Tingalan Jumenengan Ndalem Digelar Dua Kali
A
A
A
SOLO - Kisruh internal di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Keraton Solo) kembali mengemuka saat upacara adat Tingalan Jumenengan Ndalem (peringatan raja bertahta) Paku Buwono (PB) XIII, kemarin siang.
Dua upacara yang sama digelar di dalam lingkungan keraton dengan menempati lokasi berbeda. Dewan Adat menggelar upacara di Pendopo Sasono Sewoko Raja Keraton Solo. Sampeyan Ingkang Sunuwun Kanjeng Susuhunan (SISKS) PB XIII Hangabehi tidak hadir dalam prosesi.
Lokasi upacara ini merupakan tempat khusus yang hanya diperuntukkan saat peringatan raja bertakhta. Karena PB XIII Hangabehi tidak hadir, upacara adat dipimpin Plt Raja Keraton Solo Kanjeng Gusti Pengeran Haryo (KGPH) Puger. Sementara dampar atau kursi singgasana tidak dikeluarkan karena raja tidak hadir.
“Kegiatan semacam ini rutin dilaksanakan setiap tahun. Raja hadir atau tidak, acara tetap akan digelar karena sifatnya wilujengan,” kata Kanjeng Pangeran Haryo ((KPH) Satriyo Hadinagoro, salah satu kerabat Keraton Kasunanan Surakarta, kemarin.
Tingalan Jumenengan yang digelar Dewan Adat sudah tiga kali tidak dihadiri raja. Sementara acara yang digelar kali ini merupakan Tingalan Jumenengan ke-11. Prosesi yang digelar Dewan Adat dimulai sekitar pukul 10.30 WIB. Setelah diawali dengan pembacaan doa dan dilanjutkan dengan digelarnya tari Bedhaya Ketawang . Prosesi tarian berlangsung sekitar 90 menit.
Tarian Bedhaya Ketawang dibawakan sembilan penari, sejatinya memiliki hubungan erat dengan filosofi tuntunan kehidupan manusia dari lahir sampai kembali ke alam kelanggengan (akhirat), sehingga tarian itu merupakan poin daripada Tingalan Jumenengan. Dengan demikian manusia diingatkan agar selalu ingat tiga hal, yakni lahir, layon , dan layat.
Pada bagian lain, Raja SISKS PB XIII Hangabehi menurut informasi menggelar prosesi sendiri dalam upacara adat Tingalan Jumenengan Ndalem. Prosesi digelar secara tertutup di Sasana Nalendra Karaton Surakarta. Lokasi itu merupakan kompleks tempat tinggal raja yang berada di sebelah barat Pendopo Sasono Sewoko, tempat Dewan Adat menggelar acara serupa pada waktu hampir bersamaan.
Prosesi digelar tertutup dan wartawan diminta keluar. Namun, prosesi tanpa ada tarian Bedhaya Ketawang. “Tingalan Jumenengan dihadiri ratusan abdi dalem,” kata Penasihat Hukum SISKS BP XIII Ferry Firman Nur Wahyu. SISKS PB XIII menyelenggarakan Tingalan Jumenengan sendiri dan memutuskan tidak hadir dalam upacara yang digelar Dewan Adat Keraton.
Karena itu, dirinya tidak tahu kenapa Dewan Adat bersikeras menggelar Tingalan Jumenengan meski mereka sudah tahu raja tidak akan hadir. Sementara prosesi acara digelar sekitar pukul 10.30 WIB. Kisruh di dalam tubuh Keraton Solo terjadi setelah ada rekonsiliasi antara PB XIII Hangabehi dengan KGPH PA Tedjo Wulan tahun 2012 lalu.
Rekonsiliasi berlangsung setelah sebelum terjadi konflik yang memunculkan raja kembar antara Hangabehi dengan Tedjo Wulan. Namun pascarekonsiliasi, kembali muncul pro dan kontra karena Tedjo Wulan diangkat sebagai mahapatih dan Hangabehi sebagai raja.
