Hukum Sula Budak Makassar di Zaman Kompeni
A
A
A
KOMPENI - HUKUMAN MATI di Indonesia memiliki riwayat cukup panjang. Dimulai saat negeri ini dikuasai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Kompeni. Bagaimana hukuman mati itu dilakukan?
Berdasarkan manuskrip tertua sejarah Indonesia yang diterbitkan tahun 1818, hukuman mati di Indonesia dilakukan dengan cara disula. Jenis hukuman mati ini salah satu yang paling keji di dunia.
Salah seorang saksi mata yang melihat eksekusi itu menggambarkan dengan sangat mengerikan bagaimana hukuman itu dilakukan terhadap seorang budak asal Makassar karena telah membunuh majikannya.
"Hukuman yang dijatuhkan di Batavia (Jakarta) sangat berat, terutama kepada orang-orang Hindia. Penyulaan adalah hukuman yang utama dan paling mengerikan," kata John Joseph Stockdale, tahun 1769.
Eksekusi mati itu, kata Stockdale, dilakukan pada pagi hari di lapangan terbuka yang berumput. Setibanya di lapangan, terpidana mati itu diletakkan tengkurap dan dipegangi oleh empat orang bertubuh besar.
Seorang algojo lalu mengiris bagian bawah tubuh terpidana itu dengan pisau besar sampai bagian tulang besar bagian belakang. Kemudian, sebuah besi sula runcing panjang ditusukkan ke irisan tubuhnya.
Ujung bawah besi itu lalu disodokkan ke sepanjang tulang belakang sampai tembus antara leher dan kedua bahunya. Ujung bawah besi lalu dimasukkan ke dalam tiang kayu dan dipaku dengan sangat cepat.
Kemudian, tubuh terpidana itu diangkat sehingga terlihat tersula, dan tiang kayu ditancapkan ke dalam tanah. Pada bagian atas tiang, ada bangku kecil yang menyangga tubuh terpidana sampai ajal datang.
"Ketahanan atau ketabahan terpidana itu sungguh luar biasa. Dia tidak mengucapkan keluhan sedikit pun, kecuali ketika tongkat dipakukan ke pilar, getaran palu itu telah membuatnya teriak kesakitan," bebernya.
Setelah penyulaan selesai dilakukan, terhukum mati itu akan dijemur terik matahari tanpa diberi makan dan minum. Dalam kondisi seperti ini, biasanya para terpidana mati bisa bertahan selama berhari-hari.
Paling lama, terpidana mati akan bertahan delapan hari. Para penyula biasanya melakukan pekerjaan mereka dengan sangat rapi, tanpa bekas luka. Bahkan, bagian vital yang disula tidak tampak sedikit pun luka.
Namun hal itu hanya tampak luarnya saja. Jika hujan turun, air akan meresap masuk bagian vital yang disula dan menyebabkan luka busuk. Luka yang sangat menyakitkan itu akan mengakibatkan kematian.
Selama berhari-hari dijemur, tidak seorang pun diperbolehkan untuk mendekati terhukum. Seorang penjaga dengan senjata lengkap akan mengusir siapa saja yang berani memberikan makan dan minum.
Sehari setelah disula, budak asal Makassar itu mulai terlihat lemah. Saat hujan turun, dia akhirnya meninggal. Kematiannya saat itu tidak ada yang mengasihani, apalagi mengecam seperti yang terjadi saat ini.
Banyak orang yang melihat kejadian itu tidak bereaksi apa-apa. Wajah mereka terlihat dingin. Bahkan, sebelum terpidana mati itu menemui ajalnya, mereka hanya menonton dengan penuh kengerian.
Sebelum meninggal, terpidana itu sempat menceritakan sebab kenapa dia tega membunuh majikannya yang dikenal baik. Dia mengaku sangat menyesal tetapi tidak ada yang mau mendengar ceritanya.
Bahkan saat dia berteriak minta minum karena sangat haus, tidak ada satu orang pun penonton pertunjukan muram itu yang bereaksi. Dengan wajah tanpa ekspresi, orang-orang Eropa itu menonton teater tragedi.
Pada zaman itu, hukuman mati di lapangan terbuka seperti itu adalah hal biasa. Ironisnya orang-orang Eropa yang mengaku bermoral dan memiliki kebudayaan super itu senang melihat kengerian ini.
Mereka seakan menikmati tontonan tubuh manusia disayat pisau lalu dimasukkan besi tajam dan dipajang di tengah lapangan terbuka selama beberapa hari hingga mati mengering menjadi santapan serangga.
Sungguh moral dan adat orang-orang Eropa itu jauh lebih rendah dari orang-orang Bugis-Makassar yang membunuh majikannya karena tidak tahan mendapat siksaan sebagai budak dan perlakuan bagai hewan.
