Digerus Abrasi, Pengunjung Kian Terkikis
A
A
A
Kota Semarang memiliki wisata pantai yang cukup menarik. Selain Pantai Marina, ada juga Pantai Maron.
Untuk menuju lokasi, bisa ditempuh melalui Perumahan Graha Padma atau via Bandar Udara Internasional Ahmad Yani Semarang. Untuk menuju ke lokasi, sebaiknya menggunakan kendaraan roda dua atau mobil karena jarak dari pantai dengan bandara sekitar 1 kilometer (km). Pengunjung harus melalui jalan tanah dengan urukan pasir dan batu selebar 6 meter di pinggir Sungai Silandak. Pantai itu berada di muara tersebut atau ujung runway bandara.
Tidak diketahui pasti kenapa dinamai Maron. Konon, nama pantai ini diambil dari warna khas baret Penerbad yang berwarna merah maroon. Pantai itu mulai banyak dikunjungi sejak 2007 dan sangat ramai. Akhir pekan dari Sabtu pagi hingga Minggu sore, ribuan wisatawan dari Kota Lumpia berdatangan menghabiskan hari libur. Pada masa itu bentangan pasir hitam yang diterjang ombak dapat terlihat jelas memanjang. Itu merupakan pemandangan 2007–2012.
Seiring dengan berjalannya waktu, hamparan pasir sudah tidak terlihat memanjang. Di sebelah timur mulai bermunculan gundukan tanah padas. Bibir pantai tersebut sengaja diuruk diduga untuk menahan abrasi. Bentangan pantai hanya terlihat tak kurang dari 30 meter. Jumlah pedagang pun tidak seramai dulu. Saat awal pantai itu dibuka, tak kurang ada 75 warung yang menjajakan makanan. Ada sate ayam, soto, dan makanan lainnya. Namun, saat ini jumlahnya sudah menurun drastis.
”Kini tinggal 15 pedagang saja. Kalau puasa seperti ini, yang buka hanya beberapa saja,” ujar salah satu pemilik warung, Ny Ratih, 44. Ratih bersyukur kiosnya bisa selamat. Beberapa rekannya sesama pedagang terpaksa harus kehilangan lapak karena tersapu oleh air laut. Kios hilang lantaran tidak diurusi oleh sang pemilik. Biasanya jika warung sudah berjarak 4 meter dari air laut, dirapatkan. Namun ketika pemilik tidak ada, akhirnya alam yang berbicara.
Pemilik warung enggan mengurus kios diduga lantaran sepi pengunjung. Hal ini diakui oleh pedagang yang tinggal di kawasan Pamularsih itu. ”Di sini ramainya Sabtu dan Minggu, ratusan ada. Bahkan ada pengunjung dari Purwodadi, Blora, dan Yogyakarta,” ucap Ny Ratih.
Salah seorang wisatawan Pantai Maron, Esi Setiani, mengaku kondisi pantai berubah drastis. Dulu pemandangannya masih elok, tapi sekarang tidak lagi. ”Dulu lebih ramai dari sekarang ini. Saat ini yang datang biasanya mengail ikan,” katanya.
Arif Purniawan
Semarang
Untuk menuju lokasi, bisa ditempuh melalui Perumahan Graha Padma atau via Bandar Udara Internasional Ahmad Yani Semarang. Untuk menuju ke lokasi, sebaiknya menggunakan kendaraan roda dua atau mobil karena jarak dari pantai dengan bandara sekitar 1 kilometer (km). Pengunjung harus melalui jalan tanah dengan urukan pasir dan batu selebar 6 meter di pinggir Sungai Silandak. Pantai itu berada di muara tersebut atau ujung runway bandara.
Tidak diketahui pasti kenapa dinamai Maron. Konon, nama pantai ini diambil dari warna khas baret Penerbad yang berwarna merah maroon. Pantai itu mulai banyak dikunjungi sejak 2007 dan sangat ramai. Akhir pekan dari Sabtu pagi hingga Minggu sore, ribuan wisatawan dari Kota Lumpia berdatangan menghabiskan hari libur. Pada masa itu bentangan pasir hitam yang diterjang ombak dapat terlihat jelas memanjang. Itu merupakan pemandangan 2007–2012.
Seiring dengan berjalannya waktu, hamparan pasir sudah tidak terlihat memanjang. Di sebelah timur mulai bermunculan gundukan tanah padas. Bibir pantai tersebut sengaja diuruk diduga untuk menahan abrasi. Bentangan pantai hanya terlihat tak kurang dari 30 meter. Jumlah pedagang pun tidak seramai dulu. Saat awal pantai itu dibuka, tak kurang ada 75 warung yang menjajakan makanan. Ada sate ayam, soto, dan makanan lainnya. Namun, saat ini jumlahnya sudah menurun drastis.
”Kini tinggal 15 pedagang saja. Kalau puasa seperti ini, yang buka hanya beberapa saja,” ujar salah satu pemilik warung, Ny Ratih, 44. Ratih bersyukur kiosnya bisa selamat. Beberapa rekannya sesama pedagang terpaksa harus kehilangan lapak karena tersapu oleh air laut. Kios hilang lantaran tidak diurusi oleh sang pemilik. Biasanya jika warung sudah berjarak 4 meter dari air laut, dirapatkan. Namun ketika pemilik tidak ada, akhirnya alam yang berbicara.
Pemilik warung enggan mengurus kios diduga lantaran sepi pengunjung. Hal ini diakui oleh pedagang yang tinggal di kawasan Pamularsih itu. ”Di sini ramainya Sabtu dan Minggu, ratusan ada. Bahkan ada pengunjung dari Purwodadi, Blora, dan Yogyakarta,” ucap Ny Ratih.
Salah seorang wisatawan Pantai Maron, Esi Setiani, mengaku kondisi pantai berubah drastis. Dulu pemandangannya masih elok, tapi sekarang tidak lagi. ”Dulu lebih ramai dari sekarang ini. Saat ini yang datang biasanya mengail ikan,” katanya.
Arif Purniawan
Semarang
(ars)