Saatnya Mengubah Paradigma si Kutu Buku
A
A
A
Si kutu buku merupakan gelar yang disematkan kepada orang hobi membaca. Lalu secara mainstream diidentikkan dengan seseorang berkacamata tebal, penampilan rapi, terkesan aneh (culun), serta dianggap kurang pergaulan.
Maklum, orang tersebut biasanya asyik dengan buku dan dunia imajinasinya sendiri.
Pandangan negatif terhadap orang yang gemar membaca secara tidak langsung menjauhkan seseorang dari buku.
Karena tidak ingin dicap sebagai orang aneh yang lebih sering menghabiskan waktu sendirian di perpustakaan dibanding bersosialisasi atau bersenda gurau dengan teman. Bagi yang berpandangan demikian, boleh dibilang buku sebagai sesuatu yang menyeramkan. Pemerintah sesungguhnya sudah punya niat serius memopulerkan buku sebagai kebutuhan. Salah satunya dengan menetapkan setiap 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional sejak 1980. Meski demikian, data statistik menunjukkan minat baca di Indonesia masih buruk.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013 merilis hanya 20% masyarakat yang hobi membaca, selebihnya suka menonton dan mendengar. Sebelumnya, UNESCO pada 2012 merilis indeks minat baca Indonesia baru mencapai 0,0001. Artinya, hanya ada satu orang yang punya minat baca di antara 1.000 orang. Apakah data tersebut sudah cukup dijadikan parameter bahwa minat baca orang Indonesia rendah? Komunitas membaca di Medan sedang berupaya meretas anggapan tersebut.
Jika secara statistik dianggap rendah, setidaknya secara kasatmata mereka masih melihat sejumlah toko buku di Kota Medan selalu ramai dikunjungi. Bahkan, setiap ada pameran dan diskon buku dari penerbit, selalu dijejali pembeli. Tak jarang pula buku best seller habis dalam sekejap. “Kalau saya melihatnya justru (minat membaca) sudah cukup besar, terutama di kalangan remaja. Hampir setengah pengunjung toko buku umumnya dipenuhi anak muda,” ungkap Ketua Medan Membaca Rony Fhebrian kepada KORAN SINDO MEDAN baru-baru ini.
Rony mengakui masih banyak pembaca pasif atau biasa mereka sebut sebagai silent reader, yaitu pembaca yang diam dan cenderung menyendiri serta asyik dengan dunia bacaannya. Melalui Komunitas Medan Membaca yang kini sudah tergabung dalam GoodreadsIndonesia, mereka ingin mengubah paradigma negatif itu. Hobi membaca juga bisa menjadikan seseorang aktif dengan lingkungannya, bahkan produktif dengan karyanya. Pembaca buku tidak seseram atau serumit yang dikesankan banyak orang. Si kutu buku juga bisa lebih gaul dari orang kebanyakan.
Dengan buku dan minat yang tinggi dalam membaca, membawa seseorang melek terhadap perkembangan zaman. “Kita ingin ciptakan paradigma bahwa pembaca buku tak seseram dan serumit itu. Kita juga bisa bergaul, nongkrong di kafe, dan baca buku di tempat terbuka. Goodreads ini wadah yang asyik untuk menjadikan pembaca lebih aktif dalam berkreasi,” kata mahasiswa Ilmu Komputer, Universitas Sumatera Utara (USU) angkatan 2011 itu.
Untuk membuktikannya, Rony memberikan kesempatan kepada KORAN SINDO MEDANberkenalan dengan sejumlah anggota komunitas saat mereka kopi darat (kopdar) di Hotel JW Marriott Medan, Minggu (10/5). Benar saja, kesan si kutu buku yang biasa identik dengan ciri-ciri di atas sudah teretas dengan sendirinya. Dari delapan anggota komunitas, hanya dua yang berkacamata. Tidak ada yang aneh dengan penampilannya, bahkan tetap modis sesuai perkembangan zaman.
Buku memang kerap dipegang, tapi tidak ada yang asyik dengan dunia bacaannya sendiri. Pera Sagala, Mina, Indri, Rina, Ririn, Wina, Lely Siregar, dan Rhony tampak lebih suka mendiskusikan buku yang dimiliki atau yang sedang dibaca dengan temannya. Tidak ada wajah ketat yang antisosial, yang ada sikap ramah dan bersahabat.
Paling menarik dari itu semua, mereka memiliki latar belakang yang 100% berbedadengan lintas generasi yang cukup jauh. Mulai dari mahasiswa hingga pekerja profesional, seperti marketing di Australia Centre-Medan, terapis, PNS, arsitek, dan guru. Usianya pun mulai dari 20 hingga 40-an tahun. Mengenai genre buku yang digemari, ternyata umumnya berbeda pula.