Untuk itu, mereka menilai hukuman mati yang dijatuhkan Kompeni perlu dilakukan dalam suatu negara, di mana ada ras manusia yang sangat berbahaya dan tidak mengenal moralitas dalam tata kehidupannya.
Salah satu contoh tindakan paling liar yang dilakukan orang Bugis-Makassar pada zaman itu suka mengamuk di jalan-jalan Batavia sambil membawa parang besar dan membunuh siapa saja yang ditemuinya.
Sikap orang-orang Bugis-Makassar yang liar dan dipandang oleh sebagian orang Eropa saat itu haus darah. Perangai itu muncul setelah mereka mengkonsumsi narkoba dan berbagai hal lainnya yang memabukkan.
"Tindakan pembunuhan tanpa pandang bulu ini disebut amuk, karena pelakunya selalu berteriak 'amuk, amuk', yang berarti 'bunuh, bunuh', akibat terlalu banyak mengkonsumsi opium," sambung Stockdale.
Dalam mengatasi amuk itu, tidak jarang serdadu Kompeni yang datang melakukan penangkapan juga ikut terbunuh. Kepada mereka yang sudah tidak bisa dikendalikan, meski berhasil tertangkap akan dibunuh.
Hukuman mati terhadap para pelaku ini, sering kali tanpa melalui proses pengadilan. Tidak kalah sadis, hukuman mati itu dilakukan dengan cara dilindas dengan menggunakan roda besar hingga tubuhnya remuk.
"Para budak yang berasal dari Pulau Sulawesi, terutama orang Bugis-Makassar, banyak yang bersalah atas pembunuhan yang paling mengerikan. Mereka yang mengamuk berasal dari daerah ini," tutupnya.
Kendati hukuman yang diberikan kepada para budak orang-orang Eropa itu sangat mengerikan, dan dilakukan secara terang-terangan di muka umum, Kompeni tidak berhasil menekan angka kriminalitas waktu itu.
Hukuman mati dan tindakan brutal orang-orang Eropa terhadap para budak Bugis-Makassar dan suku bangsa lainnya di Indonesia, terbukti hanya melahirkan kekerasan-kekerasan yang lebih mengerikan.
Demikian ulasan singkat Cerita Pagi tentang hukuman mati bagi para budak orang-orang Eropa di Indonesia waktu zaman kekuasaan Kompeni ini diakhiri. Semoga memberikan manfaat kepada pembaca.
Sumber tulisan:
John Joseph Stockdale, Sejarah Tanah Jawa, Indoliterasi, 2014.
Berdasarkan manuskrip tertua sejarah Indonesia yang diterbitkan tahun 1818, hukuman mati di Indonesia dilakukan dengan cara disula. Jenis hukuman mati ini salah satu yang paling keji di dunia.
Salah seorang saksi mata yang melihat eksekusi itu menggambarkan dengan sangat mengerikan bagaimana hukuman itu dilakukan terhadap seorang budak asal Makassar karena telah membunuh majikannya.
"Hukuman yang dijatuhkan di Batavia (Jakarta) sangat berat, terutama kepada orang-orang Hindia. Penyulaan adalah hukuman yang utama dan paling mengerikan," kata John Joseph Stockdale, tahun 1769.
Eksekusi mati itu, kata Stockdale, dilakukan pada pagi hari di lapangan terbuka yang berumput. Setibanya di lapangan, terpidana mati itu diletakkan tengkurap dan dipegangi oleh empat orang bertubuh besar.
Seorang algojo lalu mengiris bagian bawah tubuh terpidana itu dengan pisau besar sampai bagian tulang besar bagian belakang. Kemudian, sebuah besi sula runcing panjang ditusukkan ke irisan tubuhnya.
Ujung bawah besi itu lalu disodokkan ke sepanjang tulang belakang sampai tembus antara leher dan kedua bahunya. Ujung bawah besi lalu dimasukkan ke dalam tiang kayu dan dipaku dengan sangat cepat.
Kemudian, tubuh terpidana itu diangkat sehingga terlihat tersula, dan tiang kayu ditancapkan ke dalam tanah. Pada bagian atas tiang, ada bangku kecil yang menyangga tubuh terpidana sampai ajal datang.
"Ketahanan atau ketabahan terpidana itu sungguh luar biasa. Dia tidak mengucapkan keluhan sedikit pun, kecuali ketika tongkat dipakukan ke pilar, getaran palu itu telah membuatnya teriak kesakitan," bebernya.
Setelah penyulaan selesai dilakukan, terhukum mati itu akan dijemur terik matahari tanpa diberi makan dan minum. Dalam kondisi seperti ini, biasanya para terpidana mati bisa bertahan selama berhari-hari.
