Ribuan Hektare Sawah Terancam Puso
A
A
A
BANTUL - Ribuan hektare sawah di tiga kecamatan, yakni Kretek, Sanden, dan Srandakan, terancam kekeringan. Beberapa petak sawah bahkan kondisinya mengkhawatirkan sehingga berpotensi gagal panen.
Kekeringan ini dipicu rusaknya sudetan atau intakeKamijoro di Sungai Progosehingga. Pasokan air yang masuk ke wilayah mereka sementara dialihkan melalui Bendung Pijenan. Kepala Seksi Rehabilitasi dan Pengembangan Jaringan Irigasi Dinas Sumber Daya Air (SD) Kabupaten Bantul, Sigit Pulunggono mengungkapkan, intakeKamijoro sudah tak bisa digunakan lagi akibat parahnya endapan lumpur dan pasir yang masuk di dalamnya.
Dulu kedalaman intake ini bisa mencapai 15 meter tapi kini 80% tertutup pasir dan lumpur. “Kalau diambil lumpurnya sudah tidak bisa. Terlalu banyak yang menyumbat,” ujarnya, kemarin. Untuk sementara, katanya, pasokan air ke wilayah yang berada di hilir dialihkan ke Bendungan Pijenan. Hanya dia yakin pasokan itu tak akan mampu mengairi ribuan hektare sawah ada di tiga kecamatan yang selama ini mengandalkan pasokan dari intake Kamijoro.
Akibatnya, pada musim kemarau ini dipastikan sawah-sawah itu akan mengalami kekeringan. Kemungkinan besar sawahsawah itu tak lagi ditanami padi oleh para petani. Jika nanti petani bersikeras menanam padi, kemungkinan besar mereka mengandalkan air dari sumur yang diangkat dengan pompa. Namun hal itu tentu akan menambah pengeluaran para petani, terutama untuk bahan bakar pompa.
“Biayanya pasti akan melonjak. Jika terus-terusan keuntungan petani tidak akan menutup biaya operasional mereka,” ujarnya. Sebelum erupsi Merapi dan hujan abu akibat letusan Gunung Kelud beberapa waktu lalu, intake Kamijoro masih bisa berfungsi meskipun sangat sedikit. Namun, setelah erupsi Merapi dan hujan abu letusan Gunung Kelud, kondisi intake itu semakin parah.
Sampai saat ini belum ada rehabilitasi dari instansi terkait. Pihaknya tidak bisa bertindak karena bendung itu merupakan kewenangan dari provinsi. Namun, ia sempat mendengar jika Balai Besar Wilayah Sungai akan membuat bendungan darurat dengan membangun bronjong melintang ke tengah sungai, tetapi sampai saat ini realisasinya belum ada. “Katanya nanti akan dibangunkan bendungan permanen. Dananya konon mencapai Rp86 miliar,” ungkapnya.
Sementara Ketua Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air Sungai Progo, Sutardi mengatakan, karena ketinggian permukaan air Sungai Progo ini bertambah, maka air sungai itu dapat masuk ke intake (sudetan) Kamijoro yang dibuat pada zaman Belanda tahun 1927. Sudetan tersebut merupakan lubang air bawah tanah bercabang menuju ke saluran irigasi di empat kecamatan. “Ribuan petani di Kecamatan Pandak, Pajangan, Srandakan, dan Kretek, bergantung pada intake ini,” kata Sutardi.
Pembuatan bendung ini sebenarnya rutin mereka lakukan setiap puncak musim kemarau dan menjelang musim tanam (MT) pertama. Karena memang pada masa-masa seperti sekarang ini debit air di 13 desa menurun drastis dan tak mampu mengairi seluruh sawah di kawasan itu. Meski rutin dilakukan, namun tahun ini secara teknis dan biaya jauh lebih susah dan lebih mahal dibanding dengan tahun sebelumnya. Pasalnya, kedalaman dasar sungai tahun ini lebih dalam dibanding tahun lalu.
