Petualang yang Keliling Dunia Bersepeda
A
A
A
Pada era 1960-an, nama Muhammad Jusuf Sokartara mungkin tidak asing bagi warga Sumut, khususnya pecinta sepeda. Maklum, Muhammad Jusuf Sokartara merupakan salah satu atlet sepeda Sumut, seangkatan dengan Sanusi, Sanuri, dan Sehan Ginting.
Namun, karena waktu itu tidak sepaham dengan pengurus organisasi cabang olahraga sepeda di daerah ini, dia memilih meninggalkan Sumut dan nekat berkeliling dunia dengan sepedanya selama satu setengah tahun.
Hingga pada akhirnya memutuskan menetap di Belanda dan bekerja di bagian kargo sebuah perusahaan maskapai di sana. Setelah puluhan tahun bekerja di Negeri Kincir Angin, pria yang akrab disapa Jusuf ini kembali ke Tanah Air dan membangun sebuah tempat perlabuhan yang unik dan langka. Bangunan itu berupa rumah berbentuk sepatu. Rumah sepatu itu dibangun ayah empat anak ini di Jalan SMA Negeri 2, Medan Johor.
Selain unik dan hanya satu di Kota Medan, bangunan bercat putih ini ternyata mengandung filosofis tersendiri bagi Jusuf. Bagi Jusuf, sepatu sangat penting. Suami dari Novrita Agama ini sudah berkeliling dunia dengan mengenakan sepatu. Karena itu, dia sangat merasakan sekali manfaat dari sepatu. “Dengan sepatu kita bisa berjalan ke mana saja, bisa berkeliling dunia.
Dengan sepatu juga bisa membuat kaki kita terhindar dari bendabenda tajam, sehingga kita terus bisa berjalan berkeliling ke mana saja,” ujar Jusuf, kemarin. Sejatinya, sulung dari 11 bersaudara ini sudah mengimpikan rumah berbentuk sepatu sejak 1950- an. Kala itu, dia melihat rumah sepatu yang ada di Mumbai, India, itu pun hanya dalam foto yang ada di sebuah majalah.
Namun, setelah dia berkesempatan berkeliling dunia, dia pun menyempatkan diri menyinggahi rumah yang dimimpikannya itu. “Kini saya baru bisa mewujudkan mimpi membuat rumah berbentuk sepatu,” kata Jusuf. Meskipun hingga saat ini masih berdomisili di Negeri Kincir Angin, Jusuf mengaku masih tetap mencintai Indonesia, karena leluhurnya merupakan orang Indonesia bersuku Batak.
Karena kecintaannya terhadap tanah leluhur itu pula, pria kelahiran Berastagi, 14 Maret 1944 ini membangun rumah sepatu itu di Kota Medan. “Rumah ini saya bangun untuk tempat tinggal keluarga saya kalau berkunjung ke Medan. Biasanya kalau liburan kami ke sini,” ucapnya. Rumah berukuran 5 x 9 meter itu terdiri atas tiga lantai yang masing-masing lantainya terdapat kamar berukuran 4 x3 meter dan toilet di setiap kamar.
Di lantai 1 terdapat ruang tamu dan tempat masak sekaligus cuci piring, sedangkan di lantai 2 terdapat balkon. Pembangunan rumah yang dikerjakan kontraktor lokal bernama Haryono ini mulai dikerjakan 13 Februari 2015, dan kini sedang proses finishing . “Kalau biaya untuk membangun rumah ini jika dihitung sampai sekarang sudah berkisar Rp300 juta. Kalau sampai selesai, bisa mencapai hingga Rp350 jutaan,” kata Jusuf.
Jusuf mengaku sudah mengusulkan rumah sepatu miliknya itu masuk dalam The Guinness Book Records agar tercatat dalam rekor dunia. “Saya sudah kirimkan datadatanya, mudah-mudahan bisa masuk,” ucapnya. Selain atlet sepeda, Jusuf dulu dikenal seorang petualang yang sudah berkeliling dunia. Pria yang tidak senang diam di rumah ini dari kecil sudah dijuluki rekan-rekannya sebagai sosok yang sukar dicari, payah didapat, dan tiada tara alias Sokartara.
Nama Sokartara akhirnya melekat pada dirinya. “Nama Sokartara itu sebenarnya berasal dari julukan teman-teman karena sulit mencari saya, kalau nama asli saya hanya Muhammad Jusuf,” ucapnya. Berbagai medali pernah disabetnya ketika masih menjadi atlet sepeda. Dia bahkan pernah mengikuti latihan prakualifikasi olimpiade di Meksiko.
