Sales Sparepart yang Kini Bergaji Rp4,5 M per Bulan
A
A
A
MEDAN - Aswanto Wijaya merintis karier menjadi seorang sales sparepart pada 1984 hingga moneter melanda Indonesia pada 1998 silam.
Tapi berkat kinerjanya yang baik dan hubungan relasi dengan para pebisnis alat berat, membuat warga Medan Denai ini dipercaya para pengusaha untuk mencari alat berat bekas pakai. Dari usaha ini, Aswanto punya penghasilan cukup fantastis. Pengusaha berusia 56 ini mengaku hanya bermodalkan kejujuran saat mulai merintis usaha alat-alat berat.
Dia selalu berupaya jujur agar mendapat kepercayaan dari para pebisnis alat berat. “Awalnya saya bermain di sparepart alat berat, kemudian posisi saya diangkat menjadi supervisor teknisi di sebuah toko onderdil alat berat. Dari sanalah saya benar-benar memanfaatkan posisi saya hingga akhirnya saya mendapatkan borongan kerja merekondisi alat berat bekas dari perusahaan asing,” ungkap Aswanto kepada KORAN SINDO MEDAN , kemarin.
Setelah mengetahui dan menguasai cara merekondisi alat berat bekas terlihat seperti baru, Aswanto pun mulai sering mendapatkan pekerjaan merekondisi alat berat bekas. Sedikit demi sedikit uang hasil kerja borongan merekondisi alat berat itu dia kumpulkan.
Seiring berjalannya waktu dan memanfaatkan relasi para pebisnis alat berat, dia pun memberanikan diri terjun langsung menjadi seorang agen jual beli alat berat bekas, seperti ekskavator dan bulldozer . “Untung yang besar dari jual beli alat berat yang sudah direkondisi memacu saya untuk bekerja lebih giat lagi,” katanya.
Aswanto wajar bisa mendapatkan untung besar. Pasalnya, harga jual ekskavator bekas sangat bervariasi, tergantung tahun pembuatan, tonase bebannya, hingga kondisi. Harga satu unit ekskavator buatan 2011 dengan kondisi 85% bertonase 140 ton, di kalangan pebisnis dibanderol sekitar USD230.000. Sementara harga ekskavator baru dengan tonase yang sama tersebut mencapai USD985.000. Ekscavator bekas dengan kondisi 85% itu kemudian dia rekondisi.
Selain mengganti sejumlah onderdil, bodinya pun dicat ulang. Hasilnya, ekskavator itu terlihat seperti baru. Biaya rekondisi memang lumayan mahal, yakni bisa mencapai USD30.000. Dengan demikian, jika ditambah biaya pembelian, berarti butuh modal sekitar USD260.000.
“Tapi ekskavator bekas yang sudah direkondisi seperti baru bisa laku di pasaran hingga USD300.000. Berarti, untungnya dari satu unit ekskavator itu bisa mencapai USD40.000. Orang berminat membeli alat berat bekas karena harganya jauh lebih murah dibandingkan yang baru,” ucapnya.
Tidak tanggung-tanggung, dalam satu bulan Aswanto Wijaya mampu menjual hingga tujuh unit alat berat bekas yang sudah direkondisi. Total keuntungan yang bisa diraupnya dari penjualan alat berat bekas tersebut bisa mencapai USD350.000 atau setara Rp4,5 miliar per bulan.
Lesunya perekonomian di Tanah Air saat ini ternyata menjadi peluang bagi Aswanto. Sebab, tidak sedikit proyek pertambangan di Indonesia yang tidak jalan. Kondisi itu dimanfaatkan Aswanto Wijaya untuk membeli alat-alat berat yang tidak lagi digunakan perusahaan tambang tersebut.
“Harus pintarpintarlah membaca suasana. Bila pasar lokal sepi, saya beli alat berat bekas dari lokal seperti dari Kalimantan. Setelah direkondisi, saya pasarkan ke Singapura dan Dubai. Sebab, kedua negara itu sering mencari alat berat bekas dari Indonesia yang kondisinya masih bagus. Terlebih lagi saat ini ada banyak perusahaan tambang yang tutup dan ada banyak alat berat berhenti beroperasi. Itulah yang saya manfaatkan agar bisnis saya tidak berhenti,” paparnya.
Keuntungan besar yang telah didapatnya membuatnya tidak lagi repot-repot mencari rumah sewa. Kini, Aswanto yang sudah memiliki tiga orang anak tidak lagi berpindah-pindah mencari rumah sewa.
Saat ini, Aswanto Wijaya telah memiliki rumah di kawasan Medan Denai dan di Jalan Meruya Utara, Jakarta Barat. “Saya pernah 11 kali pindah rumah, dari rumah sewa yang satu ke rumah sewa lainnya. Maklum saja, saat itu saya belum punya uang yang cukup untuk membeli rumah,” ucapnya.
Aswanto punya moto hidup yang patut dicontoh, yakni jangan pernah bangga bila mendapatkan uang banyak dan akhirnya membuat kita malas untuk mencari uang lagi. “Teruslah berusaha agar uang yang sudah kita dapat itu terus bertambah ,” tandasnya.
