Dulu Pembangkang, Kini Ikon Kejujuran

Minggu, 07 Juni 2015 - 05:00 WIB
Dulu Pembangkang, Kini Ikon Kejujuran
Dulu Pembangkang, Kini Ikon Kejujuran
A A A
Sedulur Sikep bagi Wong Samin tak hanya pedoman hidup tapi harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari yang begitu toleran dan menyesuaikan zaman.

Jika di zaman penjajahan Wong Samin menolak sekolah, membayar pajak. Kini sebaliknya anak-anak Samin berlomba meraih pendidikan tinggi agar kehidupannya sejajar dengan warga lainnya. Kini mereka juga membayar pajak dan mendukung program pemerintah.

Sedulur Sikep Samin adalah salah satu suku yang berdiam di sekitar Pegunungan Kendeng dengan wilayah memanjang dari Pati di Jawa Tengah, hingga Tuban di Jawa Timur.

Selain disebut Samin atau orang Samin, sebutan lainnya penganut Saminisme ini, seperti Wong Samin (orang Samin), Wong Sikep (orang Sikep), Sedulur Sikep ataupun orang Kalang. Yang terakhir, digunakan sebagai hinaan pada orang Samin, sebagai orang rimba yang tak tahu sopan santun.

Orang Sikep sangat menjunjung tinggi kejujuran, welas asih, persaudaraan dan mencintai lingkungan hidup serta alam semesta. Sejarah Samin sendiri tidak dapat dipisahkan dari Raden Kohar. Tokoh politik dan intelektual yang hidup pada masa penjajahan Belanda pada Abad 18 tersebut adalah tokoh penyebaran ajaran Saminisme.

Raden Kohar keturunan bangsawan. Dia lahir 1859 di Ploso, Kedhiren, Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Ia putra Raden Surawijaya, atau yang oleh masyarakat Sedulur Sikep disebut Samin Sepuh. Raden Kohar memiliki hubungan darah dengan Kiai Keti tokoh dari Rajegwesi, Bojonegoro, Jawa Timur) dan Pangeran Kusumoningayu, penguasa daerah Sumoroto, kini Kabupaten Tulungagung.

Seperti Robin Hood di Inggris, Raden Kohar, mengajak para "begundal" dari Rajegwesi merampok orang kaya dan tuan tanah lalu membagikan hasil rampokannya pada orang-orang miskin. Untuk lebih mendekatkan diri kepada wong cilik ia berganti nama menjadi Samin Surosentiko.

Oleh pengikutnya, ia dipanggil Kiai Samin. Kelak nama itu menjadi sebutan ajaran dan pengikut dalam melestarikan ajarannya. Kiai Samin juga mengajarkan metode baru melawan penjajah Belanda kepada rakyat dengan menolak membayar pajak. Ini membuat pemerintah Belanda geram.

Tahun 1890, Kiai Samin mulai menyebarkan ajarannya kepada rakyat di Klopodhuwur, Blora, Jawa Tengah. Hanya dalam waktu singkat, Kiai Samin mulai memiliki banyak pengikut, seluruhnya adalah petani miskin. Belanda mulai curiga.

Melalui pejabat Desa dan antek-anteknya, Belanda meneror penganut Saminisme. Hal ini cukup membuat gerah Kiai Samin dan para pengikutnya tidak leluasa.

Puncaknya, 1907, Samin Surosentiko dan delapan pengikutnya ditangkap Asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo. Mereka kemudian dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat. Ikut disita kitab suci Wong Samin bernama Jamus Kalimasada. Hingga akhirnya Kiai Samin meninggal 1914.

Penangkapan Kiai Samin tidak membuat pengikutnya kapok. Mereka semakin bersemangat menyebarkan ajaran Saminisme ke berbagai penjuru mata angin.

Ajaran Saminisme pun berkembang pesat di kota-kota di daerah utara Pulau Jawa. Tetapi dua tempat, yakni Desa Klopodhuwur di Blora, dan Desa Tapelan di Bojonegoro, tetap menjadi pusat ajaran Saminisme.

Beberapa kota yang memiliki komunitas Sedulur Sikep antara lain Kudus, Blora, Purwodadi, Sragen, dan Pati di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu, ajaran Saminisme juga sempat berkembang pesat di Bojonegoro, Ngawi, Madiun, dan Tuban di Provinsi Jawa Timur.

Bagi golongan tua kaum Samin, hingga kini agama yang mereka anut sama yang dianut orang Samin awal, yaitu agama Adam. Agama Adam dikembangkan pendiri gerakan Samin, Kiai Samin, sebagai agama kaum Samin.
Dalam agama Adam, nilai-nilai moralitas seperti kejujuran, welas asih, tangggung Jawab, dan menyayangi alam sangat ditekankan.

Selayaknya agama lainnya, agama Adam juga memiliki kitab suci disebut Kitab Jamus Kalimasada. Kitab berisi berbagai ajaran dan falsafah hidup tertulis dalam bentuk syair atau guritan.