Namun karena terjadi perdebatan dengan pengurus organisasi cabang olahraga sepeda di Sumut, dia memilih hijrah ke Yogyakarta pada 1968. Dia kemudian nekat berkeliling dunia dengan sepedanya selama satu setengah tahun dimulai 21 November 1969 silam. Perjalanannya diawali dari Jakarta-Singapura dengan berbekal bantuan dari beberapa donatur, seperti Adam Malik dan Ibnu Sutowo.
Dia waktu itu hanya mengantongi uang USD52 saat berangkat ke Singapura dan membawa sepedanya di atas pesawat. “Ketika itu mungkin saya adalah orang pertama yang diperbolehkan membawa sepeda di kursi duduk dalam pesawat,” ujarnya. Dari Singapura, Jusuf menyeberang ke Johor, Malaysia, dan mengayuh sepeda ke arah Penang lewat Batu Phat.
Selanjutnya, atas sumbangan dari Kedubes RI, Jusuf diseberangkan dengan kapal feri ke Nagapatnam, Madras, India. Selanjutnya mengayuh sepeda ke Bombai, Mumbai, dan New Delhi. Di sinilah Jusuf menyinggahi rumah sepatu yang sudah lama diimpikannya itu. Petualangannya berkeliling dunia dengan sepeda itu pernah mendapat cobaan di Kota Sangrur, negara bagian Punjab, India Utara. Di sana dia ditangkap petugas keamanan karena dicurigai sebagai matamata. Sebab, waktu itu tengah berkecamuk perang antara India dan Pakistan.
Jusuf pun ditahan selama sebulan di India. Dari India kemudian menyeberang ke Pakistan. Kemudian melanjut ke Afghanistan dan ke Iran. “Keinginan saya naik haji ke Arab Saudi ketika itu pupus karena Kedubes RI di Afghanistan menganggap saya hanya membuat repot,” ujarnya.
Tapi kegagalan itu tidak membuatnya patah semangat. Dia malah beralih berkeliling ke blok timur dengan bersepeda mengelilingi Rumania, Hongaria, dan Uni Soviet, dan berakhir di Belanda pada 1972. Sejak itu, dia bekerja menjadi karyawan di bagian kargo maskapai KLM dan keluar dari perusahaan itu pada 2008.
Sekarang Jusuf berprofesi sebagai guide yang membawa turis asal Indonesia berkeliling negara Eropa. “Kunci saya selama ini hanya pasrah dan ikhlas kepada Allah SWT pasti akan ada jalan. Siapa yang berusaha pasti akan ada jalannya,” tandas pria yang masih berkeinginan menjelajahi Australia, Moskow, dan Finlandia ini.
Lia Anggia Nasution
Namun, karena waktu itu tidak sepaham dengan pengurus organisasi cabang olahraga sepeda di daerah ini, dia memilih meninggalkan Sumut dan nekat berkeliling dunia dengan sepedanya selama satu setengah tahun.
Hingga pada akhirnya memutuskan menetap di Belanda dan bekerja di bagian kargo sebuah perusahaan maskapai di sana. Setelah puluhan tahun bekerja di Negeri Kincir Angin, pria yang akrab disapa Jusuf ini kembali ke Tanah Air dan membangun sebuah tempat perlabuhan yang unik dan langka. Bangunan itu berupa rumah berbentuk sepatu. Rumah sepatu itu dibangun ayah empat anak ini di Jalan SMA Negeri 2, Medan Johor.
Selain unik dan hanya satu di Kota Medan, bangunan bercat putih ini ternyata mengandung filosofis tersendiri bagi Jusuf. Bagi Jusuf, sepatu sangat penting. Suami dari Novrita Agama ini sudah berkeliling dunia dengan mengenakan sepatu. Karena itu, dia sangat merasakan sekali manfaat dari sepatu. “Dengan sepatu kita bisa berjalan ke mana saja, bisa berkeliling dunia.
Dengan sepatu juga bisa membuat kaki kita terhindar dari bendabenda tajam, sehingga kita terus bisa berjalan berkeliling ke mana saja,” ujar Jusuf, kemarin. Sejatinya, sulung dari 11 bersaudara ini sudah mengimpikan rumah berbentuk sepatu sejak 1950- an. Kala itu, dia melihat rumah sepatu yang ada di Mumbai, India, itu pun hanya dalam foto yang ada di sebuah majalah.
Namun, setelah dia berkesempatan berkeliling dunia, dia pun menyempatkan diri menyinggahi rumah yang dimimpikannya itu. “Kini saya baru bisa mewujudkan mimpi membuat rumah berbentuk sepatu,” kata Jusuf. Meskipun hingga saat ini masih berdomisili di Negeri Kincir Angin, Jusuf mengaku masih tetap mencintai Indonesia, karena leluhurnya merupakan orang Indonesia bersuku Batak.