Dicky Irawan
Tapi berkat kinerjanya yang baik dan hubungan relasi dengan para pebisnis alat berat, membuat warga Medan Denai ini dipercaya para pengusaha untuk mencari alat berat bekas pakai. Dari usaha ini, Aswanto punya penghasilan cukup fantastis. Pengusaha berusia 56 ini mengaku hanya bermodalkan kejujuran saat mulai merintis usaha alat-alat berat.
Dia selalu berupaya jujur agar mendapat kepercayaan dari para pebisnis alat berat. “Awalnya saya bermain di sparepart alat berat, kemudian posisi saya diangkat menjadi supervisor teknisi di sebuah toko onderdil alat berat. Dari sanalah saya benar-benar memanfaatkan posisi saya hingga akhirnya saya mendapatkan borongan kerja merekondisi alat berat bekas dari perusahaan asing,” ungkap Aswanto kepada KORAN SINDO MEDAN , kemarin.
Setelah mengetahui dan menguasai cara merekondisi alat berat bekas terlihat seperti baru, Aswanto pun mulai sering mendapatkan pekerjaan merekondisi alat berat bekas. Sedikit demi sedikit uang hasil kerja borongan merekondisi alat berat itu dia kumpulkan.
Seiring berjalannya waktu dan memanfaatkan relasi para pebisnis alat berat, dia pun memberanikan diri terjun langsung menjadi seorang agen jual beli alat berat bekas, seperti ekskavator dan bulldozer . “Untung yang besar dari jual beli alat berat yang sudah direkondisi memacu saya untuk bekerja lebih giat lagi,” katanya.
Aswanto wajar bisa mendapatkan untung besar. Pasalnya, harga jual ekskavator bekas sangat bervariasi, tergantung tahun pembuatan, tonase bebannya, hingga kondisi. Harga satu unit ekskavator buatan 2011 dengan kondisi 85% bertonase 140 ton, di kalangan pebisnis dibanderol sekitar USD230.000. Sementara harga ekskavator baru dengan tonase yang sama tersebut mencapai USD985.000. Ekscavator bekas dengan kondisi 85% itu kemudian dia rekondisi.
Selain mengganti sejumlah onderdil, bodinya pun dicat ulang. Hasilnya, ekskavator itu terlihat seperti baru. Biaya rekondisi memang lumayan mahal, yakni bisa mencapai USD30.000. Dengan demikian, jika ditambah biaya pembelian, berarti butuh modal sekitar USD260.000.
“Tapi ekskavator bekas yang sudah direkondisi seperti baru bisa laku di pasaran hingga USD300.000. Berarti, untungnya dari satu unit ekskavator itu bisa mencapai USD40.000. Orang berminat membeli alat berat bekas karena harganya jauh lebih murah dibandingkan yang baru,” ucapnya.
Tidak tanggung-tanggung, dalam satu bulan Aswanto Wijaya mampu menjual hingga tujuh unit alat berat bekas yang sudah direkondisi. Total keuntungan yang bisa diraupnya dari penjualan alat berat bekas tersebut bisa mencapai USD350.000 atau setara Rp4,5 miliar per bulan.
Lesunya perekonomian di Tanah Air saat ini ternyata menjadi peluang bagi Aswanto. Sebab, tidak sedikit proyek pertambangan di Indonesia yang tidak jalan. Kondisi itu dimanfaatkan Aswanto Wijaya untuk membeli alat-alat berat yang tidak lagi digunakan perusahaan tambang tersebut.
“Harus pintarpintarlah membaca suasana. Bila pasar lokal sepi, saya beli alat berat bekas dari lokal seperti dari Kalimantan. Setelah direkondisi, saya pasarkan ke Singapura dan Dubai. Sebab, kedua negara itu sering mencari alat berat bekas dari Indonesia yang kondisinya masih bagus. Terlebih lagi saat ini ada banyak perusahaan tambang yang tutup dan ada banyak alat berat berhenti beroperasi. Itulah yang saya manfaatkan agar bisnis saya tidak berhenti,” paparnya.
Keuntungan besar yang telah didapatnya membuatnya tidak lagi repot-repot mencari rumah sewa. Kini, Aswanto yang sudah memiliki tiga orang anak tidak lagi berpindah-pindah mencari rumah sewa.
Saat ini, Aswanto Wijaya telah memiliki rumah di kawasan Medan Denai dan di Jalan Meruya Utara, Jakarta Barat. “Saya pernah 11 kali pindah rumah, dari rumah sewa yang satu ke rumah sewa lainnya. Maklum saja, saat itu saya belum punya uang yang cukup untuk membeli rumah,” ucapnya.
Aswanto punya moto hidup yang patut dicontoh, yakni jangan pernah bangga bila mendapatkan uang banyak dan akhirnya membuat kita malas untuk mencari uang lagi. “Teruslah berusaha agar uang yang sudah kita dapat itu terus bertambah ,” tandasnya.
Dicky Irawan
(ftr)