Ary wahyu wibowo
Dua upacara yang sama digelar di dalam lingkungan keraton dengan menempati lokasi berbeda. Dewan Adat menggelar upacara di Pendopo Sasono Sewoko Raja Keraton Solo. Sampeyan Ingkang Sunuwun Kanjeng Susuhunan (SISKS) PB XIII Hangabehi tidak hadir dalam prosesi.
Lokasi upacara ini merupakan tempat khusus yang hanya diperuntukkan saat peringatan raja bertakhta. Karena PB XIII Hangabehi tidak hadir, upacara adat dipimpin Plt Raja Keraton Solo Kanjeng Gusti Pengeran Haryo (KGPH) Puger. Sementara dampar atau kursi singgasana tidak dikeluarkan karena raja tidak hadir.
“Kegiatan semacam ini rutin dilaksanakan setiap tahun. Raja hadir atau tidak, acara tetap akan digelar karena sifatnya wilujengan,” kata Kanjeng Pangeran Haryo ((KPH) Satriyo Hadinagoro, salah satu kerabat Keraton Kasunanan Surakarta, kemarin.
Tingalan Jumenengan yang digelar Dewan Adat sudah tiga kali tidak dihadiri raja. Sementara acara yang digelar kali ini merupakan Tingalan Jumenengan ke-11. Prosesi yang digelar Dewan Adat dimulai sekitar pukul 10.30 WIB. Setelah diawali dengan pembacaan doa dan dilanjutkan dengan digelarnya tari Bedhaya Ketawang . Prosesi tarian berlangsung sekitar 90 menit.
Tarian Bedhaya Ketawang dibawakan sembilan penari, sejatinya memiliki hubungan erat dengan filosofi tuntunan kehidupan manusia dari lahir sampai kembali ke alam kelanggengan (akhirat), sehingga tarian itu merupakan poin daripada Tingalan Jumenengan. Dengan demikian manusia diingatkan agar selalu ingat tiga hal, yakni lahir, layon , dan layat.
Pada bagian lain, Raja SISKS PB XIII Hangabehi menurut informasi menggelar prosesi sendiri dalam upacara adat Tingalan Jumenengan Ndalem. Prosesi digelar secara tertutup di Sasana Nalendra Karaton Surakarta. Lokasi itu merupakan kompleks tempat tinggal raja yang berada di sebelah barat Pendopo Sasono Sewoko, tempat Dewan Adat menggelar acara serupa pada waktu hampir bersamaan.
Prosesi digelar tertutup dan wartawan diminta keluar. Namun, prosesi tanpa ada tarian Bedhaya Ketawang. “Tingalan Jumenengan dihadiri ratusan abdi dalem,” kata Penasihat Hukum SISKS BP XIII Ferry Firman Nur Wahyu. SISKS PB XIII menyelenggarakan Tingalan Jumenengan sendiri dan memutuskan tidak hadir dalam upacara yang digelar Dewan Adat Keraton.
Karena itu, dirinya tidak tahu kenapa Dewan Adat bersikeras menggelar Tingalan Jumenengan meski mereka sudah tahu raja tidak akan hadir. Sementara prosesi acara digelar sekitar pukul 10.30 WIB. Kisruh di dalam tubuh Keraton Solo terjadi setelah ada rekonsiliasi antara PB XIII Hangabehi dengan KGPH PA Tedjo Wulan tahun 2012 lalu.
Rekonsiliasi berlangsung setelah sebelum terjadi konflik yang memunculkan raja kembar antara Hangabehi dengan Tedjo Wulan. Namun pascarekonsiliasi, kembali muncul pro dan kontra karena Tedjo Wulan diangkat sebagai mahapatih dan Hangabehi sebagai raja.
Ary wahyu wibowo
(ftr)