Karena kecintaannya terhadap tanah leluhur itu pula, pria kelahiran Berastagi, 14 Maret 1944 ini membangun rumah sepatu itu di Kota Medan. “Rumah ini saya bangun untuk tempat tinggal keluarga saya kalau berkunjung ke Medan. Biasanya kalau liburan kami ke sini,” ucapnya. Rumah berukuran 5 x 9 meter itu terdiri atas tiga lantai yang masing-masing lantainya terdapat kamar berukuran 4 x3 meter dan toilet di setiap kamar.
Di lantai 1 terdapat ruang tamu dan tempat masak sekaligus cuci piring, sedangkan di lantai 2 terdapat balkon. Pembangunan rumah yang dikerjakan kontraktor lokal bernama Haryono ini mulai dikerjakan 13 Februari 2015, dan kini sedang proses finishing . “Kalau biaya untuk membangun rumah ini jika dihitung sampai sekarang sudah berkisar Rp300 juta. Kalau sampai selesai, bisa mencapai hingga Rp350 jutaan,” kata Jusuf.
Jusuf mengaku sudah mengusulkan rumah sepatu miliknya itu masuk dalam The Guinness Book Records agar tercatat dalam rekor dunia. “Saya sudah kirimkan datadatanya, mudah-mudahan bisa masuk,” ucapnya. Selain atlet sepeda, Jusuf dulu dikenal seorang petualang yang sudah berkeliling dunia. Pria yang tidak senang diam di rumah ini dari kecil sudah dijuluki rekan-rekannya sebagai sosok yang sukar dicari, payah didapat, dan tiada tara alias Sokartara.
Nama Sokartara akhirnya melekat pada dirinya. “Nama Sokartara itu sebenarnya berasal dari julukan teman-teman karena sulit mencari saya, kalau nama asli saya hanya Muhammad Jusuf,” ucapnya. Berbagai medali pernah disabetnya ketika masih menjadi atlet sepeda. Dia bahkan pernah mengikuti latihan prakualifikasi olimpiade di Meksiko.
Namun karena terjadi perdebatan dengan pengurus organisasi cabang olahraga sepeda di Sumut, dia memilih hijrah ke Yogyakarta pada 1968. Dia kemudian nekat berkeliling dunia dengan sepedanya selama satu setengah tahun dimulai 21 November 1969 silam. Perjalanannya diawali dari Jakarta-Singapura dengan berbekal bantuan dari beberapa donatur, seperti Adam Malik dan Ibnu Sutowo.
Dia waktu itu hanya mengantongi uang USD52 saat berangkat ke Singapura dan membawa sepedanya di atas pesawat. “Ketika itu mungkin saya adalah orang pertama yang diperbolehkan membawa sepeda di kursi duduk dalam pesawat,” ujarnya. Dari Singapura, Jusuf menyeberang ke Johor, Malaysia, dan mengayuh sepeda ke arah Penang lewat Batu Phat.
Selanjutnya, atas sumbangan dari Kedubes RI, Jusuf diseberangkan dengan kapal feri ke Nagapatnam, Madras, India. Selanjutnya mengayuh sepeda ke Bombai, Mumbai, dan New Delhi. Di sinilah Jusuf menyinggahi rumah sepatu yang sudah lama diimpikannya itu. Petualangannya berkeliling dunia dengan sepeda itu pernah mendapat cobaan di Kota Sangrur, negara bagian Punjab, India Utara. Di sana dia ditangkap petugas keamanan karena dicurigai sebagai matamata. Sebab, waktu itu tengah berkecamuk perang antara India dan Pakistan.
Jusuf pun ditahan selama sebulan di India. Dari India kemudian menyeberang ke Pakistan. Kemudian melanjut ke Afghanistan dan ke Iran. “Keinginan saya naik haji ke Arab Saudi ketika itu pupus karena Kedubes RI di Afghanistan menganggap saya hanya membuat repot,” ujarnya.
Tapi kegagalan itu tidak membuatnya patah semangat. Dia malah beralih berkeliling ke blok timur dengan bersepeda mengelilingi Rumania, Hongaria, dan Uni Soviet, dan berakhir di Belanda pada 1972. Sejak itu, dia bekerja menjadi karyawan di bagian kargo maskapai KLM dan keluar dari perusahaan itu pada 2008.
Sekarang Jusuf berprofesi sebagai guide yang membawa turis asal Indonesia berkeliling negara Eropa. “Kunci saya selama ini hanya pasrah dan ikhlas kepada Allah SWT pasti akan ada jalan. Siapa yang berusaha pasti akan ada jalannya,” tandas pria yang masih berkeinginan menjelajahi Australia, Moskow, dan Finlandia ini.
Lia Anggia Nasution
(ftr)