan rida. Usahakan untuk tidak pernah mengangan-angankan pamrih apa pun selain perjumpaan dan menikmati keindahan wajah- Nya.

Karena keindahan wajah Allah SWT itu pasti menjadikan segala keindahan yang lain menjadi terasa pudar, hambar, dan samar-samar. Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kemirisan rindu yang mengiris-iris jiwa kami sehingga kami senantiasa terlecut untuk berlari, bahkan melesat sekencang mungkin menuju keindahan wajah-Mu.

Ya Allah, limpahkanlah kepada kami banjir bandang cinta suci-Mu sehingga segenap umur dan hidup kami senantiasa meluapkan berbagai dendang dan pujipujian terhadap keindahan wajah- Mu. Bahkan ya Allah, jadikanlah kami lebur kepada- Mu. Amin.

Kuswaidi Syafiie
Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3705 seconds (0.1#10.140)