Hal itu bukan halangan menyatukan persepsi bahwa minta membaca harus tumbuh secara aktif. Dari semua perbedaan tersebut, hanya satu hal yang dijawab kompak dengan serempak. Saat ditanya lebih suka buku digital atau buku biasa, mereka pun langsung bersamaan membuka buku sambil mencium aromanya dengan wajah ekspresif.
Dukungan Sarana dan Prasarana
Salah satu anggota Komunitas Medan Membaca, Pera, menyebutkan, buku secara fisik tidak bisa tergantikan dengan buku digital. Ada kepuasan tersendiri ketika memegang dan membalik-balikkan halaman demi halaman. Apalagi membaca buku melalui gadget sering membuat mata tidak nyaman.
Pera yang termasuk anggota senior di komunitas tersebut mengatakan, awal terbentuk hanya dari tiga orang atas dasar hobi yang sama yaitu membaca buku. Lalu, berkembang hingga puluhan anggota. Tujuannya untuk menumbuhkan budaya baca serta tidak berhenti hanya di tahapan sebagai komunitas pembaca pasif. Goodreads ingin menjadi komunitas pembaca aktif melalui beberapa kegiatan, baik secara online maupun dunia nyata.
Terkait fasilitas membaca yang disediakan pemerintah saat ini, anggota Komunitas Medan Membaca lainnya, Lely Siregar, menilai pemerintah sesungguhnya sudah mulai berupaya melakukan perbaikan dan berbenah dengan sarana dan prasarana yang dimiliki dalam menunjang minat baca masyarakat. Hanya, terkadang prasangka lebih dulu bergelayut dalam pikiran masyarakat bahwa perpustakaan itu identik dengan tempat yang tidak menyenangkan dan penuh buku berdebu.
“Seperti perpustakaan Pemko Medan di Jalan Iskandar Muda, ternyata tempatnya bagus, bukunya pun bersih. Bahkan, mereka buka di hari Minggu. Bagian belakangnya juga sudah ada tempat bersantai untuk membaca. Jadi, sebenarnya pemerintah sudah melakukan perbaikan,” papar Lely Siregar. Memang terkadang minat baca masyarakat yang cukup besar tidak didukung dengan agenda dan kegiatan promosi tentang buku.
Tidak seperti di Jakarta yang sering melakukan pameran buku dan promo buku murah serta kegiatan lainnya yang menunjang masyarakat untuk bisa lebih tertarik membaca. “Di Medan ini bukan minat baca yang kurang, tapi kegiatan promo dan pamerannya yang jarang. Buktinya, tiap ada kegiatan sale buku selalu rame kok,” ucapnya.
Selain Komunitas Medan membaca, ada juga komunitas lain di Kota Medan, yaitu Klub Buku Medan. Aktivitas dan kegiatannya sama-sama mencoba menjadikan komunitas sebagai wadah bagi setiap orang yang hobi membaca. Dengan tagline kamu itu gaul kalo ke manamana membaca buku, komunitas ini sempat punya beberapa kegiatan yang cukup padat di 2014.
Sayangnya, sejak ketua komunitasnya yaitu Putri Fathia tidak lagi berdomisili di Medan, klub ini untuk sementara vakum dari kegiatan. Kepala Kantor Perpustakaan Kota Medan Januari Pane menilai minat membaca masyarakat saat ini cenderung sudah meningkat. Hal itu bisa dilihat dari rata-rata kunjungan per hari di perpustakaan yang dikelolanya, yaitu 400–500 pengunjung.
“Ini meningkat sekitar 20% dari rata-rata kunjungan tahun sebelumnya,” ujarnya. Pengunjung umumnya didominasi anak sekolah dan mahasiswa. Dengan demikian, bisa diasumsikan minat membaca di kalangan remaja sudah mulai tinggi. Untuk lebih merangsang masyarakat agar tumbuh minat membacanya, Perpustakaan Medan juga melakukan berbagai upaya meningkatkan layanan.
Beberapa di antaranya melengkapi fasilitas Wi- Fi dan menambah jam operasional hingga pukul 19.00 WIB untuk Senin–Jumat, dan pukul 09.00–17.00 WIB khusus Sabtu dan Minggu.
“Kami hanya tutup jika hari libur nasional,” kata Januari. Perpustakaan Medan yang terletak di Jalan Iskandar Muda No 270 ini juga menyediakan fasilitas ruangan yang memadai untuk pertemuan dengan komunitas atau klub membaca yang ada di Medan. Selain itu, juga menyediakan sudut bermain bagi anak-anak.