Paling lama, terpidana mati akan bertahan delapan hari. Para penyula biasanya melakukan pekerjaan mereka dengan sangat rapi, tanpa bekas luka. Bahkan, bagian vital yang disula tidak tampak sedikit pun luka.
Namun hal itu hanya tampak luarnya saja. Jika hujan turun, air akan meresap masuk bagian vital yang disula dan menyebabkan luka busuk. Luka yang sangat menyakitkan itu akan mengakibatkan kematian.
Selama berhari-hari dijemur, tidak seorang pun diperbolehkan untuk mendekati terhukum. Seorang penjaga dengan senjata lengkap akan mengusir siapa saja yang berani memberikan makan dan minum.
Sehari setelah disula, budak asal Makassar itu mulai terlihat lemah. Saat hujan turun, dia akhirnya meninggal. Kematiannya saat itu tidak ada yang mengasihani, apalagi mengecam seperti yang terjadi saat ini.
Banyak orang yang melihat kejadian itu tidak bereaksi apa-apa. Wajah mereka terlihat dingin. Bahkan, sebelum terpidana mati itu menemui ajalnya, mereka hanya menonton dengan penuh kengerian.
Sebelum meninggal, terpidana itu sempat menceritakan sebab kenapa dia tega membunuh majikannya yang dikenal baik. Dia mengaku sangat menyesal tetapi tidak ada yang mau mendengar ceritanya.
Bahkan saat dia berteriak minta minum karena sangat haus, tidak ada satu orang pun penonton pertunjukan muram itu yang bereaksi. Dengan wajah tanpa ekspresi, orang-orang Eropa itu menonton teater tragedi.
Pada zaman itu, hukuman mati di lapangan terbuka seperti itu adalah hal biasa. Ironisnya orang-orang Eropa yang mengaku bermoral dan memiliki kebudayaan super itu senang melihat kengerian ini.
Mereka seakan menikmati tontonan tubuh manusia disayat pisau lalu dimasukkan besi tajam dan dipajang di tengah lapangan terbuka selama beberapa hari hingga mati mengering menjadi santapan serangga.
Sungguh moral dan adat orang-orang Eropa itu jauh lebih rendah dari orang-orang Bugis-Makassar yang membunuh majikannya karena tidak tahan mendapat siksaan sebagai budak dan perlakuan bagai hewan.
Untuk itu, mereka menilai hukuman mati yang dijatuhkan Kompeni perlu dilakukan dalam suatu negara, di mana ada ras manusia yang sangat berbahaya dan tidak mengenal moralitas dalam tata kehidupannya.
Salah satu contoh tindakan paling liar yang dilakukan orang Bugis-Makassar pada zaman itu suka mengamuk di jalan-jalan Batavia sambil membawa parang besar dan membunuh siapa saja yang ditemuinya.
Sikap orang-orang Bugis-Makassar yang liar dan dipandang oleh sebagian orang Eropa saat itu haus darah. Perangai itu muncul setelah mereka mengkonsumsi narkoba dan berbagai hal lainnya yang memabukkan.
"Tindakan pembunuhan tanpa pandang bulu ini disebut amuk, karena pelakunya selalu berteriak 'amuk, amuk', yang berarti 'bunuh, bunuh', akibat terlalu banyak mengkonsumsi opium," sambung Stockdale.
Dalam mengatasi amuk itu, tidak jarang serdadu Kompeni yang datang melakukan penangkapan juga ikut terbunuh. Kepada mereka yang sudah tidak bisa dikendalikan, meski berhasil tertangkap akan dibunuh.
Hukuman mati terhadap para pelaku ini, sering kali tanpa melalui proses pengadilan. Tidak kalah sadis, hukuman mati itu dilakukan dengan cara dilindas dengan menggunakan roda besar hingga tubuhnya remuk.
"Para budak yang berasal dari Pulau Sulawesi, terutama orang Bugis-Makassar, banyak yang bersalah atas pembunuhan yang paling mengerikan. Mereka yang mengamuk berasal dari daerah ini," tutupnya.
Kendati hukuman yang diberikan kepada para budak orang-orang Eropa itu sangat mengerikan, dan dilakukan secara terang-terangan di muka umum, Kompeni tidak berhasil menekan angka kriminalitas waktu itu.
Hukuman mati dan tindakan brutal orang-orang Eropa terhadap para budak Bugis-Makassar dan suku bangsa lainnya di Indonesia, terbukti hanya melahirkan kekerasan-kekerasan yang lebih mengerikan.
Demikian ulasan singkat Cerita Pagi tentang hukuman mati bagi para budak orang-orang Eropa di Indonesia waktu zaman kekuasaan Kompeni ini diakhiri. Semoga memberikan manfaat kepada pembaca.
Sumber tulisan:
John Joseph Stockdale, Sejarah Tanah Jawa, Indoliterasi, 2014.
(san)