Operasi Pasar Tak Efektif Tekan Harga

Jum'at, 12 Juni 2015 - 09:43 WIB
Operasi Pasar Tak Efektif Tekan Harga
Operasi Pasar Tak Efektif Tekan Harga
A A A
YOGYAKARTA - Fenomena naiknya harga bahan pokok jelang Ramadan selalu saja terjadi. Operasi pasar yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi hal itu dirasa tak efektif karena fenomena naik harga ini terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia.

Peneliti dari Mubyarto Institute Yogyakarta yang bergerak dalam ekonomi kerakyatan, Istianto Ari Wibowo mengatakan, fenomena tersebut sudah menjadi agenda rutin. "Seperti saat Hari Raya Idul Adha, harga kambing dan sapi naik. Kenaikannya sering kali tidak masuk akal," katanya, kemarin. Setiap tahun, menurutnya, selalu saja ada fenomena itu. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah tidak pernah belajar dari pengalaman yang sudah-sudah.

"Bahkan kelangkaan barang sering kali terjadi. Sudah berpuluh tahun seperti ini. Kalau belajar, bisa diantisipasi. Diperkuat sisi suplainya," katanya. O perasi pasar yang biasa dilakukan pemerintah untuk bisa menekan harga, menurutnya, tak terlalu efektif. Tidak akan mampu mengendalikan harga, karena fenomena ini berlangsung serentak di seluruh wilayah Indonesia. Kalaupun pemerintah melakukan dropping ke puluhan ribu titik daerah yang mengalaminya pun, terlalu banyak memakan anggaran.

"Ini serentak. Kalau kenaikan harganya hanya ada di satu titik daerah saja, didrop selesai. Sebenarnya bagaimana mengatur suplai barang, distribusinya," tuturnya. Menurutnya salah satu solusinya untuk mengantisipasi adanya fenomena tahunan ini adalah dengan membuat suatu design kebijakan. Mengembalikan fungsi dan kewenangan dari Badan Urusan Logistik (Bulog).

"Bulog dulu punya kekuatan untuk membeli produk dari petani dan mengendalikannya. Tapi sejak 1998, fungsi utamanya dipreteli. ““Kenapa tidak mengembalikannya, agar ada pihak yang bertanggung jawab untuk (fenomena) itu," katanya. Dengan adanya kebijakan tersebut, suplai maupun distribusi barang pun akan lebih terjamin. Meski memang membutuhkan waktu yang agak panjang.

"Sebenarnya hanya tinggal kemauan politik saja. Kalau untuk kemampuan, Indonesia pasti mampu. Banyak orangorang pintar," ucapnya. Kenaikan harga, terutama bahan pokok ini, memang para produsen seperti petani juga mendapatkan dampak keuntungannya. Akan tetapi lebih banyak dinikmati oleh para tengkulak besar. "Syukur kenaikan harga dinikmati oleh produsen juga, seperti petani.

Akan tetapi hanya sebagian kecil saja. Yang paling besar menikmatinya itu para tengkulak dengan skala besar. Hasil riset kami seperti itu. Misal keuntungan Rp10.000, petani atau produsen hanya menikmati Rp1.000 saja. Sedangkan tengkulak besar bisa sekitar Rp8.000," tuturnya. Kenaikan harga bahan pokok ini memang selain dikeluhkan oleh masyarakat pada umumnya, di lain pihak juga ada yang merasa diuntungkan. Salah satunya petani ikan di daerah Ngemplak, Sleman.

Saptono, salah satu petani di wilayah tersebut, yang kelompoknya mempunyai lahan kolam ikan luasan sekitar 30 hektare tersebut mengatakan, momen puasa hingga masa Lebaran ini memang menjadi harapannya. Untuk memperbaiki harga jual ikan dari kolam, terutama jenis gurame. "Bahkan petani kami sudah menyetok untuk Lebaran. Karena waktu seperti ini menjadi harapan.

Apalagi harga gurame sudah setahun terakhir ini tidak terlalu memuaskan," tuturnya. Dia mengaku tidak tahu persis ikan yang dijual di pasar ke konsumen. Namun, hanya sebatas mengetahui berapa per kilogramnyayangdiambillangsungdari kolam. "Kalau harga di pasar tidak tahu. Tapikalaudari kolampetani, gurame per kilonya sekitar Rp22.000. Kalau harga bagus, harusnya bisamencapaiRp27.000 sampai28.000," ucapnya.

Harga Daging Ayam Naik

Sementara itu harga bahan pokok di pasar tradisional di Kota Yogyakarta terpantau masih relatif stabil. Hasil pantauan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian (Disperindagkoptan) menemukan hanya harga daging ayam broiler yang naik sebesar Rp2.000. “Harga daging ayam potong pada H-7 puasa ini naik Rp2.000 per kilogram menjadi Rp32.000 dari harga sebelumnya Rp30.000 per kilogram,” ucap Sri Harnani, Kepala Bidang Perdagangan Disperindagkoptan Kota Yogyakarta Sri Harnani, kemarin.

Menurut dia, kendati hanya naik Rp2.000 saja namun harga di pasaran masih tergolong cukup tinggi dibanding harga biasanya. Di mana harga ayam potong biasanya berkisar antara Rp25.000–27.000 per kilogram. Kenaikan harga ini, kata dia, murni dipicu tingginya permintaan. “Permintaannya cukup tinggi dan itu mempengaruhi kenaikan harga ayam potong.

Tidak ada faktor lain yang menjadi pemicunya, selain karena permintaan,” katanya. Selain ayam potong, harga bahan pokok lainnya terpantau masih stabil. Walau pun harga di pasaran masih terbilang lebih mahal jika disbanding harga biasanya. Telur misalnya, terpantau Rp21.000 per kilogram dan beras terpantau stabil Rp9.000 perkilogram. Sedangkan gula pasir Rp12.000 dan masih stabil.

Harga bawang merah per kilogram dijual Rp25.000, bawang putih Rp16.000–18.000. Harga cabai merah Rp25.000 per kilogram, cabai keriting juga Rp25.000, sedangkan cabai rawit merah Rp18.000 dan rawit hijau Rp15.000 per kilogram. “Memang relatif stabil, tapi masih lebih mahal dari harga biasa,” katanya. Dia mencontohkan, untuk harga telur yang ada di kisaran Rp21.000 per kilogram.

Harga sebesar itu masih jauh di atas harga biasanya yang hanya Rp17.000. Stabilitas harga juga terpantau pada sayuran yang dijual di pasar tradisional. “Hanya ada sedikit yang harganya justru turun yaitu daging sapi. Sekarang Rp95.000perkilogram,” katanya. Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti sebelumnya mengatakan, harga bahan pokok akan menjadi salah satu materi yang dibahas dalam forum pembentukan gugus Ramadan.

Pembahasan itu akan melihat dua sisi baik demand side maupun suplai side. “Kami juga sudah punya data distributor besar yang ada di kota, nanti kami cek ke lokasi. Apakah tingginya demand membuat suplai tersendat atau bagaimana. Kami bahas dalam forum nanti,” katanya.

Kenaikan Masih Wajar

Menjelang Ramadan, harga sejumlah kebutuhan pokok di Gunungkidul mengalami kenaikan. Namun demikian, kenaikan tersebut masih dalam taraf kewajaran dan belum perlu ada operasi pasar. Beberapa harga yang mengalamikenaikandiantaranya adalah gula pasir naik dari Rp11.000 per kilogram menjadi Rp12.000 per kilogram, telur ayam dari Rp19.000 menjadi Rp21.000.

Bawang putih dari Rp15.000 naik menjadi Rp17.000. Begitu juga dengan cabai keriting merah yang meroket dari Rp15.000 menjadi Rp25.000 per kilogram. Kemarin, Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) DIY langsung melakukan pemantauan harga sembako ke Pasar Argosari, Wonosari. Mereka masih menganggap wajar kenaikan sejumlah harga kebutuhan pokok di pasar tradisional terbesar di Gunungkidul tersebut.

“Meskipun harga naik, kenaikannya masih dalam taraf wajar,” kata Kepala Biro Perekonomian Setda DIY Tri Mulyono yang memimpin TPID melakukan Sidak di Pasar Argosari, kemarin. Dijelaskannya, selain harga yang relatif stabil, pasokan sembako dari distributor ke pasaran masih cukup lancar. Ini dibuktikandenganstoksejumlahbahan pokok yang masih melimpah dan cukup untuk memenuhi kebutuhan selama Ramadan.

“Kenaikan harga tidak akan tinggi karena stok mencukupi,” katanya. Kabag Analisa Kebijakan Biro Sumber Daya Alam Pemda DIY Salamun yang ikut melakukan sidak berharap, warga masyarakat tidak panik dengan kenaikan harga menjelang Lebaran kali ini. Dengan demikian, tidak perlu membeli barang secara berlebihan.

“Beli sesuai kebutuhan saja, kalau berlebihan justru memicu terjadinya kenaikan harga di luar kewajaran,” katanya. Sementara itu, salah satu ibu rumah tangga, warga Wonosari, Sudarmi mengungkapkan, kenaikan harga harus diantisipasi pemerintah. Dengan demikian ada jaminan harga tetap stabil sehingga tidak menimbulkan keresahan. “Warga memang menyadari menjelang Ramadan dan Hari Raya IdulFitriharganaik, namun harapan kami kenaikannya wajar,” ucapnya.

Ridho hidayat/sodik/ suharjono
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8194 seconds (0.1#10.140)