M rinaldi khair
Maklum, orang tersebut biasanya asyik dengan buku dan dunia imajinasinya sendiri.
Pandangan negatif terhadap orang yang gemar membaca secara tidak langsung menjauhkan seseorang dari buku.
Karena tidak ingin dicap sebagai orang aneh yang lebih sering menghabiskan waktu sendirian di perpustakaan dibanding bersosialisasi atau bersenda gurau dengan teman. Bagi yang berpandangan demikian, boleh dibilang buku sebagai sesuatu yang menyeramkan. Pemerintah sesungguhnya sudah punya niat serius memopulerkan buku sebagai kebutuhan. Salah satunya dengan menetapkan setiap 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional sejak 1980. Meski demikian, data statistik menunjukkan minat baca di Indonesia masih buruk.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2013 merilis hanya 20% masyarakat yang hobi membaca, selebihnya suka menonton dan mendengar. Sebelumnya, UNESCO pada 2012 merilis indeks minat baca Indonesia baru mencapai 0,0001. Artinya, hanya ada satu orang yang punya minat baca di antara 1.000 orang. Apakah data tersebut sudah cukup dijadikan parameter bahwa minat baca orang Indonesia rendah? Komunitas membaca di Medan sedang berupaya meretas anggapan tersebut.
Jika secara statistik dianggap rendah, setidaknya secara kasatmata mereka masih melihat sejumlah toko buku di Kota Medan selalu ramai dikunjungi. Bahkan, setiap ada pameran dan diskon buku dari penerbit, selalu dijejali pembeli. Tak jarang pula buku best seller habis dalam sekejap. “Kalau saya melihatnya justru (minat membaca) sudah cukup besar, terutama di kalangan remaja. Hampir setengah pengunjung toko buku umumnya dipenuhi anak muda,” ungkap Ketua Medan Membaca Rony Fhebrian kepada KORAN SINDO MEDAN baru-baru ini.
Rony mengakui masih banyak pembaca pasif atau biasa mereka sebut sebagai silent reader, yaitu pembaca yang diam dan cenderung menyendiri serta asyik dengan dunia bacaannya. Melalui Komunitas Medan Membaca yang kini sudah tergabung dalam GoodreadsIndonesia, mereka ingin mengubah paradigma negatif itu. Hobi membaca juga bisa menjadikan seseorang aktif dengan lingkungannya, bahkan produktif dengan karyanya. Pembaca buku tidak seseram atau serumit yang dikesankan banyak orang. Si kutu buku juga bisa lebih gaul dari orang kebanyakan.
Dengan buku dan minat yang tinggi dalam membaca, membawa seseorang melek terhadap perkembangan zaman. “Kita ingin ciptakan paradigma bahwa pembaca buku tak seseram dan serumit itu. Kita juga bisa bergaul, nongkrong di kafe, dan baca buku di tempat terbuka. Goodreads ini wadah yang asyik untuk menjadikan pembaca lebih aktif dalam berkreasi,” kata mahasiswa Ilmu Komputer, Universitas Sumatera Utara (USU) angkatan 2011 itu.
Untuk membuktikannya, Rony memberikan kesempatan kepada KORAN SINDO MEDANberkenalan dengan sejumlah anggota komunitas saat mereka kopi darat (kopdar) di Hotel JW Marriott Medan, Minggu (10/5). Benar saja, kesan si kutu buku yang biasa identik dengan ciri-ciri di atas sudah teretas dengan sendirinya. Dari delapan anggota komunitas, hanya dua yang berkacamata. Tidak ada yang aneh dengan penampilannya, bahkan tetap modis sesuai perkembangan zaman.
Buku memang kerap dipegang, tapi tidak ada yang asyik dengan dunia bacaannya sendiri. Pera Sagala, Mina, Indri, Rina, Ririn, Wina, Lely Siregar, dan Rhony tampak lebih suka mendiskusikan buku yang dimiliki atau yang sedang dibaca dengan temannya. Tidak ada wajah ketat yang antisosial, yang ada sikap ramah dan bersahabat.
Paling menarik dari itu semua, mereka memiliki latar belakang yang 100% berbedadengan lintas generasi yang cukup jauh. Mulai dari mahasiswa hingga pekerja profesional, seperti marketing di Australia Centre-Medan, terapis, PNS, arsitek, dan guru. Usianya pun mulai dari 20 hingga 40-an tahun. Mengenai genre buku yang digemari, ternyata umumnya berbeda pula.