Hal tersebut akibat dari ulah para penambang yang masif menyedot pasir sungai itu dengan peralatan modern. “Dulu itu kedalamannya hanya 70 cm, tetapi sekarang sampai tiga meter,” ujarnya.
Erfanto linangkung
Kekeringan ini dipicu rusaknya sudetan atau intakeKamijoro di Sungai Progosehingga. Pasokan air yang masuk ke wilayah mereka sementara dialihkan melalui Bendung Pijenan. Kepala Seksi Rehabilitasi dan Pengembangan Jaringan Irigasi Dinas Sumber Daya Air (SD) Kabupaten Bantul, Sigit Pulunggono mengungkapkan, intakeKamijoro sudah tak bisa digunakan lagi akibat parahnya endapan lumpur dan pasir yang masuk di dalamnya.
Dulu kedalaman intake ini bisa mencapai 15 meter tapi kini 80% tertutup pasir dan lumpur. “Kalau diambil lumpurnya sudah tidak bisa. Terlalu banyak yang menyumbat,” ujarnya, kemarin. Untuk sementara, katanya, pasokan air ke wilayah yang berada di hilir dialihkan ke Bendungan Pijenan. Hanya dia yakin pasokan itu tak akan mampu mengairi ribuan hektare sawah ada di tiga kecamatan yang selama ini mengandalkan pasokan dari intake Kamijoro.
Akibatnya, pada musim kemarau ini dipastikan sawah-sawah itu akan mengalami kekeringan. Kemungkinan besar sawahsawah itu tak lagi ditanami padi oleh para petani. Jika nanti petani bersikeras menanam padi, kemungkinan besar mereka mengandalkan air dari sumur yang diangkat dengan pompa. Namun hal itu tentu akan menambah pengeluaran para petani, terutama untuk bahan bakar pompa.
“Biayanya pasti akan melonjak. Jika terus-terusan keuntungan petani tidak akan menutup biaya operasional mereka,” ujarnya. Sebelum erupsi Merapi dan hujan abu akibat letusan Gunung Kelud beberapa waktu lalu, intake Kamijoro masih bisa berfungsi meskipun sangat sedikit. Namun, setelah erupsi Merapi dan hujan abu letusan Gunung Kelud, kondisi intake itu semakin parah.
Sampai saat ini belum ada rehabilitasi dari instansi terkait. Pihaknya tidak bisa bertindak karena bendung itu merupakan kewenangan dari provinsi. Namun, ia sempat mendengar jika Balai Besar Wilayah Sungai akan membuat bendungan darurat dengan membangun bronjong melintang ke tengah sungai, tetapi sampai saat ini realisasinya belum ada. “Katanya nanti akan dibangunkan bendungan permanen. Dananya konon mencapai Rp86 miliar,” ungkapnya.
Sementara Ketua Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air Sungai Progo, Sutardi mengatakan, karena ketinggian permukaan air Sungai Progo ini bertambah, maka air sungai itu dapat masuk ke intake (sudetan) Kamijoro yang dibuat pada zaman Belanda tahun 1927. Sudetan tersebut merupakan lubang air bawah tanah bercabang menuju ke saluran irigasi di empat kecamatan. “Ribuan petani di Kecamatan Pandak, Pajangan, Srandakan, dan Kretek, bergantung pada intake ini,” kata Sutardi.
Pembuatan bendung ini sebenarnya rutin mereka lakukan setiap puncak musim kemarau dan menjelang musim tanam (MT) pertama. Karena memang pada masa-masa seperti sekarang ini debit air di 13 desa menurun drastis dan tak mampu mengairi seluruh sawah di kawasan itu. Meski rutin dilakukan, namun tahun ini secara teknis dan biaya jauh lebih susah dan lebih mahal dibanding dengan tahun sebelumnya. Pasalnya, kedalaman dasar sungai tahun ini lebih dalam dibanding tahun lalu.
Hal tersebut akibat dari ulah para penambang yang masif menyedot pasir sungai itu dengan peralatan modern. “Dulu itu kedalamannya hanya 70 cm, tetapi sekarang sampai tiga meter,” ujarnya.
Erfanto linangkung
(ftr)