Sebagian orang menilai agama Adam ala orang Sikep ini merupakan kombinasi atau sinkretisme dari ajaran Hindu Jawa yakni, mirip seperti dianut orang kejawen/kebatinan Jawa) dan ajaran Buddha dan Islam. Sedang oleh beberapa peneliti, agama Adam dipandang sebagai agama bumi (lawan dari agama samawi/agama langit).

Mereka juga menyebut agama Adam sebagai sebuah aliran kepercayaan segolongan dengan aliran animisme dan dinamisme. Orang Samin jelas tidak bisa menerima ini. Walau kini banyak juga generasi Samin mulai menganut Islam. Agama Adam sendiri mengajarkan tidak membenci penganut agama lain. Itu mengapa orang Sikep tidak pernah bermusuhan dengan penganut agama lain.

"Kabeh agama niku sae. Kabeh tiang niku sae. Tergantung tumindake (Semua agama baik. Semua orang itu baik. Tergantung perbuatannya)," ujar Mbah Lasio.

Pengikut gerakan sosial Samin awalnya memegang lima prinsip perjuangan untuk meneguhkan identitas melawan kolonial: TIDAK BERSEKOLAH (sekolah kolonial), TIDAK MEMAKAI PECI, TAPI MEMAKAI “IKET”, KAIN YANG DIIKATKAN DI KEPALA MIRIP ORANG JAWA DAHULU, TIDAK BERPOLIGAMI, HANYA PAKAI CELANA SELUTUT, TIDAK BERDAGANG DAN PENOLAKAN TERHADAP KAPITALISME. "Kalau istri meninggal boleh nikah lagi," kata Poso, pengikut Samin.

Seiring dengan perubahan zaman, lima prinsip ini mengalami penyesuaian, seperti saat ini warga memiliki kesadaran untuk menuntut ilmu dengan sekolah yang setinggi-tingginya. Mendukung program pemerintah. Juga ikut membayar pajak bumi dan bangunan. "Saniki sing kuoso sedulur kiambak (sekarang yang berkuasa saudara sendiri. Dadi dipatuhi)," tambah Mbah Lasio.

Menurut ajaran Saminisme yang berkembang saat ini, kata Mbah Lasio, tidak bisa dipisahkan tiga tokoh Sedulur Sikep.

Pertama, Suro Sumanto yang mengembangkan ajaran Saminisme di Pulau Bali. Tepatnya, di Istana Tapak Siring Bali. Bahkan, makam Suro Sumanto berada satu kompleks di Istana Tapak Siring. Kabarnya, Bung Karno kalau ke Istana Tapak Siring kerap nyekar bahkan bersemedi di makam itu. "Kami berdua (saya dan Mbah Lasio ) beberapa bulan ke Istana Tapak Siring untuk nyekar sekaligus mengelar ritual mandi malam tujuh air," kata Poso.

Kedua, Samin Surosentiko bersama para pengikutnya menyebarkan ajaran Sedulur Sikep di Desa Klopodhuwur. Kini, komunitas Samin Surosentiko tersebar di Desa Bapangan, Kecamatan Randublatung dan sebagian pengikutnya di Dusun Sambongrejo, Desa Sambong, Kecamatan Cepu, Blora. "Atas biaya seorang pengusaha gula, kami berdua (saya dan Mbah Lasio) tahun lalu mengunjungi makam Samin Surosentiko di Sawahlunto, Sumatera Barat," ujar Poso, pengikut ajaran Samin.

Ketiga, Pak Engkrek yang menyebarluaskan ajaran Saminisme atau Sedulur Sikep di Desa Klopodhuwur hingga akhir hayatnya. Makamnya yang sederhana berupa kota persegi empat yang di atasnya diberi rumah berukuran 4 x 5 meter di kompleks pemakaman umum Desa Klopodhuwur banyak diziarahi pengikut Samin saat ke Klopodhuwur.

Mbah Lasio yang kini didapuk sebagai sesepuh Wong Samin di Dusun Karangpace, Desa Klopodhuwur adalah generasi keempat anak keturunan Pak Engkrek yang terus melanjutkan ajaran Sedulur Sikep. "Sampai turunan pitu sesepuh Samin kudu diisi wong lanang (Sampai keturunan ke tujuh, sesepuh wong Samin harus diisi orang laki-laki dari keturunan Pak Engkrek," terang Mbah Lasio.

Menurut Mbah Lasio, ada beberapa perbedaan kecil antara Sedulur Sikep dalam menyikapi beberapa masalah. Misalnya, Wong Samin yang berada di Klopodhuwur tak masalah mencantumkan agama Islam dalam KTP mereka. Sebaliknya penganut Saminisme di Bapangan memilih mengosongkan agama dalam KTP mereka.

"Sing kuoso saniki lak sedulur dewe yoo monggo diikuti saja (yang berkuasa sekarang kan saudara sendiri ya diikuti saja)," ujar Mbah Lasio.

Perjuangan untuk menjalankan ajaran Sedulur Sikep Samin mengalami pasang surut. Jika di zaman Belanda, Wong Samin ada yang terang-terangan menolak segala hal yang berbau atau produk penjajah. Sebaliknya, era orde lama di zaman Bung Karno penyebaran ajaran Samin begitu leluasa karena ada hubungan baik antara Wong Samin dengan pemerintahan Bung Karno.