Hal itu bukan halangan menyatukan persepsi bahwa minta membaca harus tumbuh secara aktif. Dari semua perbedaan tersebut, hanya satu hal yang dijawab kompak dengan serempak. Saat ditanya lebih suka buku digital atau buku biasa, mereka pun langsung bersamaan membuka buku sambil mencium aromanya dengan wajah ekspresif.
Dukungan Sarana dan Prasarana
Salah satu anggota Komunitas Medan Membaca, Pera, menyebutkan, buku secara fisik tidak bisa tergantikan dengan buku digital. Ada kepuasan tersendiri ketika memegang dan membalik-balikkan halaman demi halaman. Apalagi membaca buku melalui gadget sering membuat mata tidak nyaman.
Pera yang termasuk anggota senior di komunitas tersebut mengatakan, awal terbentuk hanya dari tiga orang atas dasar hobi yang sama yaitu membaca buku. Lalu, berkembang hingga puluhan anggota. Tujuannya untuk menumbuhkan budaya baca serta tidak berhenti hanya di tahapan sebagai komunitas pembaca pasif. Goodreads ingin menjadi komunitas pembaca aktif melalui beberapa kegiatan, baik secara online maupun dunia nyata.
Terkait fasilitas membaca yang disediakan pemerintah saat ini, anggota Komunitas Medan Membaca lainnya, Lely Siregar, menilai pemerintah sesungguhnya sudah mulai berupaya melakukan perbaikan dan berbenah dengan sarana dan prasarana yang dimiliki dalam menunjang minat baca masyarakat. Hanya, terkadang prasangka lebih dulu bergelayut dalam pikiran masyarakat bahwa perpustakaan itu identik dengan tempat yang tidak menyenangkan dan penuh buku berdebu.
“Seperti perpustakaan Pemko Medan di Jalan Iskandar Muda, ternyata tempatnya bagus, bukunya pun bersih. Bahkan, mereka buka di hari Minggu. Bagian belakangnya juga sudah ada tempat bersantai untuk membaca. Jadi, sebenarnya pemerintah sudah melakukan perbaikan,” papar Lely Siregar. Memang terkadang minat baca masyarakat yang cukup besar tidak didukung dengan agenda dan kegiatan promosi tentang buku.
Tidak seperti di Jakarta yang sering melakukan pameran buku dan promo buku murah serta kegiatan lainnya yang menunjang masyarakat untuk bisa lebih tertarik membaca. “Di Medan ini bukan minat baca yang kurang, tapi kegiatan promo dan pamerannya yang jarang. Buktinya, tiap ada kegiatan sale buku selalu rame kok,” ucapnya.
Selain Komunitas Medan membaca, ada juga komunitas lain di Kota Medan, yaitu Klub Buku Medan. Aktivitas dan kegiatannya sama-sama mencoba menjadikan komunitas sebagai wadah bagi setiap orang yang hobi membaca. Dengan tagline kamu itu gaul kalo ke manamana membaca buku, komunitas ini sempat punya beberapa kegiatan yang cukup padat di 2014.
Sayangnya, sejak ketua komunitasnya yaitu Putri Fathia tidak lagi berdomisili di Medan, klub ini untuk sementara vakum dari kegiatan. Kepala Kantor Perpustakaan Kota Medan Januari Pane menilai minat membaca masyarakat saat ini cenderung sudah meningkat. Hal itu bisa dilihat dari rata-rata kunjungan per hari di perpustakaan yang dikelolanya, yaitu 400–500 pengunjung.
“Ini meningkat sekitar 20% dari rata-rata kunjungan tahun sebelumnya,” ujarnya. Pengunjung umumnya didominasi anak sekolah dan mahasiswa. Dengan demikian, bisa diasumsikan minat membaca di kalangan remaja sudah mulai tinggi. Untuk lebih merangsang masyarakat agar tumbuh minat membacanya, Perpustakaan Medan juga melakukan berbagai upaya meningkatkan layanan.
Beberapa di antaranya melengkapi fasilitas Wi- Fi dan menambah jam operasional hingga pukul 19.00 WIB untuk Senin–Jumat, dan pukul 09.00–17.00 WIB khusus Sabtu dan Minggu.
“Kami hanya tutup jika hari libur nasional,” kata Januari. Perpustakaan Medan yang terletak di Jalan Iskandar Muda No 270 ini juga menyediakan fasilitas ruangan yang memadai untuk pertemuan dengan komunitas atau klub membaca yang ada di Medan. Selain itu, juga menyediakan sudut bermain bagi anak-anak.
M rinaldi khair
(ars)