Antikekerasan dan Sering Ajarkan Cara Nandur

Jum'at, 19 Juni 2015 - 08:55 WIB
Antikekerasan dan Sering...
Antikekerasan dan Sering Ajarkan Cara Nandur
A A A
TEGAL - Tiap bulan Sya’ban tiba, Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal hampir pasti selalu dibanjiri ratusan hingga ribuan umat Islam dari berbagai daerah.

Di bulan menjelang Ramadan itu, rutin digelar acara haul untuk mengenang Syekh Abdurrahman, tokoh yang berperan dalam penyebaran Islam di Kota Tegal dan sekitarnya. Sebagai ulama, Syekh Abdurrahman memang bukanlah sosok sembarangan. Masyarakat juga kerap menyebutnya sebagai Mbah Panggung. Ada sejumlah versi menyangkut asal-usul tokoh ini.

“Mbah Panggung lahir, berjuang syiar Islam, dan meninggal jauh sebelum adanya Kota Tegal. Kurun waktu abad ke-4 sampai 6,” kata juru kunci makam Mbah Panggung Hasan Mutammimi kemarin.

Dalam salah satu versi asalusul Mbah Panggung, dikisahkan bahwa wilayah Kelurahan Panggung dahulunya merupakan pulau yang terpisah dari Pulau Jawa. Bentuknya pulau karang yang menjulang tinggi. Di tempat inilah Syekh Abdurrahman yang berasal dari Jazirah Arab pertama kali menginjakkan kaki untuk berdakwah.

“Waktu itu masih belum ada penghuni. Mbah Panggung satu-satunya yang tinggal di situ. Karena tempatnya tinggi di atas permukaan laut, seperti panggung, orang-orang di Pulau Jawa yang tahu keberadaan beliau sering menyebut, itu mbah-mbah yang ada di panggung kok lama nggak kelihatan. Konon, dari situ asal-muasal sebutan Mbah Panggung,” papar Hasan.

Lantaran masih terpisah dari Pulau Jawa, Mbah Panggung yang ketika datang masih berusia muda harus menyeberang menggunakan perahu untuk berdakwah menyebarkan Islam di wilayah pesisir Pulau Jawa yang kini menjadi wilayah Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, dan Kota Tegal. “Awal mula, dakwahnya dilakukan secara personal, pendekatannya perorangan,” ujarnya.

Lambat laun seiring perjalanan dakwah yang dilakukan, wilayah yang didiami Mbah Panggung mulai banyak didatangi warga yang hendak menimba ilmu agama. Laut yang awalnya memisahkan juga lambat laun menjadi daratan. Hingga akhirnya Mbah Panggung mendirikan sebuah padepokan di tempat tinggalnya, semacam pondok pesantren saat ini. “Mbah Panggung akhirnya juga berkeluarga dan memiliki keturunan. Namun, tidak ada catatan silsilahnya. Yang jelas, menikahnya dengan orang Jawa,” papar Hasan.

Kondisi masyarakat saat itu masih ada yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Memang metode dakwah yang dilakukan Mbah Panggung sangat jauh dari kekerasan dan tekanan. Sebaliknya, dakwah diselipkan melalui aktivitas keseharian masyarakat saat itu yang diikuti Mbah Panggung.

“Dakwah dengan lisan, dengan praktik, dengan membantu, membaur. Orang kerja bakti beliau ikut kerja bakti, orang nandur (menanam padi) ikut nandur , dan memberikan pelajaranpelajaran nandur . Seperti ini lho caranya nandur . Saat zuhur, Mbah Panggung istirahat salat. Orang kan melihat, apa sih . Setelah mereka bertanya, baru dijelaskan,” ungkapnya.

Mbah Panggung selalu mewujudkan rasa syukur dengan menggelar kegiatan selamatan atau syukuran. Hal ini berangkat dari satu ayat di dalam Alquran yang menekankan rasa bersyukur. “Beliau juga sangat menyukai gotong royong karena bagian dari habluminanas. Secara otomatis habluminallah-nya juga ada,” ujar Hasan.

Kharisma sosok Mbah Panggung membuat makamnya hingga saat ini masih didatangi peziarah. Mereka yang datang berasal dari berbagai kalangan mulai dari kalangan biasa hingga pejabat, sipil hingga militer. “Ada peziarah yang berziarah terang-terangan, ada yang berziarah diam-diam. Ada orang yang mau membuat kakikaki atau kuda-kuda (rumah) ziarah ke sini, yang mau buat warteg, mayang (melaut) juga ke sini. Istilahnya sowan, pamit,” ungkap Hasan.

Versi lain asal-usul Mbah Panggung diungkapkan budayawan Kota Tegal, Yono Daryono. Menurut dia, Mbah Panggung merupakan ulama yang hidup pada masa Kesultanan Demak dan bernama Syekh Malang Sumirang. “Saya lebih menyebutnya sebagai Sunan Panggung,” kata Yono kemarin.

Saat itu, Syekh Malang Sumirang merupakan salah satu dari tiga ulama yang dianggap sesat oleh Sultan Demak sehingga diperintahkan untuk dihukum dengan cara dibakar. Dua lainnya adalah Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenongo. “Syekh Malang Sumirang dianggap sesat karena membawa dua anjing dalam dakwahnya yang dinamai Iman dan Islam,” ujarnya.

Yono yang pernah mementaskan teater berlakon Sunan Panggung pada 2008 itu melanjutkan, saat dibakar, Syekh Malang Sumirang masih bisa meloloskan diri dan bahkan mampu membuat serat (sajak) berjudul Malang Sumirang . Setelah meloloskan diri dari hukuman mati, dia kemudian pergi ke arah barat hingga sampai di sebuah hutan lebat dan menyiarkan Islam di tempat tersebut.

Tempat itu kini merupakan wilayah Kota Tegal dan sekitarnya. “Tempat itu merupakan alas dengan pohon-pohon besar yang rantingnya besar. Dari situlah konon nama Panggung berasal, Pang (ranting pohon) Agung (besar),” kata Yono.

Saat berdakwah ke masyarakat, selain diikuti kedua anjingnya, Syekh Malang Sumirang selalu membawa serta dua tokoh wayang, yakni Khrisna dan Arjuna. “Saat itu masyarakat masih menganut Hindu dan Buddha. Malah mungkin masih ada yang animisme dan dinamisme. Jadi, wayang itu sebagai upaya untuk lebih mudah mendekati masyarakat,” ucapnya.

Yono meyakini cerita versi tersebut berdasarkan bukti adanya dua makam di sekitar makam Mbah Panggung. Di nisan kedua malam tersebut tertulis Iman dan Islam. Selain kedua versi tersebut, terdapat juga versi lain yang mengidentikkan Mbah Panggung dengan Sunan Derajat. “Termasuk versi nama Syekh Abdurrahman itu,” pungkasnya.

Farid Firdaus
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7823 seconds (0.1#10.140)