Sebaliknya, saat Soeharto dengan orde barunya, tak memberi keleluasaan pengembangan ajaran Wong Samin. Itu karena akibat Wong Samin menerima beberapa orang dari Jepara yang dituding pemerintahan sebagai orang yang terlibat atau bersimpati terhadap pemberontakan G 30 S/PKI.

"Mereka datang mengungsi dan minta pertolongan, ya ditolong. Sebab, semua orang di mata Wong Samin saudara. Kalau ada yang minta tolong ya kita tolong. Hal itu kemudian dipolitisir hingga merugikan Wong Samin," ujar Poso, orang kepercayaan Mbah Lasio.

Sejak itu, pengembangan ajaran Samin mati suri karena terus diawasi pemerintah. Baru sepuluh tahun terakhir sejak reformasi bergulir ajaran Samin berdenyut kembali. Wong Samin yang sejak zaman Belanda hingga Orde Baru dicap sebagai pembangkang, dicap bodoh karena kejujurannya, sekarang berganti menuai simpati.

Ajaran Samin yang mengedepankan kejujuran, kasih sayang, pantang merusak alam kini mendapat simpati luas. Puncaknya, dibangun Pendopo Sedulur Sikep miliaran rupiah hasil sumbangan pemerintah, berbagai pihak termasuk asing di tengah pemukiman warga Samin. "Biyen difoto mawon ajre. Damel nopo. Saniki nggih mboten (Dulu difoto saja kita takut dan curiga. Sekarang tidak lagi)," aku Mbah Lasio.

Bahkan, baru-baru ini atau sekitar tiga atau empat bulan lalu, Presiden Joko Widodo mengunjungi pemukiman Wong Samin di Dukuh Karangpace, Desa Klopodhuwur untuk panen raya jagung. Kini, Sedulur Sikep Samin justru naik daun. Sikap jujur, sederhana, hidup berdampingan alam kini banyak menarik berbagai kalangan baik sejarawan peneliti maupun mahasiswa untuk dijadikan obyek penelitian.

Tidak kalah Pemkab Blora kini menjadikan Samin sebagai ikon Kabupaten Blora. Terbukti, Bupati Blora mewajibkan para PNS pada hari Kamis, setiap akhir bulan, mengenakan pakaian kebesaran Wong Samin. Serba hitam. Mulai ikat kepala, baju hitam lengan panjang tanpa kerah, serta celana hitam di atas mata kaki.

Mbah Lasio mengaku sebelum pemkab Blora menetapkan pakaian wong Samin jadi ikon Blora, dirinya dipanggil ke pemkab untuk menjelaskan beberapa hal terkait arti baju kebesaran Wong Samin.

Kata Mbah Lasio, ikat kepala bisa diartikan setiap penganut Samin harus mengikat atau mengendalikan hawa nafsu yang tidak baik. Sedangkan warna hitam mencerminkan bahwa setiap warga Samin mengakui kalau diri mereka tidak resik (bersih) dari dosa dan perbuatan tercela. "Kulo terangaken ngoten (Saya terangkan begitu)," jelas Mbah Lasio.

Tak hanya itu, kawasan pemukiman Sedulur Sikep Samin di Dusun Karangpace, Desa Klopodhuwur, Kecamatan Banjarejo, Blora, kini dijadikan desa wisata. "Kito nggih remen-remen ae (Kita ya senang-senang saja),’’ imbuh Mbah Lasio.

Mbah Jamil, (90), pengikut Wong Samin paling tua di Klopodhuwur mengaku orang tua dan kakek buyutnya adalah penyebar ajaran Sedulur Sikep. "Kait sinten nggih koyo meniko (Dari dulu ya begini)," ujar Mbah Jamil menceritakan kondisi Sedulur Sikep di Klopodhuwur.

Sosok Mbah Jamil meski sudah sepuh, bahkan jalannya saja membungkuk, tetapi semangat kerjanya masih berkobar. Ia masih ngemong anak dan cucunya. Bahkan, dengan jalan membungkuk, dia menyusuri pematang mencari rumput untuk ternak kambingnya. "Nggih niki ingon-ingon kulo (Ya, ini binatang piaraan saya)," aku Mbah Jamil seraya menunjukkan tiga ekor kambing di depan rumahnya. "Wong Samin kudu nyambut nak (Orang Samin harus kerja kalau masih kuat," tandasnya.

Ditambahkan Wakiyono, (40), anak Mbah Lasio, dulu orang menolak jika dikaitkan orang Samin. Bahkan mereka menghindar karena dipersepsikan negatif. Dituding pembangkang, tidak tahu aturan dan dikonotasi miring lainnya. Kini, saat Sedulur Sikep Samin naik daun banyak orang-orang mengaku warga Samin.

Selain banyak orang mengaku pengikut Wong Samin, tak sedikit yang memanfaatkan nama Samin untuk keuntungan pribadi. Bahkan menipu menggunakan nama orang Samin. "Ini yang banyak terjadi sekarang," kata Wakiyono. (Habis)
(lis)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4350 seconds (0.1#10.140)