Kami Capek Pindah Sekolah Terus
A
A
A
Sejak erupsi hebat Gunung Sinabung itu dia tak kembali ke desa. “Kami harus bertahan hidup dalam bencana yang hingga kini belum tahu kapan berakhir.”
“Tidak ada kepastian bagaimana hidup kami selanjutnya. Tapi, lebih penting bagi kami adalah anak-anak kami, masa depan mereka bagaimana? Tolong perhatikan anak-anak kami,” ucap perempuan berusia 34 tahun ini kepada KORAN SINDO MEDAN , kemarin.
Hingga tahun ini, Roliyanti beserta suami dan dua anaknya sudah berpindah-pindah dari satu tempat pengungsian ke tempat pengungsian lain di Kabupaten Karo. “Rumah dan ladang sudah hancur. Kini kami membesarkan dua anak kami sambil bertahan hidup tanpa tempat tinggal dan pekerjaan,” katanya sambil menutup matanya yang berair.
Di posko pengungsian Jambur Buah, Desa Batu Karang, Kecamatan Payung, Roliyanti kini tinggal. Katanya untuk sementara, tapi tak bisa direka-reka pula kapan dia dan 923 pengungsi lain akan meninggalkan posko pengungsian. Karena belum ada tanda-tanda mereka akan segera dipindahkan ke tempat tinggal baru dan menetap. Roliyanti berharap keluarganya bisa segera memiliki tempat tinggal tetap, tidak lagi dihantui perasaan cemas karena seketika mereka bisa dipindahkan lagi ke posko pengungsian lain.
“Yang kami pikirkan cuma anak-anak kami, mereka trauma, bahkan anak pertamaku sempat kalau malam tidur lengkap dengan jaket, topi, kaos kaki, dan sepatunya. Katanya kalau Sinabung meletus bisa cepat lari,” ujarnya. Kegamangan Roliyanti tentang kondisi anak-anaknya juga dirasakan pengungsi lain, yang rata-rata dari mereka mengaku cemas karena tidak memiliki gambaran bagaimana nasib anak-anak mereka kelak.
Mulai dari berpindah-pindah tempat mengungsi, berpindahpindah sekolah, hingga kondisi kehidupan mereka di tenda pengungsian, yang hanya menggantungkan hidup dari bantuan. “Kami butuh kepastian di mana kami akan ditempatkan dan sampai kapan kami harus terus-terus mengungsi, kasihan anak-anak. Kami sudah tidak memikirkan diri kami lagi, tapi anak-anak kami,” ujarnya.
Seorang relawan dari Rumah Zakat yang ditemui di pengungsian, Titin Hartini mengaku, prihatin dengan kondisi anak-anak pengungsi korban erupsi Sinabung. Dia sudah tinggal selama tiga hari bersama pengungsi di Jambur Buah melihat langsung bagaimana anak-anak ini sangat membutuhkan perhatian banyak pihak.
“Anak-anak ini butuh teman, butuh hiburan, terlihat mereka trauma, harus pindahpindah dan berganti lingkungan. Setidaknya, kami menjadi pendengar saja atau teman bermain mereka itu sudah lebih dari cukup,” kata merupakan mahasiswi Universitas Sumatera Utara (USU) ini. Anak-anak ini juga membutuhkan asupan makanan yang lebih sehat, terutama kebutuhan pemenuhan gizinya.
“Anakanak ini sering mengeluh kepada kami soal makanan, terutama mi instan yang menjadi menu paling sering mereka konsumsi selama tinggal di tempat pengungsian,” ujarnya. Di sela-sela KORAN SINDO MEDAN berbincang dengan relawan dan ibu-ibu pengungsi Sinabung, kemarin, tiba-tiba suasana semula tenang berubah gaduh. Terlihat anak-anak berlari mengejar satu mobil bak terbuka yang memasuki halaman posko pengungsian, tampak mobil itu membawa alat-alat permainan anak-anak mulai dari ayunan hingga perosotan.
Bahkan, anak-anak ini terlihat menaiki mobil itu sambil berteriak kegirangan. Satu per satu relawan dari Save Tanah Karo menurunkan alat-alat permainan tersebut dan memasangnya di halaman posko. Anak-anak pun berkerumun, berebut menaikkan alatalat permainan tersebut. Dea, 12, salah seorang anak pengungsi, mengaku senang dengan ada permainan ini. Karena selama ini Dea dan teman-temannya tidak memiliki permainan apa pun di tenda pengungsian.
Dia bercerita sejak meninggalkan rumahnya di Desa Guru Kinayan dua tahun lalu, dirinya sudah tiga kali berpindah-pindah sekolah. Dea yang saat itu masih kelas 4 SD sekarang sudah kelas 6 SD. “Kami capek pindah sekolah terus, baru lagi pindah sudah pindah lagi. Di tempat pengungsi kami juga sering sakit, selain itu kami sulit dapat air,” tuturnya.
Selain itu, dia dan temantemannya berharap bisa segera pulang ke rumah, berkumpul lagi dengan teman-teman semasa mereka tinggal di desa yang kini tidak lagi bisa ditempati. “Kami ingin pulang. Kami susah belajar di sini. Sejak mengungsi kami tidak punya uang jajan karena orang tua kami tidak punya ladang lagi,” katanya.
bambang saswanda harahap
“Tidak ada kepastian bagaimana hidup kami selanjutnya. Tapi, lebih penting bagi kami adalah anak-anak kami, masa depan mereka bagaimana? Tolong perhatikan anak-anak kami,” ucap perempuan berusia 34 tahun ini kepada KORAN SINDO MEDAN , kemarin.
Hingga tahun ini, Roliyanti beserta suami dan dua anaknya sudah berpindah-pindah dari satu tempat pengungsian ke tempat pengungsian lain di Kabupaten Karo. “Rumah dan ladang sudah hancur. Kini kami membesarkan dua anak kami sambil bertahan hidup tanpa tempat tinggal dan pekerjaan,” katanya sambil menutup matanya yang berair.
Di posko pengungsian Jambur Buah, Desa Batu Karang, Kecamatan Payung, Roliyanti kini tinggal. Katanya untuk sementara, tapi tak bisa direka-reka pula kapan dia dan 923 pengungsi lain akan meninggalkan posko pengungsian. Karena belum ada tanda-tanda mereka akan segera dipindahkan ke tempat tinggal baru dan menetap. Roliyanti berharap keluarganya bisa segera memiliki tempat tinggal tetap, tidak lagi dihantui perasaan cemas karena seketika mereka bisa dipindahkan lagi ke posko pengungsian lain.
“Yang kami pikirkan cuma anak-anak kami, mereka trauma, bahkan anak pertamaku sempat kalau malam tidur lengkap dengan jaket, topi, kaos kaki, dan sepatunya. Katanya kalau Sinabung meletus bisa cepat lari,” ujarnya. Kegamangan Roliyanti tentang kondisi anak-anaknya juga dirasakan pengungsi lain, yang rata-rata dari mereka mengaku cemas karena tidak memiliki gambaran bagaimana nasib anak-anak mereka kelak.
Mulai dari berpindah-pindah tempat mengungsi, berpindahpindah sekolah, hingga kondisi kehidupan mereka di tenda pengungsian, yang hanya menggantungkan hidup dari bantuan. “Kami butuh kepastian di mana kami akan ditempatkan dan sampai kapan kami harus terus-terus mengungsi, kasihan anak-anak. Kami sudah tidak memikirkan diri kami lagi, tapi anak-anak kami,” ujarnya.
Seorang relawan dari Rumah Zakat yang ditemui di pengungsian, Titin Hartini mengaku, prihatin dengan kondisi anak-anak pengungsi korban erupsi Sinabung. Dia sudah tinggal selama tiga hari bersama pengungsi di Jambur Buah melihat langsung bagaimana anak-anak ini sangat membutuhkan perhatian banyak pihak.
“Anak-anak ini butuh teman, butuh hiburan, terlihat mereka trauma, harus pindahpindah dan berganti lingkungan. Setidaknya, kami menjadi pendengar saja atau teman bermain mereka itu sudah lebih dari cukup,” kata merupakan mahasiswi Universitas Sumatera Utara (USU) ini. Anak-anak ini juga membutuhkan asupan makanan yang lebih sehat, terutama kebutuhan pemenuhan gizinya.
“Anakanak ini sering mengeluh kepada kami soal makanan, terutama mi instan yang menjadi menu paling sering mereka konsumsi selama tinggal di tempat pengungsian,” ujarnya. Di sela-sela KORAN SINDO MEDAN berbincang dengan relawan dan ibu-ibu pengungsi Sinabung, kemarin, tiba-tiba suasana semula tenang berubah gaduh. Terlihat anak-anak berlari mengejar satu mobil bak terbuka yang memasuki halaman posko pengungsian, tampak mobil itu membawa alat-alat permainan anak-anak mulai dari ayunan hingga perosotan.
Bahkan, anak-anak ini terlihat menaiki mobil itu sambil berteriak kegirangan. Satu per satu relawan dari Save Tanah Karo menurunkan alat-alat permainan tersebut dan memasangnya di halaman posko. Anak-anak pun berkerumun, berebut menaikkan alatalat permainan tersebut. Dea, 12, salah seorang anak pengungsi, mengaku senang dengan ada permainan ini. Karena selama ini Dea dan teman-temannya tidak memiliki permainan apa pun di tenda pengungsian.
Dia bercerita sejak meninggalkan rumahnya di Desa Guru Kinayan dua tahun lalu, dirinya sudah tiga kali berpindah-pindah sekolah. Dea yang saat itu masih kelas 4 SD sekarang sudah kelas 6 SD. “Kami capek pindah sekolah terus, baru lagi pindah sudah pindah lagi. Di tempat pengungsi kami juga sering sakit, selain itu kami sulit dapat air,” tuturnya.
Selain itu, dia dan temantemannya berharap bisa segera pulang ke rumah, berkumpul lagi dengan teman-teman semasa mereka tinggal di desa yang kini tidak lagi bisa ditempati. “Kami ingin pulang. Kami susah belajar di sini. Sejak mengungsi kami tidak punya uang jajan karena orang tua kami tidak punya ladang lagi,” katanya.
bambang saswanda harahap